Hutan Adat Rusak, Warga Papua Minta Perusahaan Salatiga Bertanggung Jawab
DAERAH  

Hutan Adat Rusak, Warga Papua Minta Perusahaan Salatiga Bertanggung Jawab

Foto warga Sarmi Provinsi Papua menunjukkan foto hutan adat yang rusak. Sumber: Kompas.com, 21 Juni 2014

Loading

SALATIGA, ODIYAIWUU.com — Puluhan warga dan mahasiswa asal Papua mendatangi Polres Salatiga, Kamis (20/6/2024). Mereka meminta mediasi terkait perusakan hutan adat yang dilakukan perusahaan asal Salatiga, Bahana Lintas Nusantara (BLN) Grup. 

Lawyer warga Papua, Alvares Guarino mengatakan perusakan hutan adat tersebut terjadi di Kabupaten Sarmi Provinsi Papua. “Itu berawal saat akhir tahun lalu, Desember 2023, dari pihak BLN ingin usaha di tanah Papua dengan usaha tambang emas,” ujar Alvares Guarino mengutip Kompas.com, Kamis (20/6). 

Setelah melalui serangkaian survei dan pembicaraan dengan ketua adat, pada 20 Februari 2024 terjadi kerja sama sistem bagi hasil, bukan babat hutan. 

“Selain itu ada pembayaran kompensasi setelah dua atau tiga hari sejak perjanjian, namun sampai saat ini, janji tersebut tidak pernah terealisasi,” kata Alvares. 

“Setiap ada penagihan, selalu buntu. Bahkan orang yang dipercaya di lapangan bernama Supri dan Max mengatakan menunggu dari bos Nico yang di Salatiga, itu rekaman dan keterlibatannya ada bukti,” jelasnya.

Ancaman banjir dan tanah longsor 

Karena upaya penagihan tidak membuahkan hasil, beberapa perwakilan warga Sarmi pun datang ke Salatiga. 

“Mereka sudah tiga hari di sini menunggu kepastian, kepala suku mempertanyakan hutan yang sudah dibabat tanpa izin. Sekarang banjir dan longsor mengancam tanah mereka,” jelasnya. 

Alvares mengatakan, warga meminta kejelasan terkait tanah adat tersebut. “Kalau tidak bisa mediasi di sini, silakan datang ke Papua, selesaikan secara adat dan baik-baik. Kita semua mau mententramkan gejolak yang ada, ganti rugi atau bagaimana, diselesaikan,” kata dia. 

Perwakilan warga Sarmi Papua, Marten Basaur mengatakan seluruh keluarga di Papua menunggu hasil mediasi di Salatiga. 

“Kami berharap ada jalan keluar dari hutan adat yang rusak, kami menunggu sampai ketemu pemilik perusahaan,” ujarnya. 

“Jika mau melanjutkan pekerjaan di Papua, legalitas dan perizinan harus dilengkapi. Jika tidak membayar kompensasi, maka kami minta kembalikan hutan kami, tanam pohon-pohon yang ditebangi dan rusak,” kata Marten.

Tinggalkan Komentar Anda :