LBH Papua Desak Presiden Batalkan Proyek Strategis Nasional Pangan dan Energi di Merauke
DAERAH  

LBH Papua Desak Presiden Batalkan Proyek Strategis Nasional Pangan dan Energi di Merauke

Lahan dan hutan adat masyarakat di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Tengah. Kini, tanah digunakan pemerintah menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) Pangan dan Energi tanpa melalui amdal dan menabrak ketentuan Kyoto Protocol atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim. Sumber foto: ylbhi.or.id, 30 Juli 2024

Loading

JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto didesak segera membatalkan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pangan dan Energi di Merauke karena tidak mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan. Apalagi, proyek itu dilakukan dengan mengalihkan tanah dan hutan masyarakat adat Marind.

Desakan pembatalan tersebut juga bertujuan  mengurangi naiknya emisi karbon akibat penggundulan hutan adat masyarakat adat Marind yang beresiko terjadinya kenaikan permukaan laut di Pulau Jawa.

“Kami mendesak Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup segera membatalkan Proyek Strategis Nasional Pangan dan Energi karena tak mengantongi dokumen amdal,” ujar Emanuel Gobay, SH, MH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua sekaligus kuasa hukum marga Kwipalo, Gebze, dan Moiwend kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Rabu (27/11). 

Menurut Emanuel, kehadiran Proyek Strategis Nasional Pangan dan Energi di provinsi paling timur Indonesia itu berpotensi merusak ekosistem Suaka Marga Satwa dan Cagar Alam di Merauke yang saat ini sudah dalam kondisi mengenaskan akibat laju deforestasi yang tak terkendalikan.

“Amdal merupakan dasar penetapan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana tertera dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam prakteknya proyek seluas 2 juta hektar yang dijalankan pertengahan 2024 bekerjasama dengan sepuluh perusahaan dilakukan tanpa mengantongi amdal,” kata Emanuel. 

Emanuel mendesak Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai segera melakukan evaluasi dan mencabut proyek tersebut karena menabrak Kyoto Protocol atau Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim sehingga berdampak pada kenaikan emisi karbon akibat penggundulan hutan adat masyarakat Marind. 

“Kami juga mendesak Ketua Komnas HAM RI dan Kepala Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Papua segera membentuk tim investigasi dan langsung meninjau lokasi pengembangan proyek strategis nasional di Merauke demi melindungi hak masyarakat adat Malind dari ancaman global warming, pemanasan global,” ujar Emanuel lebih lanjut.

Pihak LBH Papua, kata Emanuel, juga mendesak pimpinan perusahaan pengemban Proyek Strategis Nasional Pangan dan Energi di Merauke segera menghentikan aktivitas penggundulan hutan adat Malind. Proyek tanpa mengantongi amdal telah menaikkan emisi karbon dan menabrak atau bertentangan dengan kebijakan Kyoto Protocol

Proyek strategis tersebut, lanjut Emanuel, dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 835 Tahun 2024 yang terbit pada 12 Juli 2024 tentang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Ketahanan Pangan dalam Rangka Pertahanan dan Keamanan Atas Nama Kementerian Pertahanan RI seluas 13.540 hektar pada kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi.

“Kebijakan itu jelas-jelas melanggar ketentuan yang menyebut, ‘setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal’ sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat 1 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 terkait pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup,” ujar Emanuel.

Proyek di Merauke mengabaikan beberapa kriteria yang wajib diperhatikan dalam amdal. Pertama, besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan atau kegiatan. Kedua, luas wilayah penyebaran dampak. Ketiga, intensitas dan lamanya dampak berlangsung. 

Keempat, banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak. Kelima, sifat kumulatif dampak. Keenam, berbalik atau tidak berbaliknya dampak. Ketujuh, kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana tertera dalam UU terkait pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. 

“Melihat dasar kebijakan proyek strategis nasional tersebut terkesan pemerintah tidak mempedulikan nasib masyarakat adat Marind selaku pemilik tanah dan hutan adat yang selama ini bergantung hidup di atas wilayah itu. Kondisi miris itu akan melahirkan kemiskinan dan kelaparan serta hilangnya rumah bagi flora dan fauna endemik Papua yang menjadi bagian penting ekosistem di wilayah Papua bagian selatan,” kata Emanuel. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :