Oleh Paskalis Kosay
Tokoh Papua dan Mantan Anggota DPR RI
PUBLIK tanah air khususnya di Papua tentu ingat. Pada Minggu, (14/8) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Muhammad Tito Karnavia berkunjung ke Merauke, kabupaten paling timur Indonesia.
Kala itu, Tito melalui video singkat yang beredar luas mengatakan, penunjukan Penjabat (Pj) Gubernur di tiga provinsi baru di Papua akan dilakukan akhir bulan Oktober 2022. Tiga provinsi di bumi Cendrawasih yang dimaksud yaitu Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Provinsi Papua Selatan beribukota Merauke. Provinsi ini meliputi Kabupaten Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel. Kemudian Papua Tengah beribu kota Nabire. Provinsi ini terdiri dari Kabupaten Nabire, Mimika, Paniai, Dogiyai, Deyiai, Intan Jaya, dan Puncak.
Mayoritas suku yang mendiami Papua Tengah adalah Mee. Selain Mee, provinsi ini juga ditempati oleh suku lain seperti Damal, Dani, Moni, dan Nduga. Selain itu, Papua Pegunungan dengan ibu kota di Wamena. Provinsi ini meliputi Kabupaten Jayawijaya, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Nduga, Tolikara, Yahukimo, dan Yalimo.
Terkait dengan Penjabat Gubernur di tiga provinsi baru di atas, Tito mengatakan, tiga penjabat yang ditunjuk adalah mereka yang tengah duduk dalam jabatan tinggi madya (eselon 1). Sementara khusus bagi orang asli Papua belum ada yang memenuhi syarat. Selain itu, ada aspirasi masyarakat yang menginginkan Penjabat Gubernur sebaiknya orang non asli Papua.
UU Otsus
Statemen Mendagri Tito Karnavian itu tentu memunculkan pertanyaan yaitu statemen yang menyebut bahwa orang asli Papua (OAP) belum memenuhi syarat Undang-Undang (UU) menjadi Penjabat Gubernur. Undang-Undang UU apa yang dipakai di sini? Publik khususnya masyarakat di Papua tahu, bahwa dasar pembentukan ketiga provinsi baru ini adalah Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus).
Pernyataan Mendagri ini bertentangan dengan landasan filosofis pembentukan tiga provinsi baru di Papua. Pembentukan ketiga provinsi ini berdasarkan Pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Bunyi pasal tersebut adalah “Pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesiapan SDM, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan masa yang akan datang dan/atau asprasi masyarakat papua.”
Selain itu, satu hal yang menjadi dasar pertimbangan untuk melahirkan provinsi baru ini adalah legal standing kekhususan (special autonomy). Hal ini sejalan dengan asas pemberlakuan hukum lex specialis derogat legi generali, yang berarti aturan (UU) yang bersifat khusus mengalahkan aturan yang bersifat umum.
Maka dalam konteks pembentukan ketiga provinsi baru di Papua, UU Otsus mengalahkan UU Pemda Nomor 24 Tahun 2016 yang mengatur tentang syarat pembentukan daerah otonomi baru. Dari konteks ini, pemerintah harus konsisten dengan amanat UU Otsus dalam hal penunjukan Penjabat Gubernur di provinsi baru di Papua hasil pemekaran.
Sesuai semangat UU Otsus, maka orang asli Papua yang harus ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur pada ketiga provinsi baru. Bukan orang non asli Papua yang dipaksakan. Kalau dipaksakan berarti menabrak Undang-Undang dan menunjukkan pemerintah tidak konsisten dengan komitmen awal dan landasan hukum pembentukan provinsi baru di Papua.
Oleh karena itu, masyarakat Papua berharap agar Mendagri Tito Karnavian memahami posisi UU Otsus yang bersifat specialis ini dan tidak mengeluarkan kebijakan yang mencederai kekhususan Undang-Undang terkait otonomi khusus Papua.