Oleh Jacob J Herin
Mantan wartawan The Jakarta Post di Dili, Timor Timur
MINGGU 9 Februari adalah Hari Pers Nasional. Saya teringat akan pengalaman bekerja sebagai jurnalis di wilayah perang di Timor Timur. Penderitaan Rakyat Timor Timur, tidak sepenuhnya dibela oleh pers Indonesia. Contoh kasus di Pekuburan Santa Cruz 12 November 1991, semua media di Indonesia menulis, penduduk yang melakukan demonstrasi adalah kelompok Fretilin.
Karena media-media Indonesia hanya menerima sumber berita dari pernyataan petinggi militer dan sipil Indonesia. Media Indonesia pada umumnya tidak pernah melakukan wawancara dengan pihak Fretilin yang dituduh melakukan provokasi.
Padahal, banyak Fretilin bermukim di Kota Dili, seperti rakyat biasa, pegawai negeri termasuk anggota militer (polisi dan tentara). Model tulisan semacam ini berlaku selama 23 tahun sampai rakyat Timor Timur meraih kemerdekaan melalui referendum 1999.
Ada sejumlah media massa yang menulis netral artinya sering meminta sumber berita dari kelompok pro-kemerdekaan, seperti Harian The Jakarta Post dan Majalah Jakarta-Jakarta. Majalah Jakarta-Jakarta sebagai salah satu media populer misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992. Karena membela rakyat Timor Timur, majalah ini ditutup Pemerintah Indonesia.
Namun meski media ini dimatikan, cerita yang berkisah tentang insiden Dili, 12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu.
Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
Akurasi berita
Sejumlah kantor berita internasional seperti Reuters, Associated Press, AFP dan sejumlah kantor berita internasional lain sering dikritik Menteri Luar Negeri RI. Media internasional dituduh menulis berita yang tidak benar dan tidak berdasarkan fakta.
Tetapi pemerintah lupa bahwa media internasional mempunyai ketentuan menulis berita. Satu berita banyak sumber. Beda dengan media massa di Indonesia, satu sumber banyak berita atau tidak ada sumber pun bisa menjadi berita.
Media internasional dan sejumlah media di Eropa sering sangat getol membela rakyat Timor Timur yang sedang ditindas pemerintah kolonial Portugal dan Indonesia. Sejumlah wartawan asing mengunjungi Timor Portugis, sebelum militer Indonesia masuk ke Timor Timur termasuk wartawan Harian Sinar yang masuk ke Timor Timur 1973, menulis penderitaan rakyat Timor Timur di bawah kolonial Portugis.
Selain media Indonesia juga sejumlah media internasional yang menulis tentang kekejaman Portugis di Timor Timur di antaranya wartawan freelance Peter Schumacher asal Jerman Barat yang tiba di Dili, Timor Portugis tahun 1973. Dalam kunjungannya untuk melakukan liputan berita-berita di wilayah itu, ia mendengar informasi bahwa rakyat Timor Portugis menderita kekurangan bahan makanan dan juga banyak terjadi berbagai pelanggaran (HAM) di wilayah itu.
Selama beberapa pekan Peter berada di Dili dan sekitarnya. Tak lama setelah Peter meninggalkan Dili, tersiarlah tulisan-tulisan mengenai keadaan penduduk di wilayah jajahan Portugis dalam surat kabar di Eropa yang menarik perhatian masyarakat internasional.
Tanggal 14 April 1973 surat kabar de Standard terbitan di Belgia misalnya dengan judul “Timor Lisboas Leelijke Stiefkind” menggambarkan keadaan buruk serta penindasan terhadap penduduk seperti membayar pajak yang berat karena setiap orang di atas umur 14 tahun harus membayar pajak, jika tidak dijatuhi hukuman kerja paksa.
Surat kabar Vrij Nederland terbitan Belanda menulis imbauan kepada pembaca agar lebih banyak publisitas tentang keadaan rakyat di Timor Portugis. Surat kabar Le Monde terbitan Prancis dan majalah The Asia Magazine edisi 12 September 1973 menulis berita di bawah judul “The Colony Where Time Stands Still in Portuguese Timor”. Sejak saat itulah masyarakat internasional khususnya negara-negara Eropa melihat ke negara-negara Asia khususnya Pulau Timor wilayah Portugis.
Pembunuhan wartawan
Militer Indonesia sengaja membunuh wartawan Australia yang sedang meliput berita di Balibo. Wartawan Australia menuduh militer Indonesia sengaja membunuh wartawan Australia yang sedang meliput berita di Balibo Timor Timur pada 16 Oktober 1975.
Mereka yang dibunuh itu bernama Malcolm Rennie (28), Greg Shackleton (27), Gary Cunningham (27), Brian Peters (29), dan Tony Stewart (21) yang dibunuh pasukan militer Indonesia saat mereka berada di wilayah Balibo dekat perbatasan Timor Barat.
