ULMWP Klaim Korban Penyiksaan yang Beredar di Video Terjadi di Wilayah Puncak Papua

ULMWP Klaim Penyiksaan yang Beredar di Video Lalu Viral Terjadi di Wilayah Puncak Papua

Presiden Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Menase Tabuni (kedua dari kiri) dan Sekretaris Eksekutif Markus Haluk (kiri). UMLWP mengutuk keras tindakan penyiksaan terhadap warga sipil di West Papua sebagaimana terlihat di video lalu menjadi viral. Penyiksaan itu melanggar martabat manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan.

Loading

JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pihak Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) angkat bicara menyusul beredarnya video penyiksaan yang diduga dilakukan anggota TNI terhadap warga sipil di Papua. 

“Kami mengutuk keras tindakan oknum aparat militer Indonesia terhadap warga sipil seperti ini di West Papua. Tindakan macam ini telah melanggar nilai kemanusiaan. Hukum manapun tidak membenarkan tindakan penyiksaan keji seperti terlihat dalam dua cuplikan video yang sedang viral saat ini,” ujar Presiden Eksekutif ULMWP Menase Tabuni dan Sekretaris Eksekutif Markus Haluk melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com di Jayapura, kota Provinsi Papua, Jumat (22/3).

Menurut Tabuni, penyiksaan atas warga sipil di Papua melalui video yang viral dan beredar merupakan ancaman genosida dan fakta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) memprihatinkan di West Papua. Ancaman genosida dan pelanggaran HAM di West Papua juga sudah didesak Sekretaris Penasehat Pelapor Khusus Dewan HAM PBB dan berbagai komunitas internasional untuk segera diselidiki.

“Komisi Tinggi HAM PBB segera membentuk tim investigasi untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM dan ancaman genosida pada Bangsa Papua,” ujar Tabuni lebih lanjut.

Sedangkan Wakil Presiden Eksekutif ULMWP Octovianus Mote meminta rakyat bangsa Papua bangkit melakukan upaya pembelaan diri secara konkrit. Langkah tersebut, ujar Mote, penting sebagai upaya membentengi diri dari potensi ancaman yang berada di depan mata.

“Rakyat bangsa Papua harus bangkit melakukan pembelaan diri atas setiap kejahatan dan potensi bahkan ancaman nyata yang terus terjadi pada orang Papua di atas tanah leluhurnya,” kata Mote dalam keterangan tertulis tersebut. 

Markus Haluk menambahkan, video berdurasi 1 menit 14 detik tersebut beredar di sejumlah jejaring media sosial (medsos) seperti Facebook dan WhatsApp sejak Jumat (22/3) dan mendapat aneka kecaman dan ungkapan keprihatinan publik, terutama di tanah Papua serta berbagai elemen. 

Melalui cuitannya di medsos, warga tanah Papua baik perorangan maupun kelompok mengutuk keras karena penyiksaan terhadap seorang warga tersebut di luar batas kemanusiaan. Warga mendesak Panglima TNI Agus Subiyanto segera mengambil tindakan mengusut dan mengungkap aksi sadistis tersebut.

“Syukur bagi-Mu, Tuhan! Sesuai laporan awal yang kami peroleh, peristiwa ini terjadi pada 3 Februari 2024 yang diduga dilakukan oleh anggota di dataran tinggi West Papua,” ujar Markus.

Markus mengatakan, pada Jumat (22/3), publik di tanah Papua, Indonesia hingga dunia telah dikejutkan dengan beredarnya dua cuplikan video penyiksaan sadis tidak berperkemanusiaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui aparat keamanan di wilayah puncak West Papua. 

Markus menilai, penyiksaan sadis terhadap tiga korban warga sipil itu diketahui publik melalui dua cuplikan video merupakan potret terkecil dari apa yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia selama 61 tahun sejak Mei 1963 hingga 2024 pendudukan di West Papua. Selama kurun waktu tersebut ancaman genosida, etnosida, dan ekosida sudah di depan mata bagi bangsa West Papua. 

Markus menambahkan, kasus penyiksaan terhadap warga sipil Papua dalam video tersebut, mengembalikan memori traumatik atas beberapa peristiwa penyiksaan dan pembunuhan tak berperikemanusiaan yang menimpa warga sipil di tanah Papua.

Markus menyebut, ada beberapa peristiwa penyiksaan dan pembunuhan tidak manusiawi pada rakyat sipil Papua telah menjadi perhatian menyusul penyiksaan yang dialami warga puncak West Papua yang viral belakangan. 

Pertama, pada 13 Agustus 2009 di Serui, West Papua anggota Brimob Polda Papua melakukan penembakan dan penyiksaan yang menyebabkan warga sipil bernama Yawan Wayeni meninggal. Kedua, pada 27 Mei 2010, di puncak West Papua, anggota TNI menyiksa dua orang warga sipil bernama Telenggen Gire dan Tunaliwor Kiwo alias Anggen Pugukiwo. 

“Mereka disiksa anggota TNI dengan diikat menggunakan tali jemuran dan disundut kemaluannya menggunakan bara api. Korban juga sempat ditutup wajahnya memakai plastik kresek warna hitam,” kata Markus.

Ketiga, pada 8 Desember 2014, di Paniai, anggota TNI menembak mati lima orang Papua. Mereka adalah Otianus Gobai, Simon Degei, Yulian Yeimo, Abia Gobay, dan Alfius Youw. 

Keempat, pada Juni 2021, di Merauke, dua anggota TNI-AU melakukan kekerasan fisik terhadap Steven Yadohamang di depan warung bubur ayam milik salah satu pedagang dari warga migran Indonesia. 

Kelima, pada 22 Agustus 2022, di Timika anggota TNI melakukan tindakan tidak berperikemanusiaan dengan melakukan mutilasi terhadap empat warga sipil orang asli Papua  yakni Arnold Lokbere, Lemanion Nirigi, Iryan Nirigi, dan Jenius Tini. 

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Atnike Nova Sigiro, Jumat (22/3) juga merespon video viral dugaan penyiksaan terhadap warga sipil yang diduga terjadi di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah. 

“Komnas HAM menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut karena menambah rentetan korban kekerasan akibat konflik di Papua yang diduga merupakan  penyiksaan oleh aparat,” ujar Atnike Nova Sigiro melalui keterangan tertulis yang diperoleh Odiyaiwuu.com di Jakarta, Jumat (22/3). 

Menurut Nova, Komnas HAM berharap agar pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan proses penegakan hukum yang transparan dan adil terhadap kasus tersebut. Komnas HAM juga terus mendorong agar pemerintah memperbaiki strategi pendekatan keamanan di Papua agar dapat meredam intensitas kekerasan dan untuk menghindari  jatuhnya korban.

 “Namun, Komnas HAM juga menegaskan kembali bahwa penggunaan kekerasan dalam gerakan politik tidak dapat dibenarkan. Untuk itu, Komnas HAM meminta semua pihak agar menahan diri  untuk mencegah eskalasi konflik di Papua. Terkait kasus ini, Komnas HAM akan melakukan pemantauan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap atas peristiwa tersebut sebagaimana kewenangan yang dimiliki Komnas HAM,” kata  Nova. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :