YLBH Papua Tengah Kritik Pembubaran Paksa Demo Massa Forum Independen Mahasiswa West Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

YLBH Papua Tengah Kritik Pembubaran Paksa Demo Massa Forum Independen Mahasiswa West Papua

Kapolres Nabire AKBP Samuel Dominggus Tatiratu, SIK (kanan) dan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Papua Tengah Yoseph Temorubun, SH (kiri). Foto: Istimewa

Loading

NABIRE, ODIYAIWUU.com — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Papua Tengah menilai, langkah pembubaran paksa aparat gabungan Kepolisian Resor (Polres) Nabire dan TNI terhadap massa Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP) Komite Wilayah Nabire yang menggelar aksi demo di Nabire, Senin (7/4) dinilai berlebihan. 

“Kalau melihat video yang beredar, langkah pembubaran massa pengunjuk rasa oleh aparat gabungan TNI dan Polri menunjukkan kebebasan berekspresi, menyampaikan pendapat di muka umum di tanah Papua seperti kita kembali ke era otoriter Orde Baru. Pola penanganan unjuk rasa massa berlebihan,” ujar Direktur YLBH Papua Tengah Yoseph Temorubun, SH kepada Odiyaiwuu.com dari Timika, Papua Tengah, Senin (7/4).

Menurut Temorubun, di era demokratisasi penyampaian pendapat di muka umum dijamin Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

“Demonstrasi itu juga aksesori demokrasi dan pemberitahuan aksi bersifat administratif bukan harus menunggu izin dari pihak kepolisian. Unjuk rasa dijamin konstitusi. Melihat tayangan video yang beredar luas hemat saya pihak kepolisian perlu juga membangun komunikasi produktif dengan massa dan bukan menyikapinya secara represif,” kata Temorubun, pengacara jebolan Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Maluku.

Menurut Temorubun, pihak YLBH Papua Tengah berharap agar cara-cara penanganan aksi unjuk rasa secara represif segera ditinggalkan demi menjaga citra Polri yang prediktif, responsible, dan transparan berkeadilan atau Presisi. 

Konsep Polri yang Presisi, katanya, merupakan gagasan besar Polri di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Pol Drs Listyo Sigit Prabowo, SIK, M.Si untuk menjadikan polisi di seluruh wilayah Indonesia sebagai sosok yang berwajah humanis, bukan berparas bengis.

“Jika melihat tayangan video aksi unjuk rasa massa Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP) Komite Wilayah Nabire yang lagi viral, cara-cara arogansi masih dipertontonkan polisi di muka publik. Padahal, idealnya wajah Polri di era demokratisasi dan praktik pemerintahan yang sudah terbuka mestinya wajah militeristik mesti perlahan menjauh dari laku sangar anggota polisi,” ujar Temorubun. 

Temorubun mengatakan, Polri yang Presisi adalah konsep kepolisian yang bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan penegakan hukum yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel. Kualitas komunikasi merupakan prasyarat dasar dalam menjembatani tersumbatnya saluran formal rakyat atas berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.

“Cara-cara represif dalam penanganan aksi demo seperti di Nabire atau Papua Tengah umumnya saatnya ditinggalkan lalu menggantinya dengan soft approach dalam penanganan aksi massa. Bila selama aksi berlangsung terjadi provokasi pihak-pihak lain yang berpotensi menimbulkan chaos maka polisi bila mengambil langkah-langkah yang terukur,” ujar Temorubun.

Demo mengatakan, pihak YLBH Papua Tengah memahami kecerdasan para pengunjuk rasa terkait sepak terjang korporasi global di wilayah Papua Tengah selama ini. Bahkan, munculnya rencana sejumlah korporasi di bidang mining yang akan melebarkan sayap usaha pertambangan di wilayah Intan Jaya. 

“Pengalaman masyarakat dan daerah membuktikan, selama ini banyak korporasi global di bidang mining yang beroperasi di tanah Papua. Sayangnya, kesejahteraan warga lokal masih jauh terwujud. Karena itu, aksi demo itu juga bentuk protes karena mereka tidak mau kekayaan alam dan tanah mereka dikeruk untuk kepentingan perusahaan dan kelompok elit berdasi,” kata Temorubun tegas.

