Tradisi Janji Palsu dalam Pilpres Indonesia - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Tradisi Janji Palsu dalam Pilpres Indonesia

Tradisi Janji Palsu dalam Pilpres Indonesia. Gambar Ilustrasi: Istimewa

Loading

DI SETIAP pemilihan presiden, tradisi menyajikan janji-janji manis oleh para calon presiden dan wakil presiden telah menjadi ritual yang hampir tak terpisahkan dari dunia politik Indonesia. Janji-janji tersebut, yang seringkali disajikan dengan bahasa retoris dan penuh harapan, mengisi ruang kampanye sebagai alat untuk menarik dukungan massa. Namun, realitas yang terjadi di lapangan justru menunjukkan bahwa janji-janji tersebut hampir selalu tidak terbukti ketika tersaji dalam bentuk kebijakan nyata selama masa pemerintahan.

Dalam setiap kampanye, calon pemimpin tak henti-hentinya menawarkan solusi atas berbagai persoalan bangsa. Mulai dari peningkatan infrastruktur, perbaikan sistem pendidikan dan kesehatan, hingga upaya penanggulangan korupsi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Janji-janji ini pun berhasil menggugah semangat pemilih, menciptakan harapan akan terwujudnya perubahan signifikan. Sayangnya, begitu para pemenang kampanye mulai menjalankan roda pemerintahan, kenyataan seringkali berbeda jauh dari apa yang dijanjikan di masa kampanye.

Beberapa faktor mendasari kegagalan mewujudkan janji-janji tersebut. Pertama, dinamika politik yang selalu berubah seiring waktu kerap kali menggeser prioritas pemerintahan. Visi dan misi yang pernah dibicarakan di depan publik kini harus menyesuaikan dengan kondisi politik domestik maupun global yang kian kompleks. Kedua, struktur birokrasi yang kaku dan sistematis sering menghambat implementasi kebijakan yang ideal. Meski niat untuk melakukan reformasi atau perubahan ada, kendala birokrasi dan resistensi terhadap inovasi mengakibatkan banyak program hanya berhenti di atas kertas.

Selain itu, pergantian kepemimpinan antar periode pemerintahan turut menyumbang pada terhambatnya kesinambungan program. Setiap kepemimpinan baru cenderung membawa visi baru yang kadang kala bertolak belakang dengan janji-janji kampanye pendahulu. Hal ini menimbulkan diskontinuitas, di mana rencana kerja yang telah disusun sebelumnya harus direvisi atau bahkan dibatalkan. Akibatnya, kepercayaan publik pun semakin menipis, karena janji yang telah diucapkan pada masa kampanye berubah menjadi kenangan yang tak lagi relevan dengan kenyataan.

Kekecewaan masyarakat yang menyaksikan janji-janji kampanye tidak terealisasi ini semakin menguatkan seruan untuk perubahan paradigma dalam berpolitik. Masyarakat pun mulai menuntut agar calon pemimpin tidak hanya mengandalkan retorika manis saat kampanye, tetapi juga harus menunjukkan rekam jejak nyata dan komitmen untuk menunaikan janji-janji tersebut. Di tengah tantangan global dan domestik yang semakin kompleks, transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi dalam kebijakan menjadi kunci utama untuk membangun kepercayaan publik.

Lebih jauh lagi, tradisi janji palsu ini juga mengikis fondasi demokrasi. Ketika janji-janji kampanye hanya menjadi wacana belaka, masyarakat merasa dimanfaatkan dan dikhianati. Kepercayaan yang seharusnya menjadi modal penting dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat tergerus, menimbulkan sikap skeptis dan apatis yang dapat berujung pada menurunnya partisipasi politik. Hal ini menyiratkan perlunya reformasi mendasar dalam sistem politik yang ada, agar setiap komitmen yang diucapkan saat kampanye dapat diimplementasikan secara nyata dan berkelanjutan.

Sudah saatnya para pemimpin belajar dari sejarah dan menghargai kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Alih-alih terjebak dalam tradisi janji yang hanya sebatas wacana, perlu diupayakan transformasi dalam setiap langkah kebijakan yang dilaksanakan. Harapan akan Indonesia yang lebih baik harus didorong oleh bukti nyata komitmen untuk perubahan, bukan semata-mata janji yang tidak terwujud. Dengan demikian, kepercayaan publik dan keberlanjutan pembangunan bangsa dapat terwujud secara optimal, menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih transparan, adil, dan sejahtera. (Yakobus Dumupa/Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :