Oleh Ben Senang Galus
Pengamat masalah Papua, tinggal di Yogyakarta
MEMBACA sejarah kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia berarti kita membaca sejarah peran pemuda. Para pemuda, sebut saja misalnya Che Guevara, Fidel Castro, Nelson Mandela, dll. Para pemuda tersebut menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa yang ingin merdeka. Mereka menjadi dirinya sendiri dan menjadi diri bagi bangsanya.
Demikianlah para pemuda (baca: pemuda Papua), dari masa ke masa senantiasa berdialektika dengan semangat patriotik, idealisme, dan gagasan. Kini pemuda dihadapkan iming-iming konsumerisme digital dan kenyamanan hidup yang melenakan.
Pertanyaan esensial yang perlu dikemukakan ialah mengapa sekarang ini para pemuda jarang sekali terlibat dalam sebuah gerakan atau aksi yang masif seperti pemuda Che Guevara, Fidel Castro, Nelson Mandela?
Barangkali saat ini pemuda kita sudah mengidap penyakit hibernasi (istilah kedokteran) menunjukkan pada penurunan semangat (intelektual), semangat patriotik, loyo darah. Atau para pemuda cenderung menjadi martir-martir dari hingar bingarnya teknologi digital.
Mereka lebih memilih mengisi waktunya (sebagian besar) dipakai untuk otak atik handphone, kegiatan karitatif, pesta pora, ulang tahun, sepak bola. Jika demikian halnya pemuda saat ini tidak lebih sebagai membership group atau crowd.
Maka tidak heran pada saat ini dan pada kesempatan ini saya boleh mengatakan pemuda telah mengalami krisis kemampuan intelektual, krisis kemampuan berpikir, jangkauan intelektualnya sebatang korek api.
Pemuda saat ini menganut ilmu pisang, sekali berbuah langsung mati. Cobalah menganut ilmu sumur, berjuta-juta kubik orang timba tidak akan pernah habis atau kering alias tidak pernah berhenti berinovasi, menulis, berdiskusi, berdialektika, dan sebagainya.
Empat puluh dua tahun lalu saya pernah mengingatkan kepada para cendekiawan kampus, termasuk mahasiswa melalui tulisan dengan judul Revolution of Mind (Kedaulatan Rakyat, 5 Mei 1983) barangkali penting untuk kita refleksikan kembali.
Refleksinya adalah tidak cukup mahasiswa memahami ilmu agar pekerjaan akan meningkatkan berkah manusia, kecuali mahasiswa mengambil bagian dalam kehidupan riil manusia dan memecahkan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, inilah fungsi mahasiswa sebagai agent of social change.
Kepada para cendekiawan kampus bahaya kalau para cendekiawan hanya sibuk dengan angka-angka, campuran kimia, cakar politik, merebut pangkat dan kekuasaan dan makin bangga kepintarannya yang kian sempit, tetaplah yang paling utama adalah manusia dan masyarakat.
Membaca Gerakan Pemuda Papua
Sejarah dunia adalah sejarah pemuda dunia. Demikian pula harapannya, sejarah Papua adalah sejarah pemuda Papua. Hanya sayang gerakan pemuda Papua tidak melahirkan pemimpin seperti gerakan pemuda Che Guevara, Fidel Castro, dan Nelson Mandela, Pemuda Che Guevara, Fidel Castro atau Nelson Mandela.
Mereka rela masuk penjara demi kemerdekaan sebuah bangsa. Ke mana-mana bahkan di dalam penjara sekalipun bekal mereka adalah buku, bolpoin, mesin ketik, bacaannya banyak, argumentasi dan narasinya tajam, jago menulis, keluar dari penjara kemudian menjadi pemimpin bangsa.
Mereka tidak haus kekuasaan dan harta. Beda dengan pemuda sekarang, setelah menjadi pemimpin kemudian masuk penjara. Mereka (pemuda sekarang) sangat haus kekuasaan dan harta. Perjuangan pemuda sekarang —memang mereka sering berteriak, bakar ban di jalan, menjemur di panas mata hari— tapi ujung-ujungnya minta kekuasaan dan harta. Inilah sebuah bahaya bagi sebuah perjuangan.