Seorang oknum militer Indonesia saksi mata pembunuhan wartawan Australia menyebutkan para wartawan itu memang sengaja dibunuh agar informasi masuknya militer Indonesia ke wilayah Timor Timur tidak diketahui dunia internasional.
Memang waktu itu Pemerintah Australia sudah mengetahui, tetapi sudah berkolusi dengan Pemerintah Indonesia pimpinan Soeharto sehingga membiarkan rakyatnya dibunuh tanpa tuntutan dari pemerintah Australia.
Para wartawan Australia itu berusaha merekam penyusupan rahasia Indonesia ke Timor Timur di kota perbatasan Timor Timur di Balibo. Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa pembunuhan itu merupakan pembunuhan berdarah dingin terhadap orang-orang yang jelas-jelas adalah wartawan dan bukan pasukan tempur.
Pembunuhan itu dilakukan untuk memastikan agar berita mengenai penyusupan yang sedang berlangsung tidak tersiar keluar. Terdapat sejumlah bukti bahwa Pemerintah Australia mengetahui peristiwa ini, tetapi bersekongkol dengan Indonesia dengan menutupi apa yang sesungguhnya terjadi.
Seorang, pimpinan pasukan pro-integrasi 1975 dalam satu wawancara khusus di kota Ermera, Kabupaten Ermera tahun 1993 mengakui bahwa penembakan itu sudah dideteksi sejak pasukan Indonesia memasuki wilayah perbatasan menyusuri Balibo. Dalam satu serangan fajar menjelang matahari terbit, pasukan menembak sebuah rumah yang di dalamnya dihuni wartawan.
Mereka keluar dan menyebutkan diri sebagai wartawan dan sedang melakukan liputan, tapi suara mereka tidak didengar pasukan TNI. Bahkan peluru dari laras senjata terus diberondong ke arah wartawan. Satu orang meninggal dunia di tempat kejadian.
Selebihnya empat orang melarikan diri dan bersembunyi di belakang rumah yang sudah terbakar. Pasukan Indonesia terus mengejar dan mendapatkan mereka, seorang di antaranya masih berbicara, tetapi tidak didengar pasukan, tak lama kemudian senjata berbunyi dan mereka semua tertidur (tertembak mati). Mayat para wartawan itu kemudian dibakar untuk menghilangkan jejak.
Para wartawan menganggap bahwa kebebasan pers itu berkaitan dengan kebebasan politik. Seperti dikatakan Alex Springer, “suatu masyarakat yang merdeka lahir atas dasar kebebasan untuk memilih serta kebebasan menyatakan pendapat”.
Sedangkan mengenai pengertian “kebebasan pers” itu sendiri terdapat bermacam-macam konsep dan persepsi yang berbeda, tergantung dari latar belakang sistem sosial, politik serta filsafat yang mendasarinya.
Istilah kebebasan pers relatif sudah tua dan sedikit banyak merupakan suatu kumpulan dari pokok pertama pikiran ini, kebebasan berbicara dan kebebasan menyatakan pendapat secara lisan maupun tulisan. Kebebasan pers yang bersumber pada HAM dan hak kebebasan dasar manusia, yakni kemerdekaan penerangan, berpikir dan berbicara.
Kemerdekaan penerangan yang di dalamnya termasuk freedom of opinion dan freedom of expression mempunyai akar yang lebih dalam lagi, yaitu di dalam dahaga manusia akan pengetahuan, mencari kebenaran dan menentang keburukan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Kebebasan pers adalah kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan itu merupakan harta kekayaan manusia yang paling tinggi nilainya dan bermoral yang tidak dapat dipisahkan dari seorang.
Konsep kebebasan intelektual dan kaitannya dengan kebebasan berpikir dianggap sebagai benih tumbuhnya kebudayaan barat yang kemudian menjadi dasar bagi masyarakat demokratis. Konsep kebebasan pers sendiri muncul dari pemikiran di Eropa Barat ketika masyarakat berubah dari masyarakat feodal menjadi masyarakat demokratis.
Kode etik jurnalistik menyebutkan kemerdekaan pers adalah perwujudan kemerdekaan menyatakan pendapat tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 sehingga wajib dihormati semua pihak. Kemerdekaan pers merupakan salah satu ciri negara hukum yang dikehendaki penjelasan-penjelasan UUD 1945.
Kemerdekaan pers seharusnya dilaksanakan dengan tanggung jawab sosial serta jiwa Pancasila demi kesejahteraan dan keselamatan bangsa dan negara. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan kode etik jurnalistik untuk melestarikan asas kemerdekaan pers yang bertanggung jawab. Jurnalistik memilih hidup yang total, penyerahan diri secara penuh untuk mengabdi kepentingan orang banyak. Selamat Pers Nasional tahun 2025.