Saat berusia 25 tahun dan satu tahun sesudah ditahbiskan menjadi imam Ordo Santo Agustinus (OSA) atau dalam bahasa Latin, Ordo Sancti Augustini, Pastor Anton Tromp, OSA diberi tugas menjadi misionaris di tanah Papua, Indonesia. Semangatnya menjulang karena karya pastoral sudah dimulai Mgr Petrus van Diepen, OSA dan para konfrater.
KARYA Misi Gereja Katolik di tanah Papua khususnya di bidang pastoral, keagamaan, pendidikan, dan pengembangan serta pemberdayaan sosial-kemasyarakatan merupakan salah satu pintu masuk dalam keseluruhan karya Misi bagi umat dan warga setempat.
Para misionaris hadir di manapun di muka bumi mengemban Misi mulia: melayani umat dan warga melampaui sekat-sekat suku, agama, ras, dan golongan. Mereka bekerja sepenuh hati dan jiwa. “Tugas imam ialah menguduskan umat dan tugas umat ialah menguduskan imamnya,” ujar Pastor Anton Tromp, OSA.
Menurutnya, menjadi imam bukan merupakan suatu jabatan klerikal yang membuat seorang imam jatuh ke atas, jatuh dalam kesombongan. Seorang imam, ujarnya, harus hidup dalam semangat kerendahan hati dalam pelayanan.
Tempo doeloe, Gereja Katolik melalui para imam Misionaris dari berbagai Ordo mengirim imam Misionaris melayani umat dan masyarakat di hampir semua wilayah di tanah Papua. Hal yang tentu juga masih dilakukan Gereja Katolik hinggga saat ini. Aneka tantangan dan rintangan mereka atasi meski dengan kondisi yang serba tak mudah di setiap waktu dan tempat.
Pastor Anton Tromp, OSA (78) merupakan salah satu sosok misionaris legendaris yang mengarabi tanah Papua sejak usia 25 atau satu tahun sesudah ditahbiskan menjadi imam OSA di Netherland (Belanda). Apa arti OSA? Ordo Santo Agustinus adalah sebuah ordo dalam Gereja Katolik secara resmi didirikan pada abad ke-XIII dan mengkombinasikan beberapa Ordo Eremit Agustinian sebelumnya menjadi satu.
Dalam pendiriannya, OSA dibentuk sebagai salah satu ordo dari empat ordo besar yang mengikuti cara hidup Santo Agustinus. Ordo tersebut menyebarkan iman Gereja Katolik. Ordo ini antara lain menyebarkan penghormatan Bunda Maria dengan gelar Maria Bunda Penasihat yang Baik, Mater Boni Bonsilii.
Oleh OSA, Paster Anton Tromp, diberi tugas oleh Provinsialat Augustin (OSA) Belanda menjadi misionaris di tanah Papua, Indonesia. Semangatnya menjulang karena karya pastoral sudah dimulai Mgr Petrus van Diepen, OSA dan para konfrater.
Anak pedagang
Siapa sosok Pastor Anton Bartolomeus Maria Tromp, OSA? Ia lahir di Haarlem, Sparrenstraat, 20 Maret 1945 dengan nama komplit Anton Bartolomeus Maria Tromp. Terlahir dari pasangan suami-isteri (pasutri) Bartolomeus Geradus Tromp dan Dina Cornelia Koks.
Pastor Anton Tromp, OSA adalah anak pertama dari sembilan bersaudara. 6 di antaranya laki-laki dan 3 perempuan. Ayahnya, Geradus, adalah seorang pedagang yang punya toko. Sedang sang bunda, Dina, seorang ibu rumah tangga seperti kebanyakan ibu rumah tangga lainnya dengan rutinitas tugas memasak, mencuci atau mengurus suami dan anak-anak.
