Oleh Dr Justin Wejak
Dosen Mata Kuliah ‘Indonesia In The World’ University of Melbourne, Australia
ISU Papua termasuk perjuangan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah menjadi tantangan panjang dan rumit di kawasan Asia-Pasifik. Papua telah mengalami konflik berkepanjangan ditandai klaim pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan seruan untuk menentukan nasib sendiri.
Australia, sebagai kekuatan regional dan pemain kunci di wilayah Asia-Pasifik, mempunyai peran mahapenting untuk ikut memfasilitasi proses rekonsiliasi khususnya antara Papua dan Jakarta.
Secara historis, Papua, yang dahulu disebut Nugini Belanda, resmi menjadi bagian dari NKRI melalui proses referendum bermasalah –Act of Free Choice– pada tahun 1969. Referendum itu banyak dikritik orang karena kurang terwakili, bahkan prosesnya diduga diatur oleh Pemerintah Indonesia untuk menggabungkan Papua dengan Indonesia.
Latar belakang sejarah ini perlu diketahui untuk memahami akar dari konflik-konflik berdarah di tanah Papua. Hingga kini ada warga Papua masih menganggap referendum 1969 itu tidak sah.
Tak heran, mereka tetap menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri –apakah mau bersama dengan, atau berpisah dari, NKRI. Konflik senjata pun tak terhindari selama puluhan tahun.
Konflik Papua memang mempunyai banyak dimensi: ada dimensi sejarah, budaya, dan sosial-ekonomi. Penduduk asli Papua berpendapat bahwa identitas budaya mereka berbeda. Ditambah dengan dugaan pelanggaran HAM oleh oknum-oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah sebagian dari alasan-alasan mengapa mereka tetap menuntut kemerdekaan atau pelepasan diri dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Di sisi lain, pemerintah pusat RI berpendapat bahwa Papua merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatannya sejak 1969 dan menekankan pentingnya upaya mendongkrak ekonomi Papua. Secara ekonomis, Papua merupakan salah satu wilayah paling tertinggal di Indonesia terlepas dari kelimpahan sumber daya alamnya. Bagi Jakarta, isu penentuan pendapat Papua sudah selesai; rakyat Papua telah dengan bebas dan sukarela memilih bergabung dengan NKRI.
Peran Australia
Ada dua faktor utama mengapa Australia perlu terlibat dalam proses rekonsiliasi Papua-Jakarta: faktor geopolitik dan kemanusiaan. Secara geopolitik, Australia terletak di kawasan Asia-Pasifik dan memiliki kepentingan ekonomi dan keamanan yang sama dengan negara-negara tetangganya. Tentu ini sejalan dengan tujuan strategis Australia yang lebih luas, dan Australia ingin memastikan bahwa kawasan Asia-Pasifik tetap stabil dan damai.
Ada pula faktor kemanusiaan. Laporan pelanggaran HAM di Papua beberapa tahun terakhir telah menarik perhatian serius dan menjadi pertimbangan etis Australia untuk terlibat dalam misi kemanusiaan sebagai fasilitator rekonsiliasi. Sebagai negara yang berkomitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM, Australia menghadapi keharusan moral untuk mengatasi permasalahan ini dan berkontribusi pada penyelesaian konflik secara adil.
Upaya diplomasi Australia terkait Papua sejauh ini dilakukan dengan sangat hati-hati, mengingat hubungannya yang rumit dengan Indonesia. Sebagai tetangga dekat dan mitra dagang, Australia harus menyeimbangkan dukungannya terhadap HAM di Papua dengan kebutuhannya untuk merawat hubungan diplomatik dengan Indonesia. Namun, disinyalir, dalam beberapa tahun terakhir terjadi perubahan dalam pendekatan Australia: permasalahan HAM di Papua semakin diperhatikan.
Australia telah memanfaatkan jalur diplomatik untuk mendorong Indonesia mengatasi masalah HAM dan terlibat dalam dialog dengan perwakilan Papua. Meskipun Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua, Australia tetap menekankan pentingnya penyelesaian konflik secara inklusif dan damai.
