JAKARTA, ODIYAIWUU.com — M Yasin Djamaluddin, SH, MH mengatakan, kuasa hukum Pelaksana Tugas Bupati Kabupaten Mimika Johannes Rettob, S.Sos, MM menegaskan, fungsi kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut telah membuat kejaksaan menjadi lembaga yang sewenang-wenang dalam proses penyidikan atas kliennya.
Pasalnya, yang melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara adalah internal kejaksaan, yang notabene rekan kerja sendiri. Kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan Pasal 30 ayat 1 huruf d Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Di sisi lain Kejaksaan Tinggi Papua juga sebagai penuntut, mengakibatkan tidak ada checks and balances dalam proses penyidikan atas kliennya, John Rettob sehingga sangat mudah menyatakan berkas perkara lengkap dan dapat segera dilimpahkan.
“Kesewenang-wenangan Kejaksaan Tinggi Papua itu dilakukan atas penetapan kliennya, John Rettob sebagai tersangka pengadaan pesawat terbang oleh Kejaksaan Tinggi Papua. Penetapan sebagai tersangka itu tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Hal itu tampak jelas dari proses penyidikan yang belum selesai, yaitu belum adanya pemeriksaan saksi dan ahli,” ujar Djamaluddin saat menggelar konferensi pers di Cikini, Jakarta, Senin (6/3).
Selain itu, ujar Djamaluddin, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah menyatakan tidak ada kerugian negara dalam pengadaan pesawat terbang milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika, Provinsi Papua Tengah. Demikian juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan penyidikan selama dua tahun dan tidak menemukan adanya penyelewengan.
“Kami juga sudah mengajukan praperadilan beberapa waktu lalu untuk menguji prosedur penetapan klien kami sebagai tersangka itu telah sesuai atau tidak. Namun, hak tersangka mengajukan praperadilan dikebiri Kejaksaan Tinggi Papua dengan mengajukan berkas perkara yang belum selesai ke pengadilan dengan maksud agar permohonan praperadilan digugurkan pengadilan,” ujar Djamaluddin lebih jauh.
Menurut Djamaluddin, setelah mengetahui adanya praperadilan tersebut walaupun proses penyidikan belum selesai, yaitu belum ada pemeriksaan saksi dan ahli meringankan, penyidik Kejaksaan Tinggi Papua langsung melimpahkan berkas perkara kliennya ke penuntut umum dan selanjutnya langsung dilimpahkan ke pengadilan agar permohonan praperadilan digugurkan sehingga Kejaksaan Tinggi Papua selamat dari proses penetapan tersangka tanpa bukti permulaan yang cukup.
“Klien kami Pak John dan ibu Silvi Herawaty telah menjadi korban kesewenang-wenangan Kejaksaan Tinggi Papua dengan keberadaan Pasal tersebut. Itu sangat merugikan dan menghilangkan hak klien kami untuk menguji proses penetapan tersangka yang benar, sesuai dengan asas due process of law,” lanjut Djamaluddin.
Menurutnya, bertolak dari praktik kesewenang-wenangan kejaksaan seperti itu jamak terjadi, Djamaluddin dan Janses Sihalolo, SH, langsung mengajukan uji materiil atau judial review terhadap Pasal 82 KUHAP dan Pasal 30 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ke Mahkamah Konstitusi, Senin (6’3). Pasal tersebut, imbuhnya, yang sering digunakan kejaksaan secara sewenang-wenang menggugurkan hak para pencari keadilan seperti kliennya.
“Pasal 82 ayat 1 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), harus ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi: Apabila permohonan praperadilan sedang diperiksa Pengadilan Negeri, pokok perkara harus ditangguhkan hingga putusan praperadilan agar prosedur, keadilan dan transparansi penegakan hukum berjalan dengan baik,” kata Djamaludin
Ia menambahkan, guna menghindari dwi fungsi kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut umum yang menjadikan jaksa bertindak sewenang-wenang dalam proses penyidikan dan untuk menghindari tumpang tindih penyidikan, kewenangan kejaksaan harus dikembalikan pada kewenangan hakiki yaitu penuntutan, bukan penyidikan.
