JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Ketua Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menerima anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) seluruh tanah Papua. Para anggota MRP membawa aspirasi masyarakat bumi Cenderawasih terutama usulan perubahan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Menurut Bamsoet, aspirasi yang disampaikan antara lain perlu mengubah Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua agar tidak hanya gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli Papua. Namun, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota juga berasal dari orang asli Papua.
Selain itu, aspirasi lainnya yaitu perubahan definisi orang asli Papua sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Dalam Pasal 1 ayat 22 disebutkan bahwa “orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua”, dihapus sebagian menjadi “orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua.”
“Berbagai perubahan tersebut tidak lain untuk menguatkan posisi orang asli Papua yang benar-benar berasal dari tanah Papua, mengingat dana otonomi khusus Papua yang mencapai Rp 9,62 triliun, kini langsung dialokasikan ke berbagai kabupaten dan kota,” ujar Bamsoet melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com usai menerima anggota MRP seluruh wilayah Papua di Jakarta, Rabu (29/5).
Bamsoet mengatakan, pemanfaatan dana triliunan oleh oleh para gubernur-wakil gubernur, walikota-wakil walikota hingga bupati-wakil bupati sebagai pemimpin daerah lebih baik jika berasal dari orang asli Papua yang merasakan langsung denyut nadi kehidupan masyarakat Papua.
Dalam pertemuan tersebut hadir antara lain Ketua MRP Provinsi Papua Nerlince Wamuar, Ketua MRP Papua Pegunungan Agustinus Nikilik Hubi, Ketua MRP Papua Selatan Demianus Katayu, dan Wakil Ketua I MRP Papua Pendeta Robert Horik.
Selain itu, Ketua Forum Aspirasi dan Komunikasi Masyarakat Papua MPR RI (For Papua MPR RI) sekaligus Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai dan Anggota DPR RI Dapil Papua Barat Daya Robert Kardinal.
Bamsoet, Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan, menjelaskan, MRP seluruh wilayah tanah Papua juga menyampaikan aspirasi terkait perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 untuk memperkuat kewenangan MRP dalam menjalankan mandat UU Otsus Papua Jilid I dan II.
Dengan demikian, ujar Bamsoet, sebagai lembaga kultural MRP bisa memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengawasi, memonitor, dan meninjau implementasi penggunaan dana Otsus Papua yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
“Papua adalah salah satu wilayah dengan kekayaan sumber daya alam berlimpah seperti tambang emas, tembaga, dan gas alam cair. Tanah Papua juga memiliki potensi ekonomi yang besar dan peluang investasi menjanjikan. Sayangnya, belum digarap dan dimanfaatkan maksimal. Karena itu perlu peran MRP yang lebih kuat guna memastikan arah pembangunan di tanah Papua berjalan cepat dan tepat,” kata Bamsoet.
Bamsoet menjelaskan, pemerintah tidak bisa menutup mata terhadap ketertinggalan Papua dari provinsi-provinsi lain di Indonesia. Ketertinggalan Papua misalnya terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menggambarkan capaian tingkat pendidikan, kualitas kesehatan, dan peningkatan kesejahteraan.
Provinsi Papua memiliki indeks IPM 62,26 dan Papua Barat memiliki indeks IPM 66,66. Keduanya termasuk terendah jika dibandingkan dengan provinsi lain. Papua dan Papua Barat juga merupakan dua provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi dengan presentasi masing-masing 26,03 dan 20,49 persen.
“Tanah Papua juga masih dalam kondisi darurat kesehatan. Tercermin dari keberadaan berbagai rumah sakit milik pemerintah yang masih Tipe C. Papua dan Papua Barat masuk dalam enam provinsi dengan angka stunting terbesar. Papua di urutan ketiga dengan 34,6 persen, sementara Papua Barat di urutan keenam sebesar 30 persen. Papua juga menjadi provinsi dengan angka kematian balita tertinggi, yakni 40,97 per 1.000 kelahiran hidup pada 2022, lalu Papua Barat dengan angka sebesar 47,23 per 1.000 kelahiran hidup,” ujar Bamsoet. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)