Pihak YLBH Papua Tengah juga menyayangkan sikap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Tengah dan DPRP yang minim merespon kegelisahan warga yang sudah menjadi isu publik di tengah masyarakat. Para wakil rakyat, kata Temorubun, segera menggunakan kewenangan formalnya melakukan rapat bersama eksekutif guna memastikan bahwa kegelisahan di publik bisa dijembatani melalui dialog bersama pihak perusahaan.

“Pertemuan tripartit antara pemerintah, DPRP, dan korporasi bersama elemen-elemen masyarakat sangat penting. Kami lihat DPRP Papua Tengah tidak menggunakan kewenangan formal mengawasi eksekutif dalam menjembatani komunikasi dengan pihak perusahaan. Reses idealnya menjadi momentum menyerap aspirasi rakyat lalu menyampaikan kepada eksekutif untuk ditindaklanjuti dalam kebijakan-kebijakan yang pro rakyat,” kata Temorubun.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Nabire menyebutkan, unjuk rasa berujung delapan orang anggota Forum Independen Mahasiswa West Papua Komite Wilayah Nabire ditangkap pihak aparat gabungan. Mereka antara lain ditangkap di titik kumpul di Gerbang Syadu, Wadio, dan 3 lainnya ditangkap Depan Hotel Jepara I, Nabire.

Media ini sebelumnya memberitakan, Polres Nabire tidak menerbitkan izin rencana aksi unjuk rasa damai massa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) Papua Tengah di Nabire, Senin (7/4) mulai pukul 09.00 WIT.

Massa dari Forum Independen Mahasiswa West Papua Komite Kota Nabire melalui selebaran menyerukan menggelar aksi long march bertajuk Tutup PT Freeport Indonesia Sebagai Simbol Kapitalisme di Tanah Papua dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri dengan titik kumpul di Jipra II, Pasar Karang, Jalan Kusuma Bangsa dan Siriwini, Nabire. 

Berdasarkan selebaran yang beredar dan salinannya diperoleh Odiyaiwuu.com, Minggu (6/4) aksi tersebut di bawah penanggung jawab Komite Kota Nabire Forum Independen Mahasiswa West Papua dengan Koordinator Lapangan (Korlap) Yance Pugao dan Wakil Korlap Apnel Selegani.

Kapolres Nabire AKBP Samuel Dominggus Tatiratu, SIK menegaskan, penolakan rencana aksi unjuk rasa tersebut disebabkan surat pemberitahuan aksi tidak memenuhi syarat administratif karena tidak mencantumkan penanggung jawab kegiatan dan jumlah massa yang akan terlibat unjuk rasa.

“Surat pemberitahuan baru masuk tadi (Minggu, 6/4) pagi. Di dalamnya tidak ada nama penanggung jawab maupun data jumlah massa yang jelas. Oleh karena itu, STTP  (Surat Tanda Terima Pemberitahuan) tidak dapat kami keluarkan,” ujar Tatiratu melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com dari Nabire, Papua Tengah, Minggu (6/4).

Pihaknya mengaku sudah berusaha berkoordinasi dengan koordinator lapangan aksi, terutama setelah beredar seruan aksi menutup PT Freeport Indonesia. Namun, upaya tersebut ditolak oleh pihak penyelenggara aksi.

“Petugas kami mencoba menemui pihak korlap, namun ditolak dan mereka menyampaikan bahwa akan bertemu langsung di lapangan besok,” kata Samuel, mantan Kapolres Dogiyai, lebih lanjut.

Penolakan rencana aksi unjuk rasa tersebut, kata Samuel, diambil dengan pertimbangan lain karena masih dalam masa libur Hari Raya yang berlangsung hingga Selasa (8/4). Rencana unjuk rasa itu dikhawatirkan mempengaruhi situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) kurang kondusif serta terganggunya aktivitas warga.

Samuel mengaku, guna menjaga situasi kamtibmas tetap kondusif, Polres Nabire bersama jajaran TNI menyiagakan 460 personel gabungan. Para personil tersebut akan ditempatkan di enam titik strategis. Selain itu, 60 personel cadangan juga disiapkan sebagai langkah antisipatif.

Samuel menambahkan, seluruh aparat diminta bertindak sesuai Prosedur Operasional Standar atau Standard Operating Procedure (SOP) dengan pendekatan persuasif dan humanis. Pihaknya juga menegaskan, larangan terhadap aksi long march sebagai bentuk pencegahan potensi gangguan ketertiban umum. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :