Urgensi Politik dan Ekonomi Pemekaran Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Urgensi Politik dan Ekonomi Pemekaran Papua

Melkior NN Sitokdana, Dosen Universitas Satya Wacana Salatiga

Loading

Oleh Melkior NN Sitokdana

Dosen Universitas Satya Wacana Salatiga

SEJAK 2014 pemerintah menerapkan kebijakan penghentian sementara atau moratorium pemekaran daerah otonomi baru (DOB). Hal tersebut didasari atas kurangnya pencapaian tujuan daerah otonom, terutama kemandirian fiskal daerah. Selama ini kebanyakan daerah masih tergantung pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan melalui dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK).

Ketergantungan daerah terhadap transfer anggaran pusat turut meningkatkan beban utang negara yang semakin meningkat setiap tahun. Oleh karena itu, sampai saat ini pemerintah belum berani membuka kran moratorium. Meski di sisi lain, terdapat ratusan usulan pemekaran dari berbagai daerah di Indonesia yang tengah antri di meja Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri).

Direktur Penataan Daerah, Otsus dan Dewan Penataan Otonomi Daerah Kemendagri Valentinus Sudarjanto Sumito menyebutkan, hingga tahun 2022 ini ada ratusan usulan untuk pemekaran diajukan pemerintah daerah. Total usulan pemekaran hingga tahun 2022 sebanyak 329. Jumlah tersebut terdiri dari 55 provinsi, 237 kabupaten, dan 37 kota.

Berbagai daerah di Indonesia yang mengajukan pemekaran kebanyakan sudah memenuhi persyaratan dasar dan administratif. Namun pemerintah tetap tidak membuka moratorium kecuali Papua. Pengecualian terhadap Papua tentu ada sesuatu yang urgen, mendesak sehingga pemerintah terus memaksa pemekaran di tengah gelombang penolakan masif mayoritas warga di seantero tanah Papua.

Wacana elit

Wacana pemekaran daerah otonom baru di Papua mulai intens dibicarakan di tingkat elit lokal dan pemerintah pusat di pengujung berakhirnya pendanaan otsus tahun 2021. Pada saat itu tensi politik meningkat, di mana mayoritas Papua menolak otsus perpanjangan otsus karena dinilai gagal.

Pada saat yang bersamaan terjadi kasus rasisme di Surabaya, tepat tanggal 17 Agustus 2019. Akibatnya terjadi gelombang protes besar masyarakat Papua selama sebulan di seluruh tanah Papua dan sejumlah kota besar di Indonesia. Kekecewaan masyarakat atas ujaran rasisme dilampiaskan dengan membakar fasilitas publik dan menuntut pemerintah untuk menggelar referendum.

Tensi politik yang semakin tinggi direspon dengan represi besar-besaran oleh TNI-Polri menyebabkan korban meninggal, luka-luka, dan sebagian ditangkap dan dipenjarakan. Saat itu beberapa elit lokal bersama kelompok masyarakat yang mengklaim diri pro NKRI melakukan aksi-aksi tandingan. Melalui selebaran maupun pernyataan melalui video singkat disebarkan ke media sosial untuk mengimbangi tensi politik yang semakin tinggi.

Dengan memanfaatkan momen tersebut, 60 perwakilan tokoh masyarakat Papua bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara. Salah satu usulan dari tokoh Papua yang hadir saat itu adalah meminta pemekaran lima provinsi di Papua dan Papua Barat berdasarkan wilayah adat (budaya).

Usulan daerah otonom baru menjadi tujuh provinsi tersebut menurut kalkulasi politik dan ekonomi sangat menguntungkan negara. Sejalan dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang diberitakan di media nasional bahwa pemekaran Papua dilakukan atas dasar data intelijen.

Urgensi politik

Urgensi persoalan politik dan ekonomi terlihat dominan dalam pemekaran daerah otonom baru di Papua. Namun, narasi yang dibangun diarahkan pada sejumlah persoalan. Misalnya luas wilayah antara kabupaten/provinsi, kondisi geografis, keterisolasian, dan kesejahteraan. Narasi soal kesejahteraan benar, jika dipotret dari data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan data kemiskinan menunjukkan, Papua dan Papua Barat selama 20 tahun otsus masih di bawah angka rata-rata nasional.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menunjukkan, IPM Papua Barat berada di angka 65,26 dan Papua 60,62. Kemiskinan juga masih tertinggi secara nasional. Data September 2021, jumlah penduduk Papua yang hidup di bawah garis kemiskinan ada 944,49 ribu jiwa. Jumlah tersebut mencapai 27,38 persen dari total populasi.

Sedangkan di Papua Barat sebanyak 221,29 ribu jiwa. Jumlah tersebut mencapai 21,82% dari total populasi. Mayoritas penduduk miskin Papua hidup di perdesaan yang terisolir dan akses pelayanan publik masih terbatas. Walaupun persoalan kesejahteraan terus dinarasikan oleh kalangan elit lokal dan nasional, mayoritas masyarakat Papua tetap mengambil sikap menolak perpanjangan otsus dan daerah otonom baru.

Alasan penolakannya ialah selama Undang-Undang Otsus Jilid I diberlakukan dan dibarengi dengan pemekaran daerah otonom kabupaten/kota tidak membawa perubahan signifikan bagi masyarakat asli Papua. Semakin hari orang asli Papua (OAP) menjadi kelompok minoritas dan termarginal. Selain itu, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM meningkat, masyarakat adat kehilangan tanah dan hutan, dan sebagainya.

