Pemekaran dan Migrasi di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Pemekaran dan Migrasi di Papua

Hani S Sawasemariai, Mahasiswa Papua dari Pegunungan Bintang. Kini sedang menyelesaikan studi S-2 di Universitas Diponegoro Semarang

Loading

Oleh Hani S Sawasemariai

Mahasiswa Papua dari Pegunungan Bintang; Sedang Studi S-2 di Universitas Diponegoro

PEMERINTAH Pusat memekarkan Papua menjadi tiga daerah otonom baru provinsi (DOB). Pada Kamis (30/6) DPR RI mengesahkan tiga RUU terkait DOB di Papua yaitu RUU Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Tujuan pemekaran tak lain mempercepat pemerataan pembangunan, meningkatkan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua.

Upaya itu sekaligus memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang sebagaimana disuarakan masyarakat Papua.

Munculnya para oknum elit lokal yang mengusulkan DOB provinsi di Papua akhirnya diakomodir pemerintah pusat melalui Pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Jilid II). Hal tersebut ini merupakan bentuk lain atas arogansi kepentingan pribadi dan golongan dengan mengatasnamakan rakyat Papua.

Menilik UU Otsus Jilid II, peran dan ‘sentralisasi pengaturan’ pemerintahan daerah khusus Provinsi Papua oleh pemerintah pusat begitu kental terasa sehingga pemekaran provinsi segera dilaksanakan. Jika pemekaran DOB di Papua dilaksanakan maka salah satu konsekuensinya ialah terjadi migrasi penduduk dari luar Papua. Kaum migran akan berbondong-bondong ke bumi bum Cendrawasih.

Kompleks

Migrasi erat kaitannya dengan perpindahan orang atau manusia dari satu tempat atau wilayah ke tempat atau wilayah lainnya. Entah dengan tujuan untuk tinggal sementara atau berdomisili secara permanen. Migrasi sudah lama berlangsung. Kaum migran melakukan perpindahan tempat atau wilayah melewati batas wilayah kelurahan atau desa, kecamtan, kabupaten atau provinsinya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengutip kbbi.lektur.id menjelaskan, arti kata migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat (negara dan sebagainya) ke tempat (negara dan sebagainya) lain untuk menetap. Arti lainnya dari migrasi adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain bagi burung dan sebagainya karena pergantian musim.

Tommy Firman dalam Migrasi Antar Provinsi dan Pengembangan Wilayah di Indonesia (Prisma, 7/7 1994) mengatakan, migrasi sebenarnya suatu reaksi atas kesempatan ekonomi pada suatu wilayah. Migrasi yang terjadi pada negara-negara yang sudah berkembang lebih kompleks dengan tingkat ekonomi yang lebih seimbang antar wilayah di dalamnya, sehingga pola migrasi cederung tidak terfokus pada daerah tertentu.

Migran merupakan persoalan dinamika kependudukan yang terjadi dalam setiap negara dan wilayah bangsa. Dilihat dari aspek demografi, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk yang cukup besar. Jumlah dan pertumbuhan ini pun dipengaruhi oleh aspek kelahiran, kematian dan perpindahan.

Permindahan atau migrasi ini dikenal dengan istilah migran paksaan dan migran spontan (bukan paksaan). Migran paksaan merupakan sebuah model perpindahan penduduk pada zaman kolonial dikenal sebagai perpindahan yang berorientasi pada upaya mendirikan pasar-pasar buruh yang semata-mata untuk kepentingan kaum kapitalis barat yang memerlukan tenagah buruh terampil dan murah.

Sedangkan migran spontan menjadi bagian dari perpindahan penduduk antar daerah. Model perpindahan ini bersamaan dengan transmigrasi dan tidak sepenuhnya difasilitasi oleh pemerintah, namun memperoleh pembinaan dan pengawasan dari pemerintah di tempat tujuan.

Dalam Difusi Inovasi Budi Daya Pertanian dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi: Studi Kasus di Lokasi Arso Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua (1999) La Pona mengemukakan, translok (trans lokal) yang memiliki jaringan sosial aspek pertanian dengan transmigran asal ternyata mengadopsi banyak inovasi budidaya pertanian, demikian pula sebaliknya.

Sejarah migrasi

Setahun setelah Papua masuk dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah Indonesia mengupayakan untuk mendatangkan transmigran dari Jawa. Masing-masing dengan jumlah 12 kepala keluarga (KK) ke Kabupaten Manokwari, 27 KK ke daerah Kumbe, Kabupaten Merauke, dan 9 KK ke daerah Dosai, Kabupaten Jayapura.

Merujuk Marton dalam Kita dan Papua Nugini: Masa Depan Bersama (1985), program transmigrasi di Papua mulai ditetapkan dengan adanya kebijakan Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 1978 tentang Penentuan Provinsi Irian Jaya sebagai salah satu daerah provinsi di Indonesia.

Tahun 1978, Papua merupakan salah satu wilayah penerima transmigran tertinggi di Indonesia, selain Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Keinginan kuat transmigran untuk bertahan hidup di tempat baru dengan kemampuan dan keterampilan yang lebih baik dalam beberapa hal membuat penduduk pendatang sering terlihat lebih berhasil secara ekonomi dibanding penduduk asli.

Hal ini sebenarnya bisa diatasi bila pemerintah terlebih dahulu mempersiapkan penduduk asli dengan melibatkan mereka dalam program-program transmigrasi, terutama dalam bidang sosial, ekonomi melalui penyuluhan atau pembinaan keterampilan untuk bersaing dengan transmigran dari luar Papua.

Data Badan Pusat Statistik merilis, tahun 1971-2000 jumlah migran masuk Papua mencapai 719.866 jiwa. Jumlah ini membuat orang Papua merasa tidak berdaya di tanahnya sendiri. “Transmigrasi reguler di Papua telah dihentikan tahun 2000 atau 15 tahun lalu oleh Menakertrans Al Hilal Hamdi di mana saat itu saya menjadi staf khusus Menteri Al Hilal,” ujar Natalius (Kompas.com, 7/6 2015).

Pakar kependudukan Fakultas Geografi Universitas Cendrawasih Michael Rumbiak menjelaskan, setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 Pemerintah Indonesia menyatakan Papua terbuka (open door policy) bagi orang Indonesia lain. Kebijakan ini jelas menyebabkan banyak orang luar berbondong-bondong masuk tanah Papua.

Penggalan lirik dalam lagu Aku Papua yang dinyanyikan penyanyi asli Papua Edo Kondologit melukiskan: “….tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi, seluas tanah sebanyak madu adalah harta kekayaan…..”

Karena itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk mengatur Papua agar orang asli bumi Cendrawasih mendapatkan hak semestinya sebagai tuan di atas tanahnya sendiri.

Tinggalkan Komentar Anda :