Oleh Benyamin Lagowan
Aktivis Anti Perang Suku dan Pro Perdamaian Papua
SELAMA ini ada semacam ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam pengungkapan berbagai kasus kematian misterius di tanah Papua. Bila diamati, faktor status sosial ekonomi, profesi, ras, dan finansial ikut berpengaruh pada upaya pencarian dan penemuan keadilan bagi korban pembunuhan misterius.
Misalnya dalam pengungkapan kasus kematian dr Mawartih Susanti, Sp.P (47), dokter spesialis paru yang bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nabire baru-baru ini. Atau kasus pembunuhan Josua Hutabarat, kasus Mirna/Jessica atau kasus kematian Koordinator Kontras Munir. Beberapa kasus itu dapat diungkap oleh kepolisian dan para medis. Begitu juga dr Mawar, di mana berselang 19 hari polisi mengungkap kasus tersebut.
Sementara banyak kasus yang serupa yang menelan korban nyawa orang Papua tidak pernah satu kasus pun diungkap ke publik secara terang benderang soal motif dan pelaku-pelakunya. Banyak kasus berlalu begitu saja. Didiamkan.
Ada alasan klasik sekaligus kelemahan, orang asli Papua tidak mungkin mau korban diotopsi. Keluarga korban mudah menerima kematian sebagai takdir Ilahi. Akhirnya, itu telah menjadi hambatan juga dalam upaya pencarian keadilan.
Tapi tentu ada juga kasus serupa yang justru tidak pernah dilakukan otopsi atau pemeriksaan melalui scientific crime investigation (SCI). Meski ada keluarga yang mungkin dapat mengizinkan otopsi dan prosedur pemeriksaan lainnya.
Di sini letak ketidakadilan dalam proses pemenuhan rasa keadilan dan asas persamaan di mata hukum Indonesia. Ada semacam ‘main pilih muka dan pilih kasus’ dalam pengusutan kasus-kasus kematian misterius yang mengarah pada aroma tindak pidana.
Untuk itu, catatan ini akan coba mengurai bagaimana kasus Nabire yang dialami dr Mawar diungkap hanya dalam tempo 19 hari. Sementara kasus kematian misterius dan mendadak di Papua tidak pernah diungkap. Bahkan kasus-kasus penembakan yang diduga melibatkan aktor-aktor tertentu.
Kasus Nabire
Ada prestasi luar biasa institusi kesehatan, kepolisian dan keluarga korban dalam pengungkapan kasus kematian misterius dr Mawar, tenaga kesehatan yang merupakan dsokter spesialis paru satu-satunya di Provinsi Papua Tengah yang bekerja di RSUD Nabire, wilayah adat Meepago beberapa waktu lalu.
Dokter Mawar ditemukan tewas secara misterius di kediamannya, di Siriwina, Nabire, kota Kabupaten Nabire, Papua Tengah pada Kamis (9/3) sekitar pukul 19.00 WIT lalu di Siriwina, Kabupaten Nabire. Ia ditemukan tak bernyawa oleh dua orang.
Awalnya, kematian dokter wanita lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas) tersebut mencurigakan. Saat ditemukan, dari mulutnya keluar busa dan diketahui selama ini ia tidak pernah menderita sakit apapun.
Oleh karena itu, ibu korban meminta agar anaknya itu diotopsi secara menyeluruh. Maklum, terlihat ada kejanggalan besar di balik kematiannya. Setelah ditangani pihak kepolisian, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan pihak terkait lainnya, diambil beberapa sampel dari tubuh korban.
Menurut ibu korban, dari keterangan dokter yang sempat memeriksanya mengatakan ditemukan ada lebam di dada, satu iga kanan dan kiri patah. Dengan itu maka kepolisian didukung IDI Papua dan juga ikatan spesialis paru, melakukan investigasi secara ilmiah, scientific crime investigation untuk mengungkap misteri kematian dokter Mawar.
Beberapa area yang ditemukan terdapat lebam dan bekas sentuhan fisik diambil secara seksama sebagai sampel pemeriksaan oleh tim laboratorium forensik. Tes deoxyiribonucleic acid atau DNA yang dipilih.
Alhasil, hanya belasan hari sejak kematian korban, pihak kepolisian mengetahui siapa yang sempat bersentuhan dengan dokter wanita itu sesaat sebelum kematiannya.
Hasil analisa DNA yang didapatkan dari cairan yang diambil dari tubuh korban, ditemukan siapa pemilik cairan liur yang diperiksa. Akhirnya sesudah maping dan pencocokan terhadap semua saksi yang diambil hingga sejauh radius jauh dari 30 meter dari TKP, kepolisian menetapkan KW sebagai tersangka.
KW merupakan salah satu petugas kebersihan, cleaning service di RSUD Nabire. KW pun tidak dapat mengelak perbuatannya. Ia mengaku melakukan pembunuhan karena kesal korban memangkas gajinya hingga mencapai hampir 50 persen lebih.
Masih misterius
Bila diikuti secara saksama maka pihak kepolisian dan kedokteran Indonesia telah memiliki sumber daya manusia, fasilitas dan alat yang cukup untuk mengungkap berbagai kasus kematian misterius.
