DEKAI, ODIYAIWUU.com — DALAM salah satu ruang Gereja Reformasi Papua (GRP) Tapla, Kampung Tapla, Distrik Nipsan, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papau Pegunungan, tiga rombongan belajar anak-anak usia PAUD hingga SMP masing-masing menumpuk di tempat berbeda. Martha Wisabla mengajar anak-anak belajar menulis huruf di atas karton bekas.
Sesekali, Martha, ibu guru tamatan Sekolah Dasar (SD) yang mendedikasikan diri sebagai pendidik ini menyebut abjad yang ia tulis diikuti anak-anak muridnya. Kerap ia mengajari anak-anaknya berhitung dan bercerita apa saja yang ada dalam pikirannya. Puluhan anak duduk lesehan di atas lantai papan tanpa alat tulis-menulis.
“Sejak tahun 2023 hingga saat ini, saya sudah bertahan menjadi guru. Saya sudah sampaikan ke orang dinas di atas tapi tidak pernah didengar apa yang saya sampaikan. Banyak yang dibutuhkan anak-anak. Alat tulis-menulis tidak ada, seragam tidak ada, juga gedung tidak ada. Jadi, kelas 1 sampai 6 belajar gabung di ruang gereja ini,” ujar Martha berurai air mata.
Tanpa seragam dan sepatu anak-anak alias bertelanjang kaki, mera=eka kerap membungkuk melihat abjat atau angka yang ditulis sang guru perempuan asli Yahukimo. Mata anak-anak kerap terpaku pada kertas karton yang disiapkan ibu guru Martha.
“Banyak anak datang dari kampung mau ikuti pelajaran. Mereka semangat mau sekolah. Tapi tak ada yang mereka miliki. Sejak mengajar tahun 2013, saya juga tak pernah dikasi imbalan, macam terima kasih begitu. Saya ini buta huruf, tamat SD. Sudah mengajar di salah satu ruang tapi sudah dirusak,” kata Martha dengan mata sembab menahan tangis.
Sejak gedung rusak tahun 2013. Martha mengaku ia berhenti mengajar namun seiring perjalanan waktu, anak-anak mendesaknya agar kegiatan belajar mengajar dilanjutkan kembali. Apesnya, tak ada lagi gedung sekolah tempat anak-anak sekadar berdiri untuk mengikuti pelajaran. Pun alat tulis-menulis, seragam, sepatu seolah menjadi barang langka bagi anak-anak yang hidup di atas tanah bergelimang kekayaan alam bagi tanah Papua dan Indonesia.
“Anak-anak dari kelas 1 sampai 6 tak punya fasilitas. Saya perlu buku tulis, pinsil warga, seragam, dan sepatu. Saya hanya bermodal kertas karton. Gedung yang kami pake ini saya minta ijin kepada Majelis Gereja. Mereka setuju karena kegiatan ini bukan untuk pribadi saya tetapi menyangkut masa depan anak-anak sehingga diijinkan,” ujar Martha.
Sedang di sudut Elia Wisabla tak kalah seru. Guru Elia setia mengajar anak-anak usia PAUD hingga SMP yang duduk di kelas 5 dan 6. Di samping kumpulan anak-anak nampak sebuah meja dengan taplak putih. Guru Elia setia mengajar anak-anak calon generasi emas masa depan tanah Papua dari Yahukimo.
Elia, Sarjana Ekonomi lulusan Universitas Cenderawasih, mengaku, ia dan rekannya, Martha mengumpulkan anak-anak usia PAUD hingga SMP dalam satu rombongan belajar PAUD di salah satu ruangan Gereja Reformasi Papua Tapla. Elia mengaku sangat prihatin karena SDM daerah ini sangat ketinggalan.
“Distrik Napsan, khususnya kampung Tapla sudah ketinggalan calon generasi emas tanah Papua sejak tahun 2013. Karena itu, tahun 2014 kami berdua ibu Martha mencoba meneruskan kegiatan belajar-mengajar agar anak-anak kami tidak kehilangan kesempatan meraih mimpi dan masa depan mereka,” ujar Elia.
Elia mengaku, pihak Majelis Gereja Reformasi Papua Tapla berbaik hati sehingga memberikan keluasana kepada kami memanfaatkan ruang ini untuk mengajar anak-anak usia PAUD sampai SMP dalam tiga rombongan belajar. Kami bagi kelas 1 dan 2 di satu tempat, kelas 3 dan 4 di satu tempat, dan kelas 5 dan 6 di tempat lain dalam satu ruangan ini,” ujar Elia prihatin.
