Miss Papua Pegunungan Didepak Karena Dukung Israel, Yakobus Dumupa: Ini Bentuk Diskriminasi Terhadap Orang Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Miss Papua Pegunungan Didepak Karena Dukung Israel, Yakobus Dumupa: Ini Bentuk Diskriminasi Terhadap Orang Papua

Yakobus Dumupa, anggota Majelis Rakyat Papua (2012-2016) dan Bupati Dogiyai (2017-2022). Foto: Dok. Odiyaiwuu

Loading

NABIRE, ODIYAIWUU.com – Tokoh muda Papua, Yakobus Dumupa, mengecam keras pencoretan Merince Kogoya, finalis Miss Indonesia 2025 asal Papua Pegunungan. Merince diduga didepak dari ajang bergengsi tersebut karena menyampaikan pendapat, termasuk pendapat yang mendukung Israel.

Dalam keterangannya kepada Odiyaiwuu.com di Nabire, Provinsi Papua Tengah, Senin (30/6), Yakobus menyebut tindakan itu sebagai bentuk nyata diskriminasi dan rasisme terhadap Orang Asli Papua (OAP).

“Negara ini sekali lagi menunjukkan watak rasisme dan diskriminasi terhadap orang Papua,” kata Yakobus, mantan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) periode 2012–2016. “Ketika seorang perempuan Papua Kristen menyampaikan pendapatnya secara terbuka, dia langsung dibungkam dan dikeluarkan dari ajang nasional,” sambungnya.

Menurutnya, pencoretan Merince bukan sekadar soal pelanggaran aturan kompetisi, melainkan refleksi dari standar ganda dan ketidakadilan yang selama ini kerap dialami orang Papua dalam berbagai ruang publik di Indonesia. Ia menilai, penyampaian pendapat, apalagi yang tidak melanggar hukum, seharusnya dihormati dan dilindungi oleh negara, bukan justru menjadi alasan untuk mendiskriminasi.

“Ketika orang Papua berbicara dan menyampaikan pendapat yang berbeda dari arus utama, mereka langsung dibungkam. Ini sudah sering terjadi. Ini bukan hanya soal Merince, ini soal bagaimana negara memperlakukan suara dari pinggiran,” tegas Yakobus, yang juga pernah menjabat Bupati Dogiyai periode 2017–2022.

Yakobus mengingatkan bahwa menyatakan pendapat, termasuk pendapat mendukung Israel, bukanlah pelanggaran hukum. Kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga semua warga negara berhak menyuarakan keyakinannya secara terbuka.

“Tidak ada satu pun hukum yang melarang seseorang menyampaikan pendapat seperti itu. Indonesia ini negara demokrasi, bukan negara satu suara,” ujarnya tegas.

Saat ini, Yakobus tengah menempuh pendidikan doktoral (S3) dalam bidang Antropologi di Universitas Cenderawasih, Jayapura. Ia juga dikenal sebagai penulis muda Papua yang telah menerbitkan belasan buku bertema Papua, identitas, dan keadilan sosial. Dalam kapasitasnya sebagai intelektual muda, ia mendorong masyarakat Papua untuk tidak takut bersuara.

“Ini saatnya orang Papua bangkit. Jangan diam. Kalau kita punya pendapat, sampaikan. Itu hak kita sebagai warga negara. Jangan biarkan ruang publik hanya diisi oleh suara mayoritas. Orang Papua juga punya pikiran, punya keyakinan, dan punya hak yang sama,” pungkasnya.

Pernyataan Yakobus menuai berbagai tanggapan dari masyarakat, terutama di kalangan Orang Asli Papua. Banyak yang menyampaikan dukungan atas sikap tegasnya serta keprihatinan mendalam terhadap perlakuan tidak adil yang diterima Merince Kogoya. Tak sedikit pula yang memuji keberanian Yakobus dalam membuka ruang kritik dan menyuarakan ketidakadilan yang selama ini dirasakan oleh banyak OAP di berbagai sektor kehidupan.

Kasus ini pun memunculkan kembali pertanyaan besar: apakah ruang demokrasi di Indonesia benar-benar terbuka bagi semua warga negara, atau hanya bagi mereka yang sepaham dengan suara mayoritas? (*)

Tinggalkan Komentar Anda :