Oleh Lamek Dowansiba
Ketua Komunitas Suku Membaca Papua
PERADABAN orang asli Papua dimulai pada 1855 melalui Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler. Pada 5 Februari 1855, kedua zending atau misionaris asal Jerman itu untuk pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Mansinam, Teluk Doreri, Manokwari, kota Provinsi Papua Barat.
Sejak kehadiran dua zending di bumi Cendrawasih, momentum itu sekaligus sebagai tanda dimulainya peradaban orang Papua. Peradaban yang bukan sekadar aspek spiritual dan tetapi juga pendidikan. Tak lama kemudian, tahun 1925 Pendeta Izaac Samuel Kijne, zending berkebangsaan Jerman Kembali ditugaskan di Wondama. Kehadiran hamba Tuhan itu bukan sekadar menjalankan misi perkabaran Injil tetapi meletakkan dasar-dasar pendidikan modern bagi kemajuan masyarakat tanah Papua.
Saat berada di Wasior tanggal 25 Oktober 1925, Pendeta Izaac menulis dengan jelas. Katanya, “Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.”
Isi pesan Bapak Peradaban Orang Papua ini memiliki makna yang dalam. Pesan itu menegaskan bahwa suatu saat orang Papua akan tampil sebagai pemimpin di atas tanah leluhurnya. Mereka, orang asli Papua akan menjadi pemimpin di tanah leluhur sendiri meskipun kelak banyak orang dari berbagai daerah berdatangan dengan beragam latar belakang. Sekolah Kampung atau Sekolah Peradaban di Miei, Bukit Aitumeri, inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya pendidikan modern bagi kemajuan tanah Papua.
Peran pendidikan
Pendidikan sangat berperan strategis dalam pembangunan peradaban, khususnya dalam menyiapkan sumber daya manusia sesuai dengan tuntutan dan perkembangan peradaban manusia. Kualitas sumber daya manusia suatu bangsa lebih berharga dibanding kekayaan alam.
Fakta telah membuktikan, ada bangsa atau negara yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam namun negaranya maju dan rakyat hidup makmur dan sejahtera dibanding negara yang memiliki sumber daya alam melimpah.
Oleh karena itu, dalam pembangunan peradaban, pendidikan memegang peran penting, tidak ada kemajuan sumber daya manusia tanpa pendidikan. Mestinya seluruh elemen atau masyarakat asli Papua harus menyadari aspek pendidikan. Pendidikan berkualitas sangat mendesak, diperlukan karena akan menjadi garansi bagi kemajuan dan masa depan tanah Papua.
Pendidikan mampu mengubah hal-hal tradisional menjadi modern, mengubah berpikir irasional menjadi rasional, mengubah masyarakat Papua yang belum cerdas menjadi cerdas, dan mengubah cara hidup yang tidak demokratis menjadi demokratis.
Tanah Papua memiliki potensi sumber daya alam melimpah, dan menjanjikan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Kenyataannya, Papua masih kekurangan sumber daya manusia bermutu yang dapat diandalkan untuk mengelola potensi sumber daya alam yang ada demi kemajuan masyarakat dan daerah.
Bangsa ini hanya bisa dibangun dengan baik jika generasinya juga memiliki kapasitas yang baik pula serta berkarakter. Hal itu hanya bisa dilakukan melalui pendidikan. Plato, filsuf besar dari Athena (428-347) pernah mengatakan, “jika anda bertanya apa manfaat pendidikan maka jawabannya sederhana. Pendidikan membuat orang baik dan orang baik tentu berperilaku mulia.”
Dalam konteks Papua, hemat penulis pendidikan merupakan kebutuhan fundamental, urgen, dan perlu dibangun secara masif dengan cara yang out of the box, ‘agak nakal’ mengingat selama ini anggaran otsus yang juga mengurus sektor pendidikan jumlahnya triliunan.
