SORONG, ODIYAIWUU.com — Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Agustinus R Kambuaya, SIP, SH, Senin (4/11) mengunjungi daerah pemilihannya, Provinsi Papua Barat Daya, setelah terpilih sebagai senator periode 2024-2029.
Dalam kunjungan tersebut, Agustinus, senator muda putra asli Papua, berkesempatan menyambangi warga transmigran di Kabupaten Sorong untuk bersilaturahmi, berdiskusi, dan bertukar informasi sekaligus menyerap aspirasi warga.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan ihwal Undang-Undang Nomor 18 tentang Pangan dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 6 serta dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
“Berbagai fakta empiris yang disampaikan warga transmigrasi cukup pelik. Salah satu soal paling pokok yang dihadapi warga transmigrasi adalah masalah tanah. Suparlan, salah seorang ketua RT mengaku bahwa tahun 1995 warga transmigran dibagikan sertifikat tanah. Sementara ada yang belum punya sertifikat hingga saat ini,” kata Agustinus Kambuaya dari Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (7/11).
Warga transmigran yang belum memiliki sertifikat tanah setia membayar pajak. Sertifikat sebagai alas hak atas tanah tak kunjung dikantongi warga. Selain itu, kata Agustinus, instrumen peraturan perundang-undangan soal cipta karya dan pangan sesungguhnya belum mengakomodasi kepentingan warga transmigran.
“Persoalan lahan dan kepemilikan masih menjadi persoalan pelik hingga saat ini. Warga transmigran yang dikirim ke Sorong saat ini memasuki generasi kedua. Kenyataannya, mereka tidak bisa memproduksi hasil pertanian untuk swasembada pangan,” kata Agustinus.
Agustinus mengakui, meski memiliki lahan luas namun dukungan bibit, pupuk dan modal tidak ada. Akses pasar sekadar memasarkan hasil pertaniannya dalam jumlah besar untuk menambah ekonomi dan biaya pendidikan anak, juga tidak jelas. Pasahal, para petani transmigran maupun warga petani asli Papua sama-sama menanam.
Setelah tanam, produk pertanian hanya menuju pasar sentral atau pasar rakyat. Ujung-ujungnya, hasil pertanian tidak laku lalu membusuk kemudian dibuang. Jadi, bukan lagi soal gagal panen, tetapi lebih pada akses pasar memadai dan menguntungkan dari segi biaya tenaga.
“Warga transmigran mengaku, kalau pemerintah mau datangkan warga transmigran baru nasibnya akan sama seperti mereka. Malah tidak produktif dan tak akan mengubah nasibnya. Transmigran baru akan menganggur. Jadi, program transmigrasi nasional bukan solusi. Warga transmigran terdahulu di Sorong punya lahan tidur tetapi tidak produktif karena akses modal dan pasar sulit,” ujar Agustinus.
Pada prinsipnya, ujar Agustinus, UU Pangan atau UU Cipta Kerja dalam prakteknya belum memfasilitasi aspek pertanian dan perkebunan guna memberdayakan masyarakat asli Papua maupun para warga transmigrasi angkatan pertama dan kedua.
Kehidupan yang sulit, kata Agustinus, membuat banyak warga transmigran kembali ke kampung halamannya atau beralih profesi dari petani menjadi pekerja di bidang lain yang lebih menjanjikan.
“Saat ini pemerintah perlu memikirkan pentingnya aspek pemberdayaan penduduk lokal agar terajut kerja sama saling menguntungkan antara warga asli Papua dan warga transmigran. Ini sangat penting karena kenyataannya mereka menghadapi kesulitan ekonomi, sosial dan akses modal, teknologi dan pasar tidak ada,” ujar Agustinus. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)