Pemerintah terus memaksa pemekaran daerah otonom baru Papua di tengah berbagai aksi demo penolakan masyarakat Papua. Pemaksaan itu mengindikasi ada kepentingan negara yang sangat urgen, yakni persoalan politik dan ekonomi. Berangkat dari perjalanan 20 tahun Otsus Jilid I, pemerintah tidak mampu meredam tuntutan politik Papua merdeka yang semakin mengglobal.

Setiap tensi politik meningkat Pemerintah sulit mengendalikan keadaan. Persoalannya semakin rumit ketika masa Pemerintahan Gubernur Enembe dan Klemen Tinal Jilid II yang senafas dengan pimpinan MRP dan DPRP sering kontra dengan pemerintah pusat. Terbaca dari berbagai kebijakan yang mengundang pro-kontra berikut.

Pertama, dualisme jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Papua versi Mendagri dan Gubernur. Kedua, revisi UU Otsus langsung dari pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah provinsi. Ketiga, pemekaran daerah otonom baru provinsi tanpa persetujuan pemerintah provinsi. Keempat, pelantikan penjabat (Pj) bupati dan wali kota langsung oleh Mendagri, dan sebagainya.

Hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah pusat dan provinsi ini dimanfaatkan oleh kelompok elit yang lain untuk terus mendorong pemekaran dengan bertemu langsung pemerintah pusat. Narasi-narasi pro NKRI dan wilayah adat terus didengungkan untuk memuluskan pemekaran. Tentu ini bagian dari strategi fragmentasi sosial dan politik, yakni melokalisir wilayah yang masyarakatnya masif dan aktif memperjuangkan Papua merdeka.

Dengan cara ini pemerintah mudah untuk mengontrol dan mengalokasikan segala sumber daya yang dimiliki untuk mengamankan kedaulatan negara. Fragmentasi sosial dan politik di satu sisi akan menciptakan politik adu-domba, yakni masing-masing provinsi atau wilayah adat akan saling usir-mengusir atau tolak-menolak. Masyarakat wilayah adat tertentu akan mengganggap provinsi yang ada di wilayah adatnya adalah hak miliknya sehingga ada kemungkinan akan membatasi aktivitas ekonomi, sosial dan politik bagi mereka yang berasal dari wilayah lain.

Beban ekonomi

Ada peluang juga pikiran primordial dilegitimasi dalam produk hukum turunan dari UU Otsus. Walaupun seluruh tanah Papua berlaku satu UU Otsus, regulasi turunannya akan berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung kebijakan Gubernur bersama DPRP dan MRP. Pemekaran daerah otonom baru dengan strategi fragmentasi sosial dan politik ini semata-mata untuk meredam gejolak politik Papua merdeka.

Pemekaran daerah otonom baru atas dasar urgensi ekonomi, yaitu beban utang negara yang cukup tinggi dan meningkat setiap tahun. Pemberitaan di beberapa media nasional menyebutkan, hingga 28 Februari 2022, utang Indonesia tercatat telah mencapai Rp 7.014,58 triliun.

Untuk itu, pemekaran daerah otonom baru hadir juga untuk mempermudah investasi sumber daya alam di tanah Papua. Hasil investasi SDA digunakan untuk menutupi sebagian utang negara, di samping untuk kepentingan ekonomi para elit di Jakarta. Sudah menjadi rahasia umum, para elit di Jakarta dari kalangan jenderal, purnawirawan, politikus, dan lain-lain memiliki bisnis pengelolaan sumber daya alam di Papua yang di-backing oleh militer. Hasil pengelolaan sumber daya alam ini akan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah otonom baru yang dimekarkan. Pernyataan ini didasari atas kemandirian fiskal daerah yang tercermin dari pencapaian pendapatan asli daerah (PAD) di wilayah Papua dan Papua Barat masih rendah.

Berdasarkan data Kemendagri terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi seluruh Indonesia Tahun Anggaran 2021, Papua dan Papua Barat memiliki pendapatan asli daerah (PAD) di bawah 30 persen, yaitu 11,96 persen dan 6,15 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Di saat kemandirian fiskal daerah masih rendah, pemerintah terus memaksa pemekaran daerah otonom baru provinsi.

Artinya sudah ada kalkulasi ekonomi, di mana melalui pemekaran daerah otonom baru pemerintah akan menghasilkan triliunan rupiah dari hasil pengelolaan sumber daya alam di bumi Cendrawasih. Berkaca dari Freeport Indonesia, British Petroleum (BP) Bintuni, Perusahaan Kelapa Sawit, Merauke Integrated Food and Energi Estate (MIFEE), dan berbagai perusahaan lainnya yang telah memberikan kontribusi besar bagi negara.

Oleh karena itu, kalkulasi pemerintah ialah dengan pemekaran semakin membuka peluang investasi sumber daya alam guna mendatangkan triliunan rupiah bagi negara. Lalu sebagian hasil keuntungan investasi itu ditransfer kembali ke Papua dalam bentuk dana otsus, DAU, dan DAK untuk membiayai pembangunan sejumlah daerah otonom baru hasil pemekaran.

Tinggalkan Komentar Anda :