Oleh Agus Sumule
Dosen Universitas Papua
WAKIL Presiden RI dan rombongan berkunjung ke Fakfak dengan membawa berita penting: akan ada dua proyek yang dibangun. Pertama, pabrik pupuk kimia yang akan dibangun oleh PT Pupuk Kaltim. Bahan bakunya diperoleh dari industri gas alam.
Ini adalah pabrik pupuk pertama yang dibangun di Tanah Papua. Kedua, smelter Freeport yang akan dibangun di Fakfak. Kalau benar, maka ini adalah smelter kedua dari PT Freeport Indonesia. Yang pertama sudah dibangun di Gresik, Jawa Timur. Investasi-investasi ini tentu diharapkan akan membawa manfaat positif bagi negara.
Perusahaan akan memperoleh keuntungan sehingga bisa membayar pajak yang lebih besar. Selain itu, hilirisasi terjadi. Pemerintah Jokowi bertekad untuk meningkatkan nilai tambah hasil bumi Indonesia secara signifikan dengan membangun industri pengolahan di dalam negeri.
Dengan adanya investasi, ekonomi semakin bertumbuh. Dengan pertumbuhan ekonomi, maka kemiskinan bisa semakin dientaskan. Teorinya seperti itu. Bagaimana dengan Kabupaten Fakfak sendiri?
Apakah dengan kehadiran kedua investasi yang konon nilainya bisa mencapai lebih dari 50-an triliun rupiah itu akan membuat masyarakat di Kabupaten Fakfak lebih sejahtera, orang-orang miskin akan berkurang banyak, termasuk di kabupaten-kabupaten sekitar seperti Kaimana, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, dan lain-lain?
Manfaat seperti apa yang akan dinikmati rakyat, khususnya orang asli Papua (OAP) dari kehadiran investasi-investasi ini? Ketika investasi terjadi, maka kita semua berharap akan tercipta lapangan kerja. Tetapi, senang atau tidak senang, ada perbedaan yang mendasar dalam hal persyaratan tenaga kerja di subsektor industri pengolahan dengan lapangan kerja di sektor pertanian, misalnya.
Lapangan kerja di sub-sektor industri pengolahan mensyaratkan pendidikan yang memadai bagi calon karyawan. Bahkan di zaman sekarang, ijazah saja kerap kali tidak cukup. Sertifikat keterampilan dan profesi lumrah dijadikan persyaratan bagi para pencari kerja.
Apa indikator yang bisa kita gunakan untuk mengecek kesiapan tenaga kerja di Fakfak dan kabupaten-kabupaten sekitar pada khususnya, dan tanah Papua pada umumnya dalam menyongsong hadirnya dua investasi bear ini? Indikatornya adalah Mean Years of Schooling (MYS), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) atau penduduk usia 25 tahun ke atas.
Mari kita pelajari berapa RLS di Kabupaten Fakfak dan daerah sekitarnya. RLS adalah salah satu komponen penting dalam perhitungan IPM (indeks pembangunan manusia) suatu daerah atau negara. Rata-rata Lama Sekolah atau Mean Years of Schooling didefinisikan sebagai jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal.
Penduduk yang tamat SD diperhitungkan lama sekolahnya adalah 6 tahun, tamat SMP 9 tahun, dan tamat SMA 12 tahun tanpa mempersoalkan apakah seseorang pernah tinggal kelas atau tidak. Itu sebabnya RLS dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) di suatu wilayah.
Pada bulan Mei 2023, BPS mengeluarkan dokumen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2022. Dokumen itu melaporkan, bahwa RLS Kabupaten Fakfak 9,08 tahun (setara dengan tamat SMP), Kabupaten Kaimana 8,74 tahun (kelas 3 SMP), Teluk Wondama 7,20 tahun (kelas 1 SMP) , dan Teluk Bintuni 8,35 tahun (kelas 2 SMP) untuk penduduk 25 tahun ke atas.
Bagaimana dengan RLS dari orang asli Papua di kabupaten-kabupaten tersebut? Hampir bisa dipastikan lebih rendah. Dengan demikian, dengan RLS seperti yang disebutkan tersebut di atas, sulit kita membayangkan, bahwa industri pengolahan yang akan dibangun itu (pabrik pupuk, atau smelter konsentrat) akan menyerap sebanyak-banyaknya tenaga kerja dari Kabupaten Fakfak, dan kabupaten-kabupaten sekitarnya. Kenapa? Karena RLS penduduk usia 25 tahun ke atas di kabupaten-kabupaten tersebut masih rendah.
Mari kita pelajari pula tentang apa persyaratan pendidikan bagi mereka yang berminat untuk bekerja di pabrik pupuk kimia? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa kita peroleh dengan sangat cepat di era kecerdasan buatan (artificial intelligence–AI) dewasa ini. Saya bertanya kepada ChatGPT, salah satu AI yang tersedia gratis di internet.