Pemikiran politik modern pemuda Papua harus diawali oleh bangkitnya nasionalisme Papua dengan memandang dunia modern sebagai tantangan terhadap masyarakat dan menganggap diri mereka sebagai pemimpin potensial di masa yang akan datang.
Dalam tahun-tahun 2000-an jumlah mereka (pemuda) meningkat agak pesat. Begitu pula alienasi mereka terhadap kekuasaan cukup kuat juga. Banyak di antara mereka, khususnya yang menuntut ilmu di bangku kuliah, belajar pelbagai ideologi seperti sosialisme, reformisme kristen, dan nasionalisme Papua.
Gerakan pemuda Papua harus menjadi bukti keniscayaan sejarah, mengingat sejak zaman pergerakan nasional Papua (tahun 50-an) hingga saat ini, pemuda selalu menjadi tonggak dan aktor dari pendorong perubahan tersebut. Hal ini terlihat dari uraian periodisasi di bawah ini.
Jika Karl Marx memercayakan perubahan pada perjuangan “kelas” dan Max Weber mengalamatkannya pada “aliran kultural”, adalah Ortega Y Gasset yang mempercayai “kaum muda” sebagai agen perubahan. Pandangan terakhir ini hendaknya memperoleh perwujudan historisnya di Papua. Selagi rakyat masih banyak berselimut dengan kegelapan, kaum terpelajarlah yang membukakan matanya bahwa ia mempunyai hak atas hidup sebagai bangsa yang merdeka.
Mahasiswa hidup di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya mereka mengerti dan memahami betul apa yang dirasakan dan dialami masyarakat. Jika ada yang mengatakan tidak boleh atau melarang aksi mahasiswa, mungkin ada yang tidak senang dengan aksi mahasiswa.
Pada kesempatan ini dan ditempat ini saya hendak mengatakan, saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Papua pada permulaannya memang harus ditentukan oleh kesadaran pemuda ini. Kalau pemuda di negara maju, sebut saja pemuda di Eropa, Amerika, China, dan beberapa pemuda di negara kaya lainnya, sepenuhnya usia muda yang serba menggembirakan.
Tidak demikian pemuda Papua harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain. Tidak ada jalan lain yang sudah siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya.
Sebaliknya dia harus membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat dia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya (bandingan Onghokham, 1991).
Paradoks Kehidupan
Sejarah panjang gerakan pemuda merupakan salah satu bukti, kontribusinya, eksistensinya, dan peran serta tanggung jawabnya pemuda dalam memberikan perubahan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Menilik gerakan pemuda Papua saat ini kita menjumpai paradoks kehidupan. Pertama, pemuda sebagai sosok yang kian tereduksi ke dalam kluster aktivitas marjinal yang lebih mencerminkan sebagai “konsumen pasar” ketimbang “agen perubahan sosial” (social change of agent).
Kedua, dalam diri pemuda masa kini ada kecerdasan, kreativitas serta bentuk baru mencintai masyarakat dan bangsanya. Seiring perubahan konteks hidup dan teknologi, pemuda juga tak segan “turun gunung”, berjuang memanfaatkan medium digital.
Ketiga, pemuda sekarang cenderung egois. Egoisme para pemuda sekarang tiga perempatnya berupa orientasi perjuangan untuk kelompok sendiri, sedangkan sepertiga lainnya menganggap orientasi perjuangan pemuda masih berorientasi kemasyarakatan.
Para pemuda sekarang cenderung membatasi diri dari aktivitas sosial kemasyarakatan sehingga eksistensi mereka sebagai agen perubahan sosial melemah. Akibatnya produktivitas gagasan kritis mati suri diikuti lumpuhnya kepekaan terhadap perubahan sosial di Papua.
Tak hanya individu, bahkan dalam skala organisasi, krisispun ditengarai merebak. Secara politik gerakan organisasi kepemudaan (dan mahasiswa) tak lagi giat menyuarakan kritik atas penyelenggaraan hegemoni negara. Hanya tokoh-tokoh tua saja yang memiliki semangat berapi-api menyalakan api perjuangan kemandirian Papua.