Peran Australia dalam proses rekonsiliasi tentu tidak bersifat sepihak. Hal ini melibatkan kolaborasi dengan mitra regional dan organisasi internasional. Bekerja dalam kerangka Forum Kepulauan Pasifik (PIF: Pacific Islands Forum), Australia telah berupaya untuk meningkatkan kesadaran akan isu Papua dan mendorong pendekatan regional untuk mengatasi konflik Papua-Jakarta. Dengan mendorong dialog dan kerjasama di antara negara-negara Pasifik, Australia ingin menciptakan lingkungan yang positif untuk mendukung upaya rekonsiliasi.
Australia juga berkontribusi pada proses rekonsiliasi melalui bantuan kemanusiaan dan inisiatif peningkatan kapasitas. Dengan berinvestasi dalam proyek-proyek pembangunan dan mendukung masyarakat lokal di Papua, Australia ingin terlibat dalam upaya mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi dan mendorong stabilitas.
Upaya-upaya ini, meski tidak secara eksplisit bersifat politis, berkontribusi dalam membangun kepercayaan dan memupuk lingkungan yang kondusif bagi dialog antara Papua dan Jakarta.
Tantangan dan kontroversi
Keterlibatan Australia dalam proses rekonsiliasi Papua bukannya tanpa tantangan dan kontroversi. Mencapai keseimbangan yang tepat antara mendukung HAM dan menjaga hubungan diplomatik dengan Indonesia merupakan tantangan diplomatik yang rumit. Beberapa kritikus berpendapat bahwa Australia harus mengambil sikap yang lebih tegas dalam mengutuk pelanggaran HAM di Papua. Sementara yang lain memperingatkan agar tidak membahayakan hubungan bilateral yang lebih luas antara Australia dan Indonesia.
Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai efektivitas upaya diplomasi dan dampak dinamika regional terhadap proses rekonsiliasi. Menyeimbangkan kepentingan berbagai pemangku kepentingan termasuk Papua, Jakarta, dan negara-negara Pasifik lainnya, tentu memerlukan pendekatan yang berbeda dan hati-hati.
Peran Australia dalam proses rekonsiliasi antara Papua dan Jakarta mempunyai banyak aspek. Aspek-aspek itu mencerminkan kompleksitas dari konflik dan kepentingan strategis Australia di wilayah tersebut. Meskipun keterlibatan diplomatik, kemitraan regional, dan bantuan kemanusiaan merupakan komponen penting dari pendekatan Australia, mencapai keseimbangan yang tepat antara advokasi HAM dan pragmatisme diplomatik masih tetap menjadi tantangan terus-menerus.
Seiring dengan perkembangan situasi, Australia harus terus mengatasi kompleksitas masalah Papua, berkontribusi terhadap penyelesaian damai dan adil yang menghormati hak dan aspirasi masyarakat Papua sambil menjaga hubungan konstruktif dengan Indonesia. Dengan melakukan hal ini, Australia dapat memainkan peran penting dalam membentuk masa depan Papua dan berkontribusi terhadap stabilitas regional di Asia-Pasifik.
Pertemuan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Penny Williams, dengan Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri dan Kepala Operasi Damai Cartenz-2014 Kombes Pol Dr Faizal Ramadhani, tertanggal 26 Februari 2024, merupakan langkah diplomatik yang penting dalam upaya menuju rekonsiliasi. Usai pertemuan tersebut, Dubes Australia mengungkapkan kesanjungannya akan pembangunan infrastruktur yang pesat di tanah Papua oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pembangunan infrastruktur merupakan bagian hakiki dari diplomasi lunak untuk meyakinkan masyarakat Papua tentang betapa pentingnya pemerataan pembangunan dan menjaga perdamaian –bukan hanya secara vertikal dengan Jakarta, melainkan pula dan terpenting secara horizontal antara sesama warga Papua. Dengan demikian Papua dapat menjadi “surga” bagi siapa pun yang bermukim di sana apa pun latar belakang etnisitasnya dan agamanya.