Oleh Frans Maniagasi
Menulis dari Denpasar, Bali
MASALAH Papua kian serius dan penanganannya semakin tidak menemui titik terang. Perubahan regulasi UU No 21/2001 menjadi UU No 2/2021 tentang Otsus Papua dengan seperangkat peraturan seperti PP No 106/2021 dan PP No 107/2021 hingga keberadaan Badan Percepatan Pembangunan Otsus Papua (BP3OKP) atau Badan Percepatan Pembangunan Papua (BPPP) serta pemekaran DOB pun baru pada langkah awal.
Langkah awal yang diterpa oleh kondisi Indonesia tengah memasuki fase paceklik. Fase ini dibayangi oleh anomali kekurangan pangan, kondisi ekonomi makro dan kebijakan fiscal yang konjungturnya naik turun, terjadi PHK akibat banyak pabrik yang bangkrut dan tutup, pemangkasan anggaran di pusat hingga daerah, daya beli masyarakat yang lemah, pasar saham yang sempat mengalami demam.
Pemerintah Indonesia membutuhkan cadangan devisa untuk mengantisipasi perang dagang antara Amerika Serikat versus RRC, yang menurut pengamatan dan ramalan para ekonom dunia potensi terjadinya krisis yang lebih dahsyat dari tahun 1997/1998.
Dalam konteks mikro di wilayah Papua hingga kini terutama pasca pemekaran provinsi-provinsi baru dihadapkan belum terkonsolidasinya pemerintahan dalam hal penataan hubungan kerja antara provinsi dengan kabupaten/kota.
Terutama dalam konteks meletakkan konsolidasi pemerintahan dimana UU No 2/2001 dengan PP No 106, 107 tahun 2021 serta dominannya program pembangunan difokuskan pada visi, misi dan program masing-masing yang semestinya disinkronisasi dengan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) Tahun 2022-2041.
Masih tiarap
Semestinya pada langkah awal ini, peranan dan fungsi yang dilakukan oleh BP3OKP melalui anggota-anggotanya di enam provinsi. Namun kelihatannya masih tiarap terkecuali Provinsi Papua Barat Daya telah melakukan hal ini sejak akhir tahun 2024.
Ada kebingungan juga menurut pendapat saya pada tingkat kementerian dan lembaga (K/L) terkait di pusat langkah-langkah dan kerja menyiapkan infrastruktur untuk kerja BP3OKP telah dilakukan. Seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, maupun Bappenas.
Namun dengan keberadaan Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran bagaimana pandangan dan sikap politiknya terhadap BP3OKP. Badan ini sesuai Undang-Undang Otsus berada di bawah Wakil Presiden dan tugasnya sehari-harinya ex office dilakukan Deputi III Kantor Sekretaris Wapres sebagai Sekretaris Eksekutif.
Sayangnya Sekretaris Eksekutif ini orang yang belum memiliki pengalaman dengan wilayah Papua dan tidak memahami kompleksitas masalah. Oleh karena itu hingga memasuki dan akan berakhir triwulan pertama 2025, belum kelihatan konsolidasi badan ini, minimal ada pertemuan awal di tahun 2025. Selain itu tak tahulah adakah political will pemerintahan Prabowo-Gibran terhadap keberadaan badan ini.
Kalau di pusat saja belum terkonsolidasi dan terkoordinasi tentang eksistensi dan kerja-kerja badan ini di lapangan, lalu apa yang dapat diharapkan dari keberadaan BP3OKP. Padahal BPPP ini memiliki posisi dan peran strategis di awal kehadiran kepemimpinan definitif di provinsi-provinsi pemekaran dan kabupaten/kota.
Saran saya sesegera dilakukan rapat evaluasi tentang BP3OKP sehingga adanya rekomendasi yang dapat disampaikan kepada Wapres selaku Ketua BP3OKP dan Presiden agar ada kejelasan keputusan tentang BPPP.