Anton Tromp mengenyam pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) di Santa Liduina Haarlem tahun 1950. Pada 1957 ia menyelesaikan pendidikan dasar di Santo Petrus Canisus, Timorstraat lalu SMP Pius X di Reviusstr. Pada tahun 1962 ia lulus SLTA di Mendelcollege (HBS-A), Haarlem. Sesudah menyelesaikan SLTA, ia mengikuti kursus bahasa Latin dan Yunani di Triniteitslyceum Haarlam tahun 1962-1963, Nuffic di TU Eindhoven tahun 1962-1963.
Setelah menyelesaikan kursus bahasa Latin dan Yunani di Haarlam, pada 31 Agustus 1963 Anton Tromp masuk Novisiat Augustin di Witmarsum. Pada 31 Agustus 1963, ia menerima kaul pertama. Kemudian pada 29 Oktober 1967, menerima Kaul Kekal untuk hidup total sebagai seorang biarawan Augustin (OSA) di Nijmegen. Tahbisan imam berlangsung pada 7 Desember 1969.
Setelah ditahbiskan sebagai imam, Pastor Anton Tromp mengikuti kursus Bahasa Indonesia di Roterdam dan Tropenkursus di Tropen Institut Amsterdam tahun 1969. Selama mengikuti kursus Bahasa Indonesia, ia rupanya sudah dipersiapkan menjadi misionaris di Asia Tenggara, tepanya di tanah Papua, Indonesia.
Misionaris termuda
Sejak berada di bangku Sekolah Dasar, Anton Tromp rajin membantu orang tuanya menjaga toko di Vakantiewerk. Kerap ia bolos sekolah pada sore bermain bola. Bola adalah hobinya sejak kecil. Ia menjadi keeper, penjaga gawang karena cocok dengan postur tubuh yang ideal.
Saat usianya menyentuh angka 25 tahun dan satu tahun sesudah tahbisan imamat ia diberi mandat oleh Provinsialat Augustin Belanda menjadi misionaris di tanah Papua.
Penugasan itu untuk membantu karya pelayanan pastoral yang telah dimulai oleh para saudara OSA yang sudah lebih dahulu berkarya di tanah Papua, di bawah pimpinan Mgr Petrus van Diepen, OSA dan rekan-rekannya. Tugas itu diterima sepenuh hati dalam ketaatan dan kerendahan hati serta kesederhanaannya dalam bermisi.
Menjadi misionaris dalam usia yang tergolong muda adalah sebuah tantangan. Hal itu beralasan mengingat ia harus memulai karya pelayanan pastoralnya dengan segala keterbatasan tanah Papua kala itu. Keterbatasan itu terutama dalam berkomunikasi dengan umat dan masyarakat yang ia layani.
Meski ia sudah mengikuti kursus Bahasa Indonesia di Belanda, namun dalam kenyataan menunaikan tugas serta karya pastoralnya cukup berbeda. Hampir semua umat dan masyarakat di pedalaman Papua menggunakan bahasa daerahnya. Toh, misionaris muda ini mudah mengatasinya melalui perjumpaan yang tulus dengan umat dan belajar terus-menerus.
Tugas pertamanya sebagai Pastor Pembantu Paroki Santo Yohanes Bintuni memberinya pengalaman dan pelajaran berarti. Kedekatan dengan umat dan masyarakat diakui adalah senjata ampuh yang memudahkannya dalam berinteraksi dan berkomunikasi.
Aneka pelayanan selama menjdi pastor pembantu mendapat sambutan umat yang ia jumpai di stasi dalam wilayah paroki maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Berjalan menyusuri hutan dan lembah dengan jarak bermil-mil, semangat pelayanan membara dalam hati. Tubuh misionaris yang masih kekar kala itu adalah garansi pelayanan pastoral demi Misi pewartaan nilai-nilai Kerajaan Allah.
Tiba di Batavia
Setelah belajar dan mengikuti berbagai kursus, Anton Tromp, OSA meninggalkan negeri Kincir Angin, tanah leluhurnya, menuju Batavia (Jakarta). Tepat 20 Januari 1970, kapal yang ditumpangi menyentuh bibir Pelabuhan Batavia. Anton Tromp muda melanjutkan perjalanan misi menuju Papua. Tiba di Manokwari, wilayah kepala burung ia ditugaskan menjadi Pastor Pembantu Santo Yohanes Bintuni, Keuskupan Manokwari-Sorong tahun 1970-1973.
Selang tiga tahun sebagai misionaris di Paroki Bintuni, ia lalu dikirim ke Filipina guna mendalami studi Pastoral Sosiologi selama dua tahun. Setelah merampungkan studi di negeri yang pernah dipimpin Presiden Ferdinan Marcos itu, tahun 1975, ia kembali ke tanah Papua.
Berbagai tugas dari pimpinan menjemputnya. Pastor Anton Tromp lalu didapuk mengemban tugas di Delegatus Sosial (Delsos) Keuskupan Manokwari Sorong sekaligus Ketua Yayasan Sosial Augustinus periode 1975-1987. Tak lama setelah tarik nafas, ia kemudian menjadi Pembina SMU YPPK Augustinus-Sorong tahun 1975-1995.
Setelah itu, ia menjadi Kepala Kantor Keuskupan Manokwari Sorong periode 1987-1995, Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Manokwari-Sorong tahun 1987-1995. Tak lama, ia dipercayakan lagi sebagai Administrator Dioses Manokwari-Sorong tahun 1988 dan Pejabat Sementara Pastor Paroki Kristus Raja Sorong tahun 1994-1995 serta berbagai tugas tambahan baik dalam lingkungan keuskupan maupun dalam Regio Ordo Santo Augustinus.
Menjadi WNI
Berbagai pengalaman berpastoral dan ketekunannya dalam mempelajari bahasa Indonesia meninggalkan banyak kesan yang berarti. Di samping ada lelucon dan canda tawa, juga ada berbabagai tantangan yang dihadapinya sebagai seorang imam muda.
Selama 25 tahun hidup dengan identitas sebagai warga negara asing (WNA) tentu menimbulkan banyak kendala dalam pelayanan pastoral. Kala itu, proses naturalisasi tidak bersifat pragmatis sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Meski demikian, berbagai prosedur formal ditempuh guna mendapatkan naturalisasi sebagai warga negara Indonesia (WNI). Tuhan membuka jalan itu. Pada 1995 ia resmi menjadi WNI.
Keinginan menjadi WNI merupakan niatnya. Ia sungguh mau mengabdikan seluruh karya dan hidupnya hingga ajal menjemput lalu jasadnya menyatu dengan Papua, tanah yang ia cintai. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang yang ia kuasai aktif maupun pasif. Ia adalah misionaris yang disebut-sebut lebih mahir atau telaten menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Berbeda dengan beberapa konfrater misionaris asing yang memilih kembali tanah tumpah darah di Belanda akibat gagal dalam proses naturalisasi dan ingin menghabiskan masa tuanya di negaranya, itu tak berlaku bagi seorang Anton Tromp. Pastor Anton Tromp merupakan salah seorang misionaris Augustin yang memilih tinggal di tanah Papua.
Pastor Anton Bartolomeus Maria Tromp, OSA menghembuskan nafas terakhir Senin (8/5) di Vogelkoop (Kepala Burung), Manokwari, kota Provinsi Papua Barat. Misa requiem (arwah) akan dipersembahkan pada Senin (8/5) pukul 18.00 WIT, kemudian Selasa (9/5) pukul 18.00 WIT, dan Rabu (10/5) pukul 09.00 WIT sebelum dimakamkan di Kompleks Biara Maripi SMP Katolik Millanova.
“Pastor Anton Tromp, OSA adalah pahlawan pendidikan bagi kemajuan sumber daya manusia di Vogelkoop. Ia telah pergi untuk selamanya. Damailah di surga abadi. Saya sungguh merasa kehilangan. Almarhum sosok imam misionaris yang sangat berjasa bagi umat dan masyarakat tanah Papua, baik urusan pastoral maupun pendidikan,” ujar Frederika Korain, aktivis perempuan Papua hasil didikan Almarhum, Senin (8/5). (Ansel Deri, Stevanus Alo, OSA/smaskatolikvillanovamanokwari.sch.id)