Alih-alih memperkuat konsolidasi orientasi perjuangan dan imaji kebangsaan, sebagian pemuda justeru tenggelam dalam arus kelompok berbasis primordialisme. Fungsi organisasi kemasyarakatan (ormas) kepemudaan masa kini senyampang terdengar dan hilang tenggelam dalam agenda pragmatis.
Fakta lain adalah memudarnya semangat pemuda dalam mengekspresikan idealisme sebagai warga bangsa Papua melalui pengamalan nilai-nilai kebudayaan Papua, menjaga persatuan bangsa Papua, serta patuh terhadap hukum.
Pudarnya peran sosial dan politik para pemuda belakangan ini semakin ditunjang oleh fakta kemajuan teknologi digital dalam kehidupan masyarakat. Pemuda terjajah oleh maraknya teknologi. Merebaknya media sosial membuat intensitas keterlibatan pemuda dalam aktivitas sosial di tengah masyarakat Papua pun menurun.
Untuk itu perlu ketangguhan moral dan pribadi sang pemuda, karena jika tidak demikian, peristiwa Socrates (filsuf Yunani kuno) terjadi lagi “lalat liar” dipukul mati di Papua. Dan seperti Socrates, pada saatnya Pemuda atau cendekiawan mengambil sikap bahwa kehadiran fisiknya tidak penting lagi, yang penting kehadiran “gangguan” itu.
Gangguan itu membuat penguasa tidak tenang dalam melanjutkan tidurnya. Saya yakin hal itu bukan sesuatu yang sia-sia. Karena sang pemuda atau cendekiawan bukan memasukan sesuatu yang asing, yang berasal dari luar, ke dalam diri sesama melainkan menyadarkan sesama apa yang terlekat dalam martabatnya sebagai manusia. Manusia pada hakikatnya baik. Ia mencintai apa yang baik, adil, indah.
Revitalisasi Gerakan
Pemuda termasuk mahasiswa, sebagai kaum intelek, tidak disangkal selalu punya andil besar dalam sejarah bangsa Papua. Di setiap zamannya, mereka bergerak dengan cara yang berbeda dan dinamis. Dengan adanya tantangan-tantangan kontemporer, yang disebabkan oleh kapitalisasi global, terhadap sendi-sendi nafas kehidupan masyarakat Papua, maka saat ini pemuda atau mahasiswa perlu melakukan revitalisasi gerakan.
Meretas jalan perubahan tentu tidak semudah yang dibayangkan. Namun optimisme akan adanya kebangkitan peran pemuda atau mahasiswa harus tetap ada. Tentu saja itu dimulai dari segelintir orang yang sadar dan peka dengan kondisi bangsa Papua. Bagai lilin di tengah kegelapan, mereka akan menjadi penerang untuk bersama-sama mewujudkan Papua yang lebih baik dan bermartabat.
Revitalisasi gerakan atau dalam bahasa kerennya ialah melakukan suatu apa yang disebut revolution of mind, sebagaimana yang pernah dilakukan Che Guevara, Fidel Castro, Nelson Mandela. Artinya, pemuda atau mahasiswa harus melakukan gerakan spiritual, gerakan intelektual, gerakan kultural, gerakan struktural, gerakan massa.
Mereka harus melakukan counter power yang tentunya tidak menyimpang dari mainstream global atau bisa dikatakan dalam sebuah sistem berada pada posisi “kaum pengkritik”. Kaum pengkritik ini bisa dianalogikan dengan istilah kaum penekan atau pressure group. Kehadiran fisiknya tidak penting, yang penting kehadiran gangguan itu.
Revolution of mind hanya lahir dari kampus-kampus di mana sistem pendidikannya mendorong mahasiswa menjadi kaum intelektual organic, intelektual hibridisasi, intelektual kritis profetis. Memang antagonistis, di satu pihak masih ada kampus yang menjalankan fungsinya tidak lebih sekadar student breeding (peternakan mahasiswa), panti asuhan, panti jompo.
Karenanya output-nya menjadi intelektual hidroponik. Intelektual hidroponik adalah intelektual yang pengetahuannya tidak mengakar, kultur akademik di kampus sengaja tidak dikembangkan, karena memang kampus kehilangan semangat, mahasiswa cenderung menjadi pemulung ilmu pengetahuan, scientist scalpers (lihat juga: https://www.odiyaiwuu.com, 30 Desember 2022).