Jadi kita pun tak bisa menyalahkan para kepala daerah yang baru dilantik masih euphoria pasca pelantikan dan mereka lebih fokus pada visi, misi dan programnya. Sementara kita ketahui bahwa setiap perencanaan program percepatan pembangunan (2022-2041) jika tidak disinkronkan dengan RIPPP akan berakibat ketidaktersediaan anggaran pada APBN yang dialokasikan untuk pelaksanaan program pembangunan. Urgensi BP3OKP justru berada pada garis depan untuk saat ini untuk melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, pelaporan serta koordinasi terpadu.
Diskriminasi
Selain itu Provinsi Papua (induk) masih bergelut dengan persiapan PSU ( pemungutan suara ulang) sebagai ekses dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak mempertimbangkan lagi kompleksitas permasalahan Papua. Tidak tanggung-tanggung selain mendiskualifikasi Cawagub paslon nomor 1 juga memerintahkan dilakukan PSU di seluruh wilayah provinsi Papua. Macam mana?
Putusan MK untuk PSU ini menurut pendapat saya merupakan diskriminasi lebih mementingkan dan mengabulkan permohonan pemohon ketimbang tidak memperhatikan tuntutan dari pihak termohon. Sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan permohonan dari pihak termohon.
Dalam perspektif saya putusan itu lebih banyak didasari oleh pertimbangan politik ketimbang hukum sebagai tupoksi MK. Tapi nasi telah menjadi bubur. Sementara itu masalah Proyek Strategi Nasional (PSN) di Merauke, Provinsi Papua Selatan menjadi topik aktual yang menyita perhatian masyarakat sipil dan teristimewa masyarakat adat pemilik hak ulayat atas tanahnya.
Polemik PSN dan implikasinya tidak saja menyita perhatian lokal, nasional tapi juga masyarakat internasional, terutama yang berasal dari kelompok indigenous people. Proyek yang dirancang oleh Presiden Jokowi dan dilanjutkan oleh Presiden Prabowo ini tujuannya menjadikan Papua Selatan sebagai lumbung pangan nasional. Namun dalam melaksanakan program PSN tidak ada proses dialektika dan kesepakatan dari penduduk lokal menimbulkan persoalan sampai kapan pun.
Persoalan lahan makin kompleks karena desakan masyarakat lokal yang khawatir tentang keberlanjutan kehidupan mereka. Dengan mudahnya Pemerintah menggeser penduduk pribumi dari atas tanah leluhurnya.
Kenapa tampaknya politik dan nurani semakin berjarak? Tak ada lagi nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi soko guru nilai dari Pancasila telah pudar dalam cara kita memerintah dan berkuasa. Gugatan masyarakat pribumi ini muncul bersamaan dengan kerinduan mereka agar hidup tentram di atas tanahnya tanpa mengganggu atau terganggu dengan proyek pemerintah.
Turbulensi yang berulang-ulang ini menyebabkan benturan tak terhindarkan antara pikiran dan perasaan, benar-salah dan senang-sedih. Semua itu terjadi dalam alam demokrasi bukan dibawah atmosfer otoriter. Mestinya realisme politik kekuasaan haruslah paralel dengan kehendak dan kemauan bathin sosial masyarakat.
Ketika politik kekuasaan dengan tragis menampilkan wajah paradoksal, serentak bathin sosial masyarakat pribumi ini tercabik dan tertutup kehampaan. Di sinilah ada kebingungan disorientatif yang mengarah pada lenyapnya harapan publik akan masa depannya, tatkala tanah mereka dicaplok untuk kebutuhan PSN.
Sayangnya, tanpa disadari karena haus akan tanah rakyat untuk lebih memprioritaskan pembangunan proyek strategi nasional apalagi disertai dengan bedil maka rakyat pribumi pasrah dan menangis dalam tangisan sepi sambil meratapi hilangnya tanah-tanah mereka.
Dalam konteks seperti itu maka semakin kian serius masalah Papua. Nasib mereka bukan ditentukan oleh mereka tapi “orang lain” yang menentukan nasib dan masa depannya. Pengalaman historis empiris telah menunjukkan hal ini sejak mereka “menyatu” dengan RI.