Oleh Moksen Sirfefa
Intelektual Papua
SELAMA beberapa pekan terakhir, Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan dan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya dan kabupaten Lanny Jaya memediasi konflik sosial di Lembah Baliem, Jayawijaya. Alam Lembah Baliem yang indah itu seharusnya terefleksi dalam kehidupan sosial yang rukun dan damai.
Tapi, nyatanya konflik sosial terus saja terjadi bagaikan realitas sosial tak terelakkan. Kini, saatnya kita merefleksi peristiwa kekerasan demi kekerasan yang terjadi. Pertanyaan berkelebat: Masih adakah nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, dan perdamaian itu di dalam ruang dan dinding hati masyarakat kita?
Perang suku di tanah Papua, khususnya di wilayah Papua Pegunungan selain untuk memperluas daerah kekuasaan klan suku tertentu, juga merupakan praktek hukum adat atas pelanggaran etika sosial seperti perselingkuhan, pencurian hewan (babi), pencurian tanaman, perkawinan incest, perebutan lahan dan lain-lain.
Kadang hal itu terjadi antar sesama suku tapi berbeda kampung. Di masa kini, Perang suku terjadi karena kasus kecelakaan lalu lintas, kasus perebutan kekuasaan politik, konflik agraria, dan masih sering terjadi adalah kasus pembunuhan.
Jadi opsi
Konflik sosial Wouma-Asolokobal menjelaskan secara kasat-mata bahwa perang suku masih menjadi opsi, pilihan pertama penyelesaian konflik sosial masyarakat. Bukan melalui ruang penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Konflik horizontal Asolokobal-Wouma ini juga adalah konflik laten di Lembah Baliem, Jayawijaya. Asolokobal dan Wouma adalah sama-sama suku Hubula (Dani) dari konfederasi yang sama (Welesi) tetapi lagi-lagi perang suku adalah hukum terakhir.
Perang suku di masa lalu boleh jadi menjadi pilihan. Mengapa? Masyarakat belum mengenal kehidupan modern berpemerintahan. Perang suku masa itu adalah perebutan kekuasaan di antara suku-suku yang didorong motif satu suku ingin mendominasi suku lainnya. Faktor utamanya adalah perebutan hegemoni kuasa. Apa saja mereka korbankan, baik harta bahkan nyawa asalkan sukunya yang berkuasa.
Selebrasi tradisi perang suku ini telah melahirkan konfederasi klan dan struktur kelas dalam masyarakat adat. Ada kelas kepala suku, yang juga kepala perang, ada kelas bagian kepala suku, ada kelas pengabdi dan ada kelas masyarakat biasa.
Di zaman modern stratifikasi seperti itu sudah tidak ada tetapi di dalam back mind generasi belakangan yang telah berpendidikan masih seringkali muncul dalam perdebatan wacana publik. Misalnya si A mengatakan si B tidak berhak bicara karena dia (dalam struktur) adat hanya pemikul air atau pembawa makanan, si C mengatakan si D bukan kepala suku tapi hanya wakil atau pembantu kepala suku.
Ketika perang suku, mereka yang terlibat hanya melihat aspek perangnya. Berapa korban yang jatuh di pihak lawan dan bagaimana cara membalasnya. Tapi mereka melupakan aspek damainya. Siapa sebenarnya kita? Dari mana asal-muasal kita? Untuk apa kita saling membunuh dan sebagainya. Semua pertimbangan moral itu lenyap dari bayangan hati dan pikiran karena dibakar nafsu angkara murka.
Aspek nyata
Dalam konteks kebudayaan masyarakat suku Hubula, sebagaimana di semua kebudayaan manusia, terdapat aspek nyata kebudayaan (tangible aspects), yakni tradisi “perang” yang bersifat fisik. Namun juga terdapat aspek yang tidak nyata kebudayaan (intangible aspects) yaitu tradisi “damai” yang bersifat non-fisik atau nilai.
Nilai itu bersifat mengikat (silimo) dan patokan inferensial mereka ada pada tempat benda bertuah (honai kaneke) di mana semua pihak taat dan patuh menjaga kebersamaan, solidaritas, dan hak-hak individu serta komunal.
Masing-masing anggota komunitas menyadari bahwa mereka berasal dari “silimo” yang sama, dengan peran, tanggungjawab, dan fungsinya masing-masing. Kaum pria berada di tempatnya (pilamo), kaum perempuan berada di tempatnya (uma/ewa-ai) dan dapur (hunila) menjadi tempat yang menjamin kehidupan ini terus berlanjut.
Aspek kebudayaan yang intangible itu jarang mendapat sentuhan dikala kita menyelesaikan Perang Suku. Kita selalu mengandalkan wang dan wam (uang dan babi) sebagai media damai dalam setiap langkah resolusi konflik tanpa menyertakan nilai-nilai kebudayaan yang intangible di atas. Buntutnya, masyarakat semakin pragmatis dan memandang perang suku sebagai bagian dari komoditas ekonomi yang layak digelar.
Sejak lama penulis menghimbau bahwa energi perang suku perlu direkonstruksi dan ditransformasikan menjadi energi kompetisi di dunia modern. Kompetisi di bidang sains-teknologi dan bidang keahlian praksis lainnya. Kompetisi perlu merumuskan hal itu dalam rencana pembangunan kesemestaan orang Papua, terutama masyarakat kita di Papua Pegunungan yang hingga kini masih mempertahankan tradisi perang suku itu.
Kita meliterasi masyarakat dengan pelbagai skema kompetisi yang kontekstual dengan situasi masyarakat Papua Pegunungan. Misalnya untuk tingkat pelajar, mahasiswa dan pemuda, kita bikin olimpiade sains dan teknologi, festival kreasi musik dan tari, kompetisi kuliner dan anyaman noken, cendera mata dan hasil UMKM maupun lomba kebun-kebun masyarakat.
Kita juga mengampanyekan kekayaan budaya dan kemampuan soft skill untuk dapat mengambil bagian dari berbagai ajang kompetisi. Hal ini bertujuan menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah sama dengan mereka.
Kita memiliki keunggulan kompetitif dengan masyarakat di dalam maupun di luar Papua dan seterusnya. Energi transformasi itu yang dapat mencegah perang suku yang secara riil adalah saling membalas mengorbankan nyawa manusia secara sadis tapi dianggap biasa-biasa saja.
Sudah saatnya kita bertransformasi dari tradisi perang suku ke tradisi kompetisi di bidang sains-teknologi maupun bidang-bidang kehidupan praksis lainnya. Transformasi itu didukung dengan langkah revitalisasi kebudayaan “silimo” dan “honai kaneke” agar masyarakat semakin terbiasa hidup dalam relasi sosial kemasyarakatan yang damai, adil, dan beradab. Dengan langkah seperti itu, kita siap menjadi masyarakat yang dominan, civilized di alam global yang semakin kompetitif saat ini.