Eliyakim Sepleng, putra asli Papua dari Yahukimo, yang melihat langsung aktivitas ‘belajar’ anak-anak di ruang Gereja Reformasi Papua (GRP) Tapla tak kuasa menahan haru. Di salah satu sudut ruangan gereja, ia menyaksikan ibu guru Martha setia dengan puluhan anak kelas 1 dan 2. Sedang puluhan anak kelas 2 dan 3 berada di rombongan berbeda tanpa guru. Sedang di salah satu sudut ruangan, guru Elia setia dengan anak-anak kelas 5 dan 6.
“Rombongan belajar di sudut itu adalah anak-anak usia kelas 5 dan 6. Kondisi ini memprihatinkan. Saat saya lihat Ibu Guru Martha dan Pa Guru Elia hati saya pilih. Air mata saya jatuh. Papua ini bergelimang kekayaan alam yang diketahui tak hanya di level nasional tetapi juga dunia internasional. Sayang, anak-anak hidup dalam wajah kemiskinan sektor pendidikan paling mengerikan di atas alam tanah Papua,” ujar Eliyakim Sepleng kepada Odiyaiwuu.com dari Tapla, Yahukimo beberapa waktu lalu.
Kedua guru ini, ujar Eliyakin, sangat antusias mengajar dan mengembangkan SDM demi negeri ini. Meski tidak ada sekolah, alat tulis-menulis untuk anak-anak, dan nihil fasilitas gedung sekolah. Lebih miris lagi, ujar Eliyakim, tak ada yang berniat melihat wajah buram pendidikan di Tapla.
“Kalau ke Dekai, kota Kabupaten Yahukimo, warga Distrik Nipsan hanya mengandalkan pesawat kecil berpenumpang 13 orang karena tak ada akses darat. Wilayah distrik itu dibatasi sungai yang berarus deras sehingga anak-anak tak bisa ke Dekai. Jadilah mereka terpenjara dalam keterasingan. Pendidikan menjadi barang langka bagi anak-anak Nipsan,” ujar Eliyakim.
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem pun tak kuasa prihatin menyaksikan kondisi anak-anak di Tapla yang kehilangan pendidikan, yang merupakan hak asasinya.
Theo, pembela HAM Papua akhirnya melayangkan surat kepada Penjabat Gubernur Papua Dr Velix Vernando Wanggai, SIP, MPA. Salinan surat Theo juga dikirimkan kepada Bupati Yahukimo Didimus Bahuli dan Kepala Dinas Pendidikan setempat agar kondisi anak-anak yang belajar nihil fasilitas gedung, alat tulis-menulis, seragam hingga sepatu segera diatasi,
“SD Inpres Nipsan terletak ini terletak di Kampung Walma, Distrik Nipsan. Anak-anak yang sekolah di SD Inpres Nipsan berasal dari empat kampung yaitu Tapla, Nipsan, Piu, dan Mirin. Mereka kerap tidak bisa datang ke SD Inpres Nipsan karena terkendala dengan jarak yang sangat jauh dan sulit,” ujar Theo Hesegem kepada Odiyaiwuu.com dari Dekai, Yahukimo, beberapa waktu lalu.
Apesnya, kurang lebih 300 orang anak di Kampung Tapla yang ingin datang dan belajar di SD Inpres Nipsan tertinggal dan tidak bisa mengikuti jenjang pendidikan dengan baik. Oleh karena itu, agar mereka merasa pernah sekolah, ratusan anak itu ditampung dan belajar di salah satu ruang di gedung Gereja Protestan Reformasi Papua Tapla.
Menurut Theo, anak-anak dari berbagai usia itu belajar di gereja tersebut dengan segala kekurangan yang mereka miliki. Mereka belajar dan menulis menggunakan karton. Kulit Karton dijadikan sebagai buku tulis dan dipergunakan setiap hari ketika mereka belajar di gedung gereja tersebut.
“Anak-anak usia PAUD hingga SMP itu ditampung di salah satu ruangan milik Gereja Reformasi Papua Tapl mengingat jarak yang sangat sulit dijangkau ke SD Inpres Nipsan. Mereka juga mengalami kesulitan karena daerah tersebut harus melintasi sungai yang sangat besar. Apalagi, hingga kini ini belum ada jembatan penghubung,” ujar Theo.
“Pemerintah juga perlu ketahui bahwa SDM yang berkualitas sangat dibutuhkan dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Karena sumber daya manusia berkualitas sangat dibutuhkan untuk menghadapi berbagai tantangan globalisasi. Oleh sebabnya pendidikan di tingkat SD perlu diperhatikan serius oleh seluruh stakeholder, baik di daerah maupun pusat. Menyaksikan anak-anak usia SD hingga SMP belajar dalam satu ruangan gereja ibarat ayam yang mati di lumbung padi,” ujar Theo Hesegem. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)