JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Penanganan kasus penambangan ilegal, illegal mining di Papua Barat selama ini belum berjalan maksimal. Belakangan, sejumlah kepala daerah di Papua berurusan dengan hukum akibat tersangkut kasus korupsi. Karena itu, perlu dibentuk tim pengawasan terhadap penggunaan dana otsus di tanah Papua.
Senator Papua Barat Dr Filep Wamafma, SH, M.Hum mengatakan, dua persoalan krusial di tanah Papua tersebut juga disampaikan saat belangsung audiensi anggota DPD RI dengan Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin dan jajarannya di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (13/9).
Menurutnya, salah satu persoalan yang disorot senator muda agar mendapat atensi Jaksa Agung yaitu penanganan kasus illegal mining di Papua Barat yang belum berjalan maksimal. Menurut Wamafma, penegakan hukum atas kasus illegal mining masih berada di permukaan, belum menyentuh para pemodal di balik berbagai praktik ilegal tersebut.
“Soal illegal mining, saya melihat aparat penegak hukum di daerah, khususnya kejaksaan di sana diam. Mereka belum bertindak selaku penegak hukum untuk melakukan advokasi apalagi menyelesaikan masalah ini,” ujar Wamafma kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Selasa (18/9).
“Ini harta, emas, sesuatu yang sangat berharga apabila dikelola dengan baik melalui investasi di daerah. Tetapi, mafia besar ini berada di depan mata para penegak hukum di daerah tapi semuanya diam. Malah, yang ditangkap pihak kepolisian hanya pekerja. Sementara pemodalnya tidak disentuh. Oleh sebab itu, saya berharap pihak Kejaksaan Agung juga bergerak menyelesaikan kasus illegal mining di Papua Barat,” ujar Wamafma lebih jauh.
Selain itu, pihaknya memandang perlunya Kejagung membentuk tim pengawasan terhadap penggunaan dana otsus di tanah Papua. Tim ini, ujarnya, akan turut mengawal dan memastikan dana otsus digunakan sesuai peruntukannya sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat.
“Akhir-akhir ini sejumlah kepala daerah di Papua tertangkap. Bupati Mamberamo Tengah, Bupati Mimika, dan kini Gubernur Papua jadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai senator kami apresiasi itu. Namun, sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, saya meminta Kejaksaan Agung juga membentuk tim pengawas terhadap dana otsus karena sampai saat ini pengawasan dana otsus belum menyentuh substansi dan kebutuhan dasar orang asli Papua,” katanya.
Wamafma lebih lanjut mengatakan, tim pengawas otsus tersebut diharapkan mengawal dan menjamin alokasi 10 persen dana bagi hasil (DBH) migas agar dilaksanakan sesuai penggunaannya untuk pemberdayaan masyarakat adat Papua.
“Saya berjuang melalui UU Otsus ini sehingga saat ini sebesar 10 persen dana bagi hasil migas itu dialokasikan pemberdayaan masyarakat adat. Sampai saat ini saya sudah mengadvokasi dan meminta kepada gubernur, bupati/walikota menyalurkan 10 persen itu kepada masyarakat adat karena itu hak mereka,” ujar Wamafma, putra asli Papua dan doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Hassanuddin Makassar.
Menurut Wamafma, hingga saat ini sudah ada transfer dana ke daerah tapi belum menyentuh masyarakat adat. Oleh sebab itu, pihaknya juga minta Kejaksaan Agung membentuk tim untuk mengusut hal tersebut. Pasalnya, selaku senator ia mengaku sangat berdosa bila ia tahu prosesnya tetapi tidak memperjuangkannya.
Persoalan lain yang diangkat agar menjadi atensi Jaksa Agung dan jajarannya yakni terkait penanganan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Filep berharap agar Komisi Nasionak Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tak sekadar fokus dalam menangani berbagai kasus yang viral tetapi juga serius menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang hingga kini belum juga terselesaikan.
“Bebagai pelanggaran HAM berat di Papua harus segera diselesaikan. Siapapun pelakunya, harus diadili di Pengadilan HAM dan dipublikasikan secara terbuka. Dengan demikian, masyarakat Papua percaya bahwa negara memberikan jaminan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu,” ujarnya.
Selain itu, Wamafma, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari, menyampaikan apresiasi atas terobosan Kejagung yang mengedepankan restorative justice, keadilan restoratif. Filep berharap dalam pelaksanaannya, Kejagung juga menggandeng lembaga-lembaga hukum adat di Papua.
“Saya setuju dengan restorative justice. Saya berharap agar ada kerja sama Kejagung dengan lembaga-lembaga adat dan ada petunjuk teknis tentang konsep ini. Apalagi, masyarakat di Papua sangat lekat dengan hukum adat. Sehingga harapannya, restorative justice dapat dilaksanakan dengan baik di tanah Papua,” ujarnya.
Wamafma juga menyampaikan pandangannya terkait peran para jaksa agung dalam dunia pendidikan tinggi. Ia menekankan, jaksa harus mengajar sebagai dosen praktisi di perguruan tinggi, sehingga jaksa juga terlibat langsung dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul di Papua.
“Saya ada kampus STIH Manokwari, semoga bisa dibangun pusat kajian kejaksaan di STIH Manokwari sebagaimana yang sudah ada di Universitas Hasanuddin Makassar,” katanya.
Tak hanya itu, Wamafma yang juga salah seorang pimpinan Komite I DPD RI ini berharap penerimaan khusus melalui jalur afirmasi bagi putra-putri asli Papua di Kejaksaan dapat terus berlanjut.
“Saya berharap program ini terus berjalan agar di masa akan datang orang asli Papua diprioritaskan menjadi jaksa di tanah Papua. Dengan demikian, putra-putri asli Papua turut bertanggungjawab atas penegakan hukum di tanah Papua dan di negara ini khususnya di wilayah timur Indonesia,” katanya. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)