Mungkin ada benarnya, karena sebagian besar pemuda atau mahasiswa kita saat ini mengidap penyakit gaudeamus igitur iuvenes dum sumus (bersenang-senanglah selagi kita masih muda). Ketakberdayaan pemuda atau mahasiswa dalam mengembangkan revolution of mind (kultur akademik/kultur kemasyarakatan), sama artinya pemuda atau mahasiswa sedang melakukan satu proses pauperisasi atau proses pemiskinan intelektual.
Maka pada gilirannya proses pauperisasi ini akan melahirkan sarjana-sarjana serba tanggung, serba terbatas kapasitas keilmuannya, serba terbatas wawasannya dan serba terbatas lingkup ilmiahnya.
Oleh sebab itu, sudah saatnya pemuda Papua atau yang menyebut diri sebagai mahasiswa memposisikan diri sebagai kekuatan moral (moral force), kekuatan gerakan (movement power) dan sekaligus menjadi catalyst for social change (katalisator perubahan sosial). Di sinilah peran pemuda atau mahasiswa sebagai pressure group.
Ilmu harus berpusat pada manusia, masyarakat, berwajah kemanusiaan, kalau tidak sang pemuda sendiri akan haus dan lapar di padang gurun pengembaraan yang makin sepi. Mengabaikan masyarakat, manusia berarti menjadikan manusia sebagai pembunuh dengan berbagai senjata yang telah dihasilkannya.
Heideger mengatakan mahasiswa sebagai cendekiawan menjalankan dua kewibawaan. Pertama, das rehnende denken, dalam artian pemikirannya memperhitungkan, kehadiran mahasiswa perlu diperhitungkan sebagai aset strategis, menguasai dengan alasan membuat kalkulasi politik.
Kedua, das andenkende denken yakni pemikirannya yang memperhatikan, kehadiran mahasiswa sebagai cendekiawan, mampu untuk berpikir, bersikap terbuka, perlu menjadi mahasiswa yang bebas dari mentalitas ikut arus.
Bagaimana pemuda atau mahasiswa memposisikan dirinya dalam konfigurasi kebangsaan Papua ke depan? Bagaimana pula standing point pemuda atau mahasiswa dalam situasi kontemporer? Pemuda atau mahasiswa harus memposisikan diri sebagai kekuatan nasional, moral force, social force, pressure group, catalyst for social change, mengembangkan politik populis —option for the poor, non machiavelli’s, solidaritas universal, non diskriminasi, menjadi garda depan perjuangan kemanusiaan manusia Papua, menjadi reference group.
Untuk menjamin posisi di atas, ada tiga fokus perjuangan politik pemuda atau mahasiswa Papua pada saat ini maupun ke depan. Pertama, Pemberdayaan masyarakat sipil (civil society). Kedua, penataan sistem politik yang bermoral. Ketiga, pembangunan kultur keterbukaan dan demokrasi.
Ketiga perjuangan itu harus dibungkus dalam prinsip berpolitik atau berpedoman pada karakter in principiis: unitas, in dubuiis: libertas, in omnibus: caritas (dalam hal prinsip kita bersatu, dalam hal terbuka kita bebas menentukan pendapat, dalam segala hal harus ada kasih). Pemuda atau mahasiswa terlibat dalam kegiatan politik dalam rangka menempatkan diri sebagai noblesse oblige.
Dalam hal ini, ketika menjajaki kehidupan pemuda atau mahasiswa Papua pasca studi kampus mempersiapkan dan mengekskalasikan diri yang awalnya adalah intelektual tradisional menjadi intelektual organik-profetik yang berperan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Papua.
Dalam menjalankan peran itu hendaknya Anda berpegang pada prinsip moral pertama, serviens in lumine veritatis, melayani dalam cahaya kebenaran (serving in the light of truth). Dengan cara demikian Anda menjalankan sebagian academic social responsibility.
Percayalah, apapun yang Anda lakukan, Anda telah mewartakan prinsip moral kedua: gloria Dei vivens homo, irenius, adversus haereses (memancarkan cahaya kemuliaan Allah penciptanya). Sekali lagi vox dispulum vox Dei (suara mahasiswa adalah suara Tuhan). Ite missa est, pergilah kalian diutus.