John Rettob sebelumnya juga menegaskan, penetapan dirinya dan Silvy Herawaty sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Papua merupakan proses yang tidak sah dan tidak adil serta melanggar hukum acara pidana dan menginjak-injak hak asasi manusia (HAM).
Statemen John tersebut mengemuka menyusul pelimpahan perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jayapura oleh Kejaksaan Negeri Timika. John mengatakan hal tersebut bertolak dari sejumlah fakta.
Pertama, proses penyelidikan perkara hanya satu bulan oleh Kejaksaan Negri Timika yaitu pada Agustus 2022 dan ditingkatkan menjadi penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi Papua mulai Agustus 2022. Proses penyidikan berlangsung selama enam bulan dan ditetapkan menjadi tersangka pada 25 Januari 2023.
“Sebelum saya dan Silvy Herawaty ditetapkan jadi tersangka oleh penyidik, media sudah memuat berita penetapan tersangka. Padahal, saya belum menerima surat pemberitahuan tersangka tetapi surat yang bersifat rahasia tersebut sudah beredar dan dipublikasi melalui media media sosial,” kata John sebagaimana dilansir Odiyaiwuu.com, Sabtu (4/3).
Kedua, pada saat pemeriksaan John dan Silvy sebagai tersangka pada Kamis (17/2 2022) ada pertanyaan dari penyidik apakah keduanya akan mengajukan empat orang saksi fakta dan satu orang saksi ahli meringankan untuk kepentingan penyidikan, bukan pengadilan.
Tahapan ini, ujar John, belum dilakukan tetapi pada Senin (27/2 2023), keduanya dipanggil untuk penyerahan berkas tahap dua. Hal tersebut dipandang melanggar hukum acara pidana dan hak asasi manusia.
Ketiga, penyerahan berkas tahap dua tidak jadi dilaksanakan dan belum dilaksanakan karena keduanya tidak hadir. Oleh karena keduanya masih menunaikan agenda lain dan meminta ijin melalui surat tertulis disertai bukti alasan, baik secara pribadi maupun dari kuasa hukum. Karena itu, keduanya meminta pengunduran waktu ke Selasa (7/3 2023)
Keempat, pelimpahan berkas tahap dua dari penyidik Kejaksaan Tinggi Papua kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Mimika tanpa sepengetahuan John dan Silvy sebagai tersangka. Keduanya mengaku, tidak pernah hadir dalam proses itu dan tidak pernah menanda tangani berita acara apapun sehingga keduanya merasa proses pelimpahan perkara tahap dua belum pernah terjadi.
Kelima, namun tiba-tiba berkas sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jayapura oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Timika yang didaftarkan pada Rabu (1/2 2023) serta dijadwalkan sidang pada Kamis (9/3 2023).
“Artinya, pelimpahan berkas dan alat bukti ke pengadilan tidak sah dan telah melanggar hukum acara pidana dan telah melanggar kepentingan hukum yang adil serta melanggar dan menginjak hak asasi kami,” kata John tegas.
Hal tersebut, kata John, menjadi preseden buruk penerapan hukum di Indonesia yang dibuat dan dimulai dari Kejaksaan Tinggi Papua dan Kejaksaan Negeri Mimika sehingga hal ini sangat berbahaya. John bahkan mempertanyakan, bagaimana mau menegakkan hukum yang adil, menegakkan hukum acara pidana bila aparat penegak hukum sendiri yang melanggar.
“Saya yang dalam kedudukan dan jabatan sebagai bupati saja dibuat begini, bagaimana kalau terjadi pada warga negara atau masyarakat lain? Ini persoalan dapat terjadi, karena perkara tipikor yang diproses kejaksaan, penyidik dari kejaksaan dan jaksa penuntut umum juga dari kejaksaan harus dievaluasi,” ujar John. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)