Dalam hitungan detik, jawaban atas pertanyaan tersebut muncul di layar laptop saya, sebagai berikut: “… Sebagian besar pabrik pupuk kimia mengharapkan karyawan mereka … setidaknya (adalah) lulusan sekolah menengah [atas], atau bersertifikat pendidikan tinggi atau diploma. (Untuk posisi teknisi atau operator dibutuhkan) sarjana dalam ilmu kimia, teknik kimia, teknik proses, teknik mesin … (yang memiliki) pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip proses kimia …”.
Jawaban yang kurang lebih sama saya peroleh ketika saya bertanya mengenai persyaratan pendidikan untuk bisa diterima sebagai karyawan di pabrik smelter. Jadi, bagaimana ke depan? Apa yang harus diantisipasi, terutama karena Pemerintah sudah menyampaikan bahwa pabrik-pabrik itu akan segera dibangun, padahal RLS kita begitu rendah?
Pertama, pemerintah, pemerintah daerah dan pihak investor perlu terbuka kepada masyarakat tentang berbagai dimensi dari proyek-proyek ini dan apa dampaknya bagi masyarakat setempat –baik dampak positif maupun negatif.
Keterbukaan ini tidak harus menunggu sampai studi AMDAL selesai. Kalau industri-industri pengolahan ini, karena sifat kegiatannya, akan sulit menampung pencari kerja lokal akibat dari rendahnya pendidikan dan keterampilan mereka, sampaikanlah keadaan itu dengan terus terang kepada masyarakat. Angin sorga harus dibuat membumi, supaya semua pihak bisa maklum dan tidak kecewa berlebihan.
Kedua, pihak investor perlu berinvestasi dalam pengembangan SDM –bahkan sebelum fasilitas fisik dari pabrik-pabrik itu dibangun. Pendekatan ini sudah pernah dilakukan pada akhir tahun 1990-an. Ketika ARCO (kemudian diambil alih oleh BP Tangguh) sudah hampir pasti mengeksploitasi sumber daya gas bumi di Teluk Bintuni, manajemennya berkunjung ke kampus Uncen di Jayapura maupun Uncen Manokwari (sekarang Unipa).
Waktu itu Uncen belum memiliki satu pun program studi keteknikan. Tetapi Ir FA Wospakrik, M.Sc, Rektor Uncen (1996-2000 dan 2000-2005) serta Prof Dr Ir Frans Wanggai, Dekan Faperta Uncen di Manokwari mendesak supaya perusahaan BP mengetes/menyeleksi putra-putri Papua lulusan S1 dalam berbagai bidang ilmu, untuk kemudian dididik kembali dalam berbagai aspek teknis dan manajemen pertambangan terutama industri gas alam.
Pendekatan ini berhasil mencetak SDM Papua yang mumpuni dalam industri pertambangan gas alam dalam waktu yang relatif singkat. Alexander Wetebossy, misalnya, adalah seorang lulusan Program Studi Sosial-Ekonomi Pertanian asal Faperta Uncen. Jauh sekali bidang keilmuannya dari keahlian yang dibutuhkan oleh industri gas alam.
Tetapi beliau adalah mahasiswa yang cerdas ketika studi S1, termasuk dalam menguasai matematika dan ilmu pengetahuan alam. Dengan melalui pendidikan dan pelatihan yang tepat, Alexander mampu menjadi LNG Plant Process Technician. Bahkan yang bersangkutan kemudian berkarier sebagai oil and energy professional di Qatar.
Mudah-mudahan PT Pupuk Kalimantan Timur dan PT Freeport Indonesia akan melakukan pendekatan yang sama sebelum mereka membangun industrinya di Fakfak. Dengan cara seperti ini, serbuan para pencari kerja terampil dari luar Papua bisa dikendalikan.
Jangan pernah lupa, bahwa Papua adalah daerah otonomi khusus, di mana orang-orang asli Papua harus dilindungi, dipihaki, dan diberdayakan.
Ketiga, jelaslah tidak mungkin semua pencari kerja bisa diterima di kedua industri ini. Itu sebabnya energi pemerintah dan pemerintah daerah jangan habis hanya untuk membangun industri pengolahan berskala besar dan canggih.
Suka tidak suka, apabila perhatian berlebihan diberikan pada industri seperti ini, dan sektor-sektor ekonomi kerakyatan tidak digarap dengan serius, maka akan membuat semakin lebar ketimpangan antara yang berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan, yang bergaji tinggi dengan yang hidupnya cenderung subsisten, dan yang bekerja di industri besar dan yang di luar industri.
Sebaliknya, fokuslah juga pada pengembangan sumber-sumber pendapatan masyarakat luas. Pemerintah dan pemerintah daerah harus sama seriusnya mengembangkan industri pala, ikan asin, telur ikan, pariwisata, dodol durian, dan lain-lain, yang sudah terbukti menghidupi rakyat banyak selama ini.