JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Wakil Bupati Kabupaten Asmat sekaligus Ketua Tim Pemekaran Calon Provinsi Papua Selatan Thomas Eppe Safanpo mengatakan, rencana pemekaran calon daerah otonom baru (DOB) Papua Selatan dilakukan atas masukan dari daerah-daerah, kabupaten, sampai dewan adat setempat. Warga yang dilayaninya mengatakan rata-rata mereka membutuhkan akses yang lebih mudah terhadap pelayanan pemerintah.
“Luasnya wilayah dan lemahnya koordinasi di Papua membuat kontrol pemerintah sangat lemah. Tidak mungkin satu wilayah yang luasnya hampir sama satu negara menjadi tanggung jawab gubernur atau bupati saja,” ujar Thomas Eppe Safanpo melalui keterangan yang diterima Odiyaiwuu.com saat berlangsung dialog Pemekaran DOB di Papua: Solusi atau Sumber Masalah Baru? di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Safanpo, selama 20 tahun otonomi khusus sudah lebih dari Rp 97 triliun digelontorkan pemerintah untuk membiayai pembangunan di Papua tetapi nyaris tidak berdampak. Hal ini terjadi akibat wilayah Papua sangat luas dengan geografis yang sulit. Wajar kalau daerah-daerah menuntut adanya pemekaran sebagai solusi ketidakefisien dan keterlambatan di Papua.
Sedangkan Pastor Alexandro Rangga, OFM dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua menegaskan, DOB itu terlalu tergesa-gesa jika dilakukan tanpa menyelesaikan akar masalah yang ada di Papua. Pastor Rangga mempertanyakan kemendesakan pemerintah untuk segera dilakukan penambahan daerah otonom baru di Papua.
Menurut Pastor Rangga, syarat daerah otonom baru adalah mendapat izin dari Majelis Rakyat Papua (MRP) selaku wadah kultural orang asli Papua dan DPR. “Seperti ada unsur pemaksaan sebab banyak sekali persoalan yang belum selesai di Papua,” ujar Pastor Alexandro Rangga, OFM dalam webinar yang diselenggarakan Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik di Jakarta.
Menurut Pastor Rangga, pengalaman di beberapa tempat, sumber daya alam menjadi motif pemekaran Papua. Pasar dan berbagai tempat umum masih didominasi oleh pendatang, daerah otonom baru akan menjadi persoalan karena mobilisasi penduduk migran Papua menjadi masif. Layanan kesehatan dasar dan pendidikan sangat buruk misal gizi buruk yang pernah terjadi di Asmat.
“Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua melihat bahwa pelayanan publik belum sampai ke masyarakat. Dalam penelitian yang dilakukan LIPI ada empat persoalan yang harus diperhatikan yaitu kegagalan pembangunan, diskriminasi Papua, kekerasan dan pelanggaran HAM. Termasuk akar persoalan adalah sejarah dan status politik,” ujar imam Fransiskan ini dalam webinar itu.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua John Gobai melihat tidak saja Majelis Rakyat Papua yang menolak tetapi kehadiran daerah otonom baru tapi juga Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Daerah otonom baru melupakan proses hearing di akar rumput, grass root yang tidak jalan. John melihat pemekaran ini bukan solusi tepat justru mendatangkan masalah baru di tempat baru.
Gobai setuju bahwa sebelum daerah otonom baru terbentuk perlu menyelesaikan konfik yang masih terjadi di Papua. Meski pemerintah sudah membuat Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, tapi ada unsur ketergesaan di sini. “Yang diperhatikan pemerintah itu hanya pembangunan. Padahal pembangunan itu bukan satu-satunya masalah. Ada masalah lain yang saling terkait, itu yang tidak pernah direspon secara terbuka,” tegas Gobai.
Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua sepakat meminta pemerintah untuk memperbaiki regulasi sebelum melakukan pemekaran wilayah. Meskipun juga diakui oleh John Gobay bahwa sampai saat ini Dewan Perwakilan Rakyat Papua atau Majelis Rakyat Papua belum pernah ada rapat pleno membahas soal isu ini.
“Perlu diatur misal politik konstitusional orang asli Papua, pengelolaan sumber daya alam, pendidikan, kesehatan, konflik-konflik internal termasuk masalah ekonomi sebelum melakukan daerah otonom baru,” katanya.
Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma mengatakan, rencana pemekaran enam daerah administrasi di tanah Papua tentu harus berdampak dan dirasakan langsung oleh masyarakat Papua. Pasti ada pro dan kontra rencana DOB ini dengan rasionalisasi masing-masing baik dari segi latar bekalang, emosional, politik dan budaya, maka Gusma memberi catatan, jangan sampai DOB ini hanya kepentingan elit di Jakarta.
“Perlu mencari benang merah mengapa sampai saat ini masih ada persoalan dengan perspektif keadilan dan pemerataan. Pemuda Katolik akan membangun sinergitas dengan pemerintah untuk menjawab persoalan keadilan dan pemerataan,” ujar Gusma saat membuka webinar.
Pemuda Katolik juga akan aktif menyerap aspirasi dan gagasan dari struktur dan kader yang ada di Tanah Papua. Keterlibatan mereka sangat dibutuhkan untuk belanja aspirasi dan belanja masalah. Dan secara pararel akan dijalankan juga program-program pemberdayaan kader dengan memaksimalkan seluruh potensi kader Pemuda Katolik yang ada disana. Tidak boleh politis! Ini kerja kolaborasi dengan optimisme tinggi.
Webinar ini diselenggarakan oleh Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik. Selain tiga narasumber di atas, ada juga mewakili Konferensi Waligereja Indonesia Pastor Hans Jeharut dan Ketua Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik Melkior NN Sitokdana. Sedikitnya 120 peserta kader Pemuda Katolik dari berbagai wilayah terlibat dalam webinar ini. Diskusi hangat yang dibangun lewat kritik dan saran mewarnai suasana diskusi. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)