Sebagaimana sudah dilakukan atas pengungkapan kasus kematian beberapa orang di atas, masih ada pertanyaan retoris. Mengapa hal serupa tak dilakukan terhadap banyak orang Papua yang tewas mengenaskan secara misterius?
Misalnya untuk mengungkap penyebab kematian Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal tahun 2021, Bupati Nduga Yairus Gwijangge tahun 2020, Bupati Yalimo Er Dabi tahun 2017, Bupati Yahukimo dan Wakilnya, Abock Busup-Heluka tahun 2020, Bupati Mappi tahun 2020, Wakil Bupati Pegunungan Bintang Piter Kalakmabin tahun 2022, Rektor Uncen Karel Sesa tahun 2015.
Kematian Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Agus Alua tahun 2011, Ketua KAPP Papua Johny Wamu Haluk tahun 2012, Uskup Timika John Saklil tahun 2018, Pastor Dr Neles Tebay tahun 2014, Pater Yul Mote tahun 2014, 4 pelajar kasus Paniai berdarah tahun 2014, kasus Dogiay berdarah, kasus Deiyai berdarah, kasus kematian mendadak aktivis Filep Karma tahun 2022, dan lain sebagainya. Termasuk kasus Wamena berdarah Jilid 3 awal tahun 2023 lalu.
Bila dideretkan, masih banyak kasus kematian misterius yang menimpa orang Papua dengan beragam profesi dan status sosial ekonomi. Tetapi sangat jarang mendapatkan penjelasan terkait sebab musabab kematian mereka yang mendadak melalui investigasi ilmiah yang dilakukan para ahli di bidangnya.
Pertanyaan lain muncul Apakah ini sebagai akibat perbedaan ideologi dan ras? Ataukah apakah hal ini karena ada semacam perbedaan stratifikasi kelas manusia? Sebagai manusia kelas dua di negeri ini kematian orang asli Papua apapun status sosialnya tidak mendapatkan tempat bagi penegakan keadilan?
Meskipun ada alasan klasik seperti kekurangan sumber daya manusia dan dana dalam pengungkapan kasus kematian semacam itu, namun melihat dapat dibongkarnya kasus serupa di luar Papua secara terang benderang seolah memperlihatkan ada semacam pengabaian dan pengutamaan atas dasar ukuran tertentu.
Di Papua satu-satunya kasus kematian tokoh Papua yang berhasil diungkap hanya atas kematian misterius Presidium Dewan Papua (PDP) Dortheys Hiyo Eluay dan kasus dokter ahli paru ini menjadi yang kedua. Selain dari itu, banyak kasus akhirnya mengambang dan masih menjadi misteri hingga saat ini.
Apakah Pemerintah Republik Indonesia sedang sengaja menahan nyawa para korban sebagai tawanan sebagaimana budaya perang orang Hubula Wamena, membiarkan dan sementara arwah para korban sedang dikendalikan mengikuti kehendak mereka?
Banyak kasus kematian elit dan tokoh Papua dibiarkan begitu saja tanpa diproses lebih lanjut. Bila demikian logikanya, maka tidak dapat dielakkan lagi bahwa pelaku sekaligus motif di balik kematian mereka adalah aktor negara dan alat negara dengan motif politik di baliknya.
Rasa keadilan
Bila tidak demikian, negara melalui pemerintah dan instansi teknis terkait harusnya mampu memfasilitasi dan memediasi pemenuhan rasa keadilan bagi setiap keluarga korban yang meninggal secara misterius. Negara melalui Pemerintahan Otsus Papua harusnya memiliki ploting anggaran yang jelas bagi investigasi kasus-kasus kematian mendadak setiap warga atau tokoh Papua yang meninggal misterius.
Berdasarkan uraian ini dan pengalaman ke pengalaman, memperlihatkan bahwa ada semacam ‘main pilih kasus dan korban’ atas dasar ras dan status sosial ekonomi (profesi) dalam pengungkapan kasus-kasus kematian di tanah Papua.
Ini tidak semestinya terjadi mengingat asas persamaan kedudukan di mata hukum, empati kemanusiaan yang setara tanpa memandang embel-embel apapun, dan lain-lain.
Dengan demikian mestinya keadilan dalam pengungkapan kasus kematian misterius harus dilakukan bagi setiap manusia di tanah Papua. Entah hitam kulit keriting rambut, kulit putih, rambut lurus atau ikal, partai A dan B, ideologi A dan B, dan seterusnya. Di situlah esensi Bhinneka Tunggal Ika, salah satu pilar kebangsaan dari para founding fathers hingga generasi saat ini.
Mengabaikan pemenuhan keadilan bagi semua entitas manusia, hanya akan menghasilkan kekecewaan, antipati yang bakal memperuncing disparitas menuju disharmoni dan disintegrasi bangsa.
Upaya masyarakat tanah Papua meraih keadilan di bumi Cenderawasih pun akan melewati jalan terjal berliku dan melelahkan. Mengapa? Korban maupun keluarga atau kerabat korban merasa tidak ada jaminan keadilan dan kepastian hukum.