JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya secara tegas menolak dua bakal calon gubernur dan wakil gubernur di provinsi tersebut karena tidak memenuhi kriteria sebagai orang asli Papua (OAP).
Penolakan dimaksud sebagai wujud aksi afirmatif Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang bertujuan melindungi hak politik orang asli Papua dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024.
Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma mengingatkan pentingnya pertimbangan pertimbangan penolakan oleh MRP Papua Barat Daya untuk ditindaklanjuti lebih jauh. Pertimbangan tersebut mencermati dinamika di tingkat lokal dan masukan kader Pemuda Katolik di Papua Barat Daya.
“Suara MRP perlu didengar sekaligus bentuk perlindungan terhadap hak politik orang asli Papua yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Kekhususan mekanisme politik di Papua wajib untuk dihormati dan dilaksanakan sebagai wujud kepatuhan terhadap Undang-Undang Otsus yang berlaku,” ujar Gusma kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Selasa (17/9).
Gusma menilai, dinamika ini bukan sekadar isu politik namun langkah dan upaya perlindungan hak dan mekanisme politik lokal yang perlu ditegakkan.
“Kewenangan MRP yang diatur dalam Undang-Undang Otsus Papua merupakan bentuk pengakuan eksistensial terhadap hak-hak adat dan budaya orang asli Papua. Perlu digaris bawahi bahwa kasus ini bukan soal politik semata, jangan sampai ini mengeliminir hak politik yang sudah disepakati bersama dalam Undang-Undang itu,” kata Gusma.
Gusma juga mendorong semua pihak untuk mendorong penghormatan terhadap kekhususan ini dengan menjaga kondusifitas. “Kami berharap semua stakeholder bisa menjaga kondusifitas dan stabilitas politik. Rekomendasi MRP patut untuk dihormati, sebab keberadaan MRP memiliki fungsi dan tupoksi krusial untuk melindungi hak konstitusional orang asli Papua,” ujar Gusma tegas.
Menurutnya, suara MRP perlu didengar. Hal itu penting sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap hak politik orang asli Papua yang dijamin dalam Undang-Undang Otsus Papua. Kekhususan mekanisme politik di Papua wajib untuk dihormati dan dilaksanakan sebagai wujud kepatuhan terhadap Undang-Undang yang berlaku,” kata Gusma.
Gusma menilai, dinamika ini bukan sekadar isu orang asli Papua versus non orang asli Papua semata. Namun, lebih dari itu ada perlindungan hak dan mekanisme politik lokal yang perlu ditegakkan.
“Kewenangan MRP yang diatur dalam Undang-Undang Otsus Papua merupakan bentuk pengakuan eksistensial terhadap hak-hak adat dan budaya orang asli Papua. Oleh sebab itu, hal ini perlu ditegakkan agar hak dan kekhususan Papua tidak pudar dan tenggelam dalam riuh demokrasi lokal,” katanya.
Pihak Pemuda Katolik, kata Gusma, terus berusaha mendorong semua pihak untuk menghormati kekhususan ini dengan menjaga kondusifitas.
“Pemuda Katolik berharap agar semua pihak tetap menjaga kondusifitas dan stabilitas politik. Rekomendasi MRP patut dihormati, sebab keberadaan MRP memiliki fungsi dan tupoksi krusial untuk melindungi hak konstitusional orang asli Papua,” ujar Gusma. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)