Oleh Yakobus Dumupa
(Mahasiswa Program Doktor Antropologi, Universitas Cenderawasih, Jayapura)
TRANSISI kekuasaan dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tak hanya menandai babak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia, tetapi juga memunculkan dinamika politik yang menggeliat di balik layar kekuasaan. Salah satu dinamika paling mencolok yang kini menjadi sorotan publik adalah keterbelahan sikap politik di kalangan purnawirawan TNI dan Polri—kelompok yang selama ini dikenal sebagai benteng pertahanan negara, penjaga integritas bangsa, dan figur berpengaruh dalam lanskap politik nasional.
Sejumlah organisasi purnawirawan resmi seperti PEPABRI, PPAD, PPAL, PPAU, PP Polri, LVRI, dan PERIP tampil kompak menyatakan dukungan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Dalam pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh senior seperti Jenderal (Purn) Wiranto, Jenderal (Purn) Agum Gumelar, dan beberapa mantan kepala staf angkatan, mereka menegaskan komitmen untuk mengawal dan menyukseskan agenda besar Asta Cita. Mereka melihat Prabowo sebagai figur kuat yang dapat melanjutkan pembangunan nasional sekaligus menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional di tengah ancaman ketidakpastian global, disrupsi teknologi, dan potensi konflik kawasan.
Namun, geliat yang berbeda muncul dari sejumlah purnawirawan lainnya yang tidak tergabung dalam struktur resmi. Forum-forum alternatif mulai bersuara lantang, menyuarakan kritik terhadap arah politik nasional. Salah satu yang paling menyita perhatian publik adalah usulan dari Forum Purnawirawan TNI yang menyerukan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sebagai bentuk protes terhadap proses politik yang dinilai cacat etika dan mencederai demokrasi. Bagi mereka, keterlibatan kekuasaan dalam proses pencalonan Gibran dianggap telah melanggar prinsip netralitas dan membuka luka lama tentang kembalinya politik dinasti dan peran militer dalam kekuasaan sipil. Meski Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) segera mengklarifikasi bahwa pandangan tersebut tidak mewakili keseluruhan purnawirawan, namun keberadaan suara-suara semacam ini menunjukkan adanya perbedaan mendasar yang tak bisa disapu di bawah karpet kekuasaan.
Keterbelahan ini mencerminkan dua kutub yang kini saling berseberangan dalam membaca arah bangsa. Di satu sisi, ada yang melihat kesinambungan pemerintahan Jokowi ke Prabowo sebagai bentuk stabilitas nasional dan konsistensi pembangunan. Di sisi lain, ada pula yang memandang kesinambungan itu sebagai bentuk pembajakan demokrasi yang melanggengkan kekuasaan melalui pendekatan oligarkis, kooptasi hukum, dan nepotisme politik. Sebagian purnawirawan merasa gelisah dengan kaburnya batas antara kekuasaan sipil dan militer, serta dengan dominasi dinasti politik yang dirasa mengancam semangat reformasi 1998 yang pernah mereka perjuangkan dengan darah dan pengorbanan.
Kondisi ini membawa implikasi strategis bagi pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan. Terbelahnya purnawirawan berpotensi menghambat konsolidasi kekuasaan, sebab mereka masih memiliki pengaruh kuat di dalam jejaring militer, keamanan, intelijen, dan birokrasi. Mereka memiliki akses terhadap perwira aktif, jaringan sosial politik, dan simpul-simpul kekuasaan yang tak kasatmata. Bila suara-suara kritis dari kalangan purnawirawan terus tumbuh tanpa direspon secara terbuka dan inklusif, maka pemerintahan bisa menghadapi resistensi diam-diam dari dalam struktur negara. Sebaliknya, jika kritik itu dijawab dengan pendekatan represif, tudingan akan semakin menguat bahwa pemerintahan ini tidak siap menerima koreksi.
Lebih jauh, keterbelahan ini juga menjadi ujian bagi kedewasaan demokrasi Indonesia. Pemerintahan yang bijak semestinya tidak membungkam kritik, tetapi memanfaatkannya sebagai refleksi dan koreksi. Dalam konteks ini, purnawirawan yang bersuara kritis tidak boleh semata-mata dilabeli sebagai pengganggu, melainkan dihargai sebagai bagian dari mekanisme keseimbangan kekuasaan yang sehat. Dalam tradisi republik, loyalitas tidak identik dengan bungkam. Justru suara yang berbeda bisa menjadi jangkar moral agar pemerintah tidak tergelincir pada absolutisme.
Kehadiran para purnawirawan, baik yang mendukung maupun yang mengkritik, adalah cermin dari kompleksitas politik Indonesia saat ini. Mereka bukan hanya saksi sejarah, tetapi juga aktor moral dan institusional yang bisa menjaga arah bangsa tetap berada di jalur yang benar. Dalam menghadapi kenyataan bahwa dukungan dan kritik bisa datang dari dalam barisan yang dulu satu komando, Prabowo-Gibran dihadapkan pada tantangan untuk tidak hanya memimpin pemerintahan, tetapi juga menjadi juru damai bagi para penjaga nilai-nilai luhur bangsa.
Masa depan pemerintahan ini akan sangat ditentukan bukan oleh siapa yang paling keras menyatakan dukungan atau kritik, tetapi oleh seberapa bijak dan terbuka para pemimpin dalam mengelola perbedaan. Karena dalam demokrasi sejati, keterbelahan bukanlah ancaman—melainkan peluang untuk tumbuh lebih dewasa sebagai bangsa.