JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Presiden Joko Widodo diminta membantu menuntaskan kasus upah kerja 8.300 buruh PT Freeport Indonesia (PTFI) yang melakukan mogok kerja secara sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sesuai Surat Komnas HAM RI Nomor 1475/R-PMT/X/2017 tertanggal 23 Oktober 2017 dan Surat Komnas HAM RI Nomor 178/TUN/XI/2018 tertanggal 2 November 2018. Selain itu, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia juga diminta segera memerintahkan manajemen PTFI untuk memberikan upah kepada 8.300 buruh raksasai tambang dunia itu yang melakukan mogok sesuai perintah Pasal 145 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003.
“Ketua Komnas HAM Republik Indonesia segera memastikan Presiden menindaklajuti Surat Komnas HAM RI Nomor 1475/R-PMT/X/2017 tertanggal 23 Oktober 2017 dan Surat Komnas HAM RI Nomor : 178/TUN/XI/2018 tertanggal 2 November 2018. Manajemen Freeport Indonesia wajib menghargai perjuangan mogok kerja 8.300 buruh Freeport Indonesia sesuai perintah Pasal 137 ayat 1 junto Pasal 145 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay, SH, MH melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com di Jakarta, Senin (2/5).
Presiden juga diminta menindaklanjuti dua rekomendasi Komnas HAM demi pemenuhan hak 8.300 buruh Freeport Indonesia yang mogok. Tindaklanjut itu perlu mengingat target penguasaan 51 persen saham Freeport Indonesia dan pembangunan smelter sudah terwujud. Karena itu, pemerintah dilarang mengabaikan hak 8.300 buruh mogok kerja Freeport Indonesia korban pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 demi perebutan saham.
Menurut Emanuel, pemberlakuan kebijakan cuti, furlough secara sepihak oleh manajemen Freeport Indonesia kepada buruh pasca pemerintah mengeluarkan dan mengesahkan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara di mana melalui Kontrak Karya (KK) diubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang mempengaruhi produksi Freeport sehingga Freeport Indonesia mengeluarkan program furlough.
“Melalui fakta itu secara langsung menunjukkan bahwa penerapan kebijakan furlough oleh manajemen Freeport Indonesia kepada 8.300 buruh Freeport Indonesia merupakan korban langsung atas penerapan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara,” katanya.
Atas kasus 8.300 buruh Freeport Indonesia korban penerapan PP Nomor 1 Tahun 2017, Serikat Buruh terus berjuang berpatok ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan PKB/PHI 2015-2017 yang tidak mengatur mengenai furlough, maka serikat buruh melayangkan surat perundingan sebanyak tiga kali. Pertama, surat tertanggal 20 Februari 2017 dengan Nomor Surat ADV.015/PUK SPKEP SPSI PTFI/II/2017, 11 Maret 2017 dengan Nomor Surat ADV/025/PUK SPKEP SPSI PTFI/III/2017, dan 21 Maret 2017 dengan Nomor Surat ADV/027/PUK SPKEP SPSI PTFI/III/2017. Pada 30 April 2017, terjadi perundingan namun manajemen Freeport Indonesia tetap pada pendiriannya melakukan kebijakan furlough dan mengabaikan permintaan serikat buruh.
Akibat perundingan gagal, maka serikat buruh melayangkan surat pemberitahuan mogok kerja yang akan dimulai pada 1 Mei 2017 hingga ada perundingan ke Dinas Ketenagakerjaan dan Trasmigrasi Kabupaten Mimika. Atas dasar itu menunjukkan bahwa perjuangan mogok kerja yang dilakukan 8.300 buruh Freeprot Indonesia telah sesuai dengan ketentuan mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan sebagaimana diatur pada pasal 137 ayat 1, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Saat 8.300 buruh sedang melakukan perjuangan mogok kerja, pihak manajemen secara sepihak memutuskan gaji pokok dan BPJS milik buruh. Padahal, ada ketentuan ‘dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah’ sebagaimana diatur pada Pasal 145 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Atas sikap manajemen Freeport Indonesia, pada tahun 2017 serikat pekerja mengadukan ke Komnas HAM RI. Komnas HAM RI kemudian mengeluarkan Surat Nomor 1475/R-PMT/X/2017 perihal Rekomendasi terkait PHK Freeport Indonesia yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia tertanggal 23 Oktober 2017. Namun, Presiden tidak melakukan tindakan apapun. Selanjutnya pada 2018 serikat pekerja mengadukan ke Komnas HAM RI selanjutnya Komnas HAM RI mengeluarkan Surat Nomor 178/TUN/XI/2018 perihal tindak lanjut terkait PHK dan Pencabutan Layanan BPJS yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia tertanggal 2 November 2018 namun Presiden Republik Indonesia tidak melakukan tindakan apapun.
Akibat tidak ada upaya apapun dari Presiden atas kedua surat rekomendasi dari komnas HAM RI di atas, pada 2018 Pemerintah Indonesia malah berhasil mendapatkan hasil impelementasi PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara melalui perundingan dengan PT Freeport Mc-Moran dengan empat poin hasil perundingan.
Pertama, mengharuskan Freeport untuk melakukan divestasi saham kepemilikan Freeport Indonesia 51 persen untuk pihak Indonesia, di mana 10 persen dimiliki oleh Pemerintah Daerah Papua dan Kabupaten Mimika. Kedua, Freeport harus membangun smelter di Indonesia dalam waktu lima tahun. Ketiga, kepastian penerimaan negara (pajak pusat dan daerah dan penerimaan negara bukan pajak) harus lebih tinggi dibandingkan periode kontrak karya dan pemberian kepastian investasi selama masa operasi. Keempat, perpanjangan masa operasi Freeport Indonesia selama 2×10 tahun hingga 2041 melalui penerbitan IUPK (cnbcindonesia.com, 22/12 2018).
Menurut Emanuel, sekalipun Pemerintah Indonesia menang dalam perundingan dan mendapatkan empat hal sebagaimana disebutkan di atas, namun melalui sikap abainya Presiden atas kedua surat Komnas HAM RI di atas membuat manajemen Freeport Indonesia tidak merasa bersalah apapun.
Padahal, tindakan pemberlakuan kebijakan furlough telah melanggar hak atas kesejahteraan keluarga 8.300 buruh Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja, melanggar hak atas pendidikan ribuan anak-anak buruh Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja, meretakkan puluhan bahtera keluarga buruh akibat masalah ekonomi dan bahkan merengut hak hidup dari 100-an lebih buruh Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja terenggut akibat kesulitan membayar biaya pengobatan di rumah sakit.
Atas dasar itu, secara langsung menunjukkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia hanya sibuk berpikir tentang penguasaan dan pengolahan SDA Papua dan mengabaikan hak-hak buruh Freeport Indonesia. Fakta itu, tentunya mempertanyakan komitmen Presiden selaku kepada pemerintah dalam melakukan tugas perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan perintah ketentuan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (4), UUD 1945 junto Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam rangka mendorong Presiden selaku kepala pemerintahan, wajib menjalankan tanggungjawab konstitusional melindungi hak buruh Freeport Indonesia di atas fakta Pemerintah Indonesia telah menguasai 50 persen saham Freeport Indonesia serta telah dibangunnya smelter di Gersik, Jawa Timur sesuai dengan target pemberlakuakan pemberlakuan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
“Seharusnya Presiden Republik Indonesia menjalankan rekomendasi Komnas HAM RI untuk menyelesaian persoalan 8,300 buruh Freeport Indonesia yang sedang melakukan perjuangan mogok kerja sesuai ketentuan Pasal 137 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tandas Emanuel. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)