SALATIGA, ODIYAIWUU.com – Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat meraih gelar doktor setelah mempertahankan disertasi dalam Ujian Terbuka Doktor Studi Pembangunan pada Program Studi Pembangunan Fakultas Interdisiplin Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang diadakan secara luring terbatas di Balairung UKSW, Jumat (22/10).
Keterangan pers Biro Administrasi Pimpinan Sekretariat Daerah NTT yang diperoleh Odiyaiwuu.com, Jumat (22/10) menyebutkan, Gubernur Laiskodat mempertahankan disertasi berjudul Transformasi Pariwisata Nusa Tenggara Timur (Inclusive, Local Resources-Based, and Sustainable) di hadapan tim penguji Prof Dr Gatot Sasongko, SE, MS, Titi Susilowati Prabawa, S.Pd, MA, Ph.D, dan Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang Prof Ir Fredrik L. Benu, M.Si, Ph.D. Promotor dalam ujian ini adalah Prof Daniel Kameo, SE, MA, Ph.D dengan Ko-Promotor Prof Dr Intiyas Utami, SE, MAk, dan Dr Wilson Therik, SE, M.Si.
Laiskodat, mantan Ketua Fraksi NasDem DPR RI, menyebutkan, paradoksal NTT sebagai daerah yang kaya sumber daya, tetapi masuk dalam jajaran daerah miskin dan tertinggal memicu dilakukannya penelitian tersebut. Salah satu sumber kekayaan sumber daya ekonomi yang potensial di NTT adalah sektor pariwisata dan menjadi core, fokus penelitiannya.
Fokus penelitian disertasi dilakukan Laiskodat menyasar 45 obyek wisata yang tersebar di sepuluh pulau mulai Flores sampai yang mencakup sebelas wilayah kabupaten dan kota. Dalam disertasi itu ia juga mencermati dinamika perkembangan industri pariwisata dengan pendekatan lima pilar utama atau yang dikenal dengan 5A yaitu attraction, accesbility, accommodation, amenities, dan awareness dieksplor lebih mendalam.
“Keunggulan pariwisata NTT adalah pada pilar attraction sedangkan empat pilar lainnya masih memiliki tantangan. Dengan mencermati bahwa sektor ekonomi bisa dikaitkan dengan sektor pariwisata, dalam penelitian ini dilakukan kajian rantai pariwisata di NTT dimana ditemukan bahwa rantai nilai pariwisata disini belum terangkai. Industri pariwisata masih belum mengoptimalkan kekuatan sumber daya lokal,” ujar Laiskodat di hadapan tim penguji.
Hal ini nampak dengan masih adanya pasokan sumber daya yang berasal dari luar NTT sehingga berimbas sumber daya ekonomi juga harus direlakan keluar NTT. Dampaknya pada masyarakat yang tidak bisa menikmati sumber daya ekonomi yang seharusnya berputar di NTT.
“Pembangunan sektor wisata di NTT perlu bertransformasi, dari yang semula berjalan secara sektoral menjadi komprehensif. Saya merekomendasikan pendekatan pembangunan inklusif yang berbasis pada kekuatan sumber daya lokal dan berkelanjutan. Model pembangunan pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism adalah harmonisasi komprehensif antara komponen lingkungan hidup, ekonomi, budaya, dan sosial yang ditautkan dengan faktor kelembagaan dan dipayungi kebijakan publik,” kata Laiskodat, pria kelahiran Oenesu, Kupang.
Dengan demikian, ujarnya, NTT bukan lagi suatu daerah dengan kondisi alam kering, miskin, tertinggal, dan tidak mampu berkompetisi dengan wilayah lainnya. NTT telah bangkit dengