Oleh Dr Joseph Laba Sinuor, M.Hum
Dosen Universitas Pelita Harapan Jakarta
GENDANG perubahan sistem pendidikan nasional telah ditabuh. Term ‘merdeka’ telah disematkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikristek) Republik Indonesia Nadiem Anwar Makarim pada kegiatan khas mahasiswa-dosen dan lingkup kegiatan sebagai ciri. Kemerdekaan dijadikan roh pembentuk manusia unggul di masa depan.
Masyarakat, khususnya komunitas kampus siap berbenah demi generasi muda yang terasah nalar dan rasa demi tegaknya harkat dan martabat bangsa di tengah kemajuan teknologi yang kian ganas menggerus nilai-nilai yang patut diketengahkan.
Pengenalan dan peluncuran istilah Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) oleh Menteri Nadiem Makarim (4/12/2019 dan 24/1/2020) mengingatkan publik akan gagasan progresif-esensialis pelopor dan peletak dasar pendidikan nasional-kultural Republik Indonesia Ki Hajar Dewantara di awal tahun 1922.
Lebih dari hanya menelisik hadir-absennya konsep sang pelopor dalam MBKM, tulisan ini ditujukan untuk memperlihatkan daya profetis konsep tersebut yang justru menjadi sasaran bidik sang menteri dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2020.
Pendidikan nasional
Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia atau proses pengangkatan harkat manusia ke taraf insani sebagaimana ditegaskan juga oleh Driyarkara (1931-1967) dalam filsafat pendidikannya. Pendidikan merupakan usaha sadar manusia untuk memanusiakan manusia muda. Fokusnya adalah peserta didik, manusia muda.
Kosekuensinya, pendidikan harus memerdekakan. Kemerdekaan itu wajib dihayati melalui otonomi belajar, berpikir, dan memutuskan apa yang hendak dipelajari. Dalam konteks itu, pendidik atau pengajar wajib menguasai materi pengajaran dan piawai memilih metode pembelajaran. Untuk itu ia menganjurkan metode among yang berazaskan pola asih, asah, dan asuh.
Dari sanalah manusia muda akan menjadi utuh dan seimbang cipta, rasa, dan karsanya. Pendidikan lalu menjadi sekaligus proses pengalihan ilmu pengetahuan dari yang sudah tahu ke yang belum tahu serta peng-habitus-an nilai-nilai dalam diri manusia muda. Bagaimana hal-hal tersebut bisa dicapai?
Strategi sang pelopor
Tujuan pendidikan akan terwujud jika lembaga pendidikan mengembangkan strategi-strategi berikut. Pertama, menanamkan dalam diri manusia muda semangat kemerdekaan. Dengan strategi ini, manusia muda akan menjadi pribadi mandiri yang kokoh menghadapi tantangan jaman.
Kedua, memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya dalam setiap interaksi sosial baik di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Sikap peduli dan belarasa terhadap yang lain akan tumbuh sehingga menyemaikan benih-benih kesiap-siagaan dalam diri manusia muda untuk berpartisipasi membangun masyarakat.
Ketiga, pendidikan harus diselaraskan dengan alam serta perkembangan jaman. Di sini pendidik bukanlah sekadar sumber pengetahuan, melainkan mediator yang memfasilitasi pembentukan aspek intelektual, psikomotorik, dan afeksi manusia muda.
Hal ini dimungkinkan jika pendidik mengaktualisaikan semboyan ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah manusia muda, membangun cita-cita), dan tut wuri handayani (mendukung dari belakang).
Tak tersangkalkan, gagasan brilian yang mulai disemai tahun 1922 itu mulai berbuah enam tahun kemudian dalam akad kaum muda untuk ‘satu’ dalam bagsa, bahasa dan tanah air yang memuncak dalam peristiwa historis 17 Agustus 1945. Pertanyaannya, apakah konsep seperti itu mendapatkan ruang dalam MBKM?
Dua hal dasar
Sejatinya MBKM mengandung dua hal dasar. Pertama, merdeka belajar diidentikkan dengan kebebasan berpikir yang harus dimulai oleh para dosen. Kedua, kampus merdeka yang diidentikkan dengan upaya melepaskan aneka borgol, belenggu agar dapat bergerak mudah.
Secara eksplisit, kampus merdeka dilihat dalam sejumlah aspek. Pertama, otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) untuk membuka program studi (prodi) baru dengan syarat terakreditasi A atau B dan telah mengikat kerjasama dengan organisasi dan/universitas tertentu. Kedua, re-akreditasi otomatis bagi seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi (PT) dan prodi.
Ketiga, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (PTN BLU) dan satuan kerja (satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Keempat, memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil atau tidak mengambil mata kuliah di luar prodi bahkan di luar PT setara 40 satuan kredit semester (SKS), dan melakukan perubahan definisi SKS.
Semuanya ditujukan untuk menumbuhkan kompetensi dalam diri mahasiswa dalam kultur belajar inovatif agar siap menghadapi perubahan sosial, budaya serta kemajuan teknologi khususnya dalam dunia industri.
Kampus merdeka
Merujuk Pasal 15 Ayat 1 Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020, tujuan kampus merdeka adalah untuk meningkatkan kompetensi lulusan agar siap dan relevan dengan kebutuhan jaman, menyiapkan pemimpin masa depan yang unggul dan berkepribadian sebagaimana tersirat dalam Permendikbud sebagai program MBKM: pertukaran pelajar, magang atau praktik kerja tematik, asistensi mengajar, penelitian, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, pembangunan desa, dan pelatihan bela negara.
Meminjam istilah filsuf Thomas S. Kuhn (1922-1996), bisa dikata telah terjadi paradygm shift dalam sistem pendidikan saat ini, meski lebih syarat nuansa metodologis. Dosen tidak lagi menjadi pusat informasi, melainkan rekan belajar dan pencari solusi bersama mahasiswa.
Format belajar yang terpusat-ketat dalam ruang kuliah beralih ke pembelajaran jarak jauh, e-learning bahkan lintas prodi dan lintas universitas. Sekat-sekat konseptual antara kampus dan kehidupan konkrit di alam, industri, dan masyarakat ikut tercabut. Semuanya menyatu dalam bingkai merdeka belajar.
Di situlah suara profetis sang pelopor berkumandang lantang. “Pendidikan dari manusia merdeka untuk manusia merdeka. Hanya manusia yang terdidik dan terlatih dalam suasana merdeka akan sanggup meniadakan aneka belenggu bagi bangsa untuk merdeka”. Pesan itu menggema kuat dalam MBKM gadangan sang menteri saat ini.
Persoalannya, bagaimana makna ‘merdeka’ dalam MBKM bisa diwujudnyatakan dalam kegiatan khas kampus? Apakah memang ada kampus yang benar-benar merdeka? Apakah sungguh terbukti bahwa di pengujung kegiatan merdeka belajar selalu tampil manusia-manusia unggul sebagaimana dicita-citakan?
Hanya pengusung sistem seperti itu yang paling tahu jawabannya. Apalagi kalau hal itu bermula dari imbauan presiden. Adalah masuk akal jika presiden memantau terus perkembangan dan pelaksanaannya. Bukankah persis di jantung kebijakan seperti itu terletak cipta, rasa dan karsa manusia muda, generasi penerus bangsa? Lalu?