Otonomi dan pemekaran
Akhir-akhir ini muncul pro kontra terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus) dan pemekaran provinsi baru. Dua isu krusial sangat serius dan ramai diperbincangkan oleh masyarakat Papua.
UU Otsus Jilid 2 untuk Papua dan Papua Barat sebenarnya bertujuan baik. Muaranya memberikan kesejahteraan, kemakmuran melalui akselerasi pembangunan di tanah Papua. Namun faktanya, mengacu UU Otsus Jilid 1 belum memberikan hasil memuaskan bagi rakyat Papua.
Paling kurang ada tiga hal utama sejak Otsus bergulir tahun 2001. Pertama, otsus menghadirkan diskriminasi, jurang yang tajam antara sesama orang asli Papua, orang asli Papua dengan orang non-Papua.
Kedua, otsus memanjakan dan dapat membunuh karakter orang asli Papua. Padahal, karakter sesungguhnya adalah pekerja keras, rajin, dan pantang menyerah. Ketiga, otsus melahirkan segelintir penguasa baru yang kaya raya dan menindas rakyat. Dalam kondisi kurang beruntung itu hak-hak rakyat malah dikebiri tanpa rasa malu.
Pro-kontra juga menyasar kebijakan pemekaran Papua menjadi beberapa daerah otonom baru. Padahal, bila mau jujur Papua butuh pemekaran demi percepatan pembangunan jalan, jembatan, dan pembangunan sarana lainnya yang dapat mempermudah akses dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Fakta menunjukkan, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih terjadi di tanah Papua, yang tentunya merugikan masyarakat dan daerah. Namun, pemekaran juga dapat memicu kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan marjinalisasi terhadap masyarakat lokal.
Pemekaran juga berpotensi menyuburkan praktik ilegal logging, laju deforestasi, ekplorasi maupun eksploitasi terhadap sumber daya alam secara serampangan yang bermuara terjadinya kerusakan eksosistem sebagai akibat keserakahan pengusaha yang berselingku dengan pejabat lokal.
Perlu diingat pula bahwa pemekaran berpeluang menciptakan kelas-kelas sosial baru di tengah komunitas masyarakat adat. Ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi semua pemangku kepentingan lokal (stakeholders) agar mengawasinya sehingga pemekaran punya manfaat lebih dibanding mudarat.
Mencermati kompleksitas persoalan yang terjadi di tanah Papua yang tak ujung usai merupakan bukti kurang maksimalnya penyelenggaraan sistem pendidikan. Sistem pendidikan masih sebatas menghasilkan sumber daya manusia yang merasa pandai, bukan pandai merasa.
Karena itu, bila mencermati kebijakan otsus dan langkah pemekaran pada dasarnya bertujuan baik demi kemakmuran rakyat. Namun, tentu tetapi berpijak pada kebutuhan dan urgensinya bagi masyarakat.
Satu hal yang perlu dipahami, pendidikan adalah sarana membangun masa depan tanah Papua. Pendidikan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi selama ini melalui sumber daya manusia yang unggul, cerdas, dan berkarakter. Karakter manusia Papua sangat ditentukan kualitas pendidikan.
Profesor Kellogg School of Management, Northwestern University Philip Kotler mengemukakan, ada empat faktor yang mempengaruhi kemajuan sebuah bangsa. Keempat faktor dimaksud ialah (i) natural capital (sumber daya alam), (ii) physical capital (modal fisik), (iii) human capital (sumber daya manusia), dan (iv) social capital (modal sosial).
Dari empat modal tersebut, menurut Professor of Labor Economics at Princeton University Frederick Harris Harbison, sumber daya manusia merupakan modal utama untuk membangun sebuah bangsa.
Nah, sumber daya manusia Papua hari ini dan ke depan diperoleh dari pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas di tanah Papua sangat urgen dan menjadi pekerjaan rumah berat bagi semua pemangku kepentingan penghuni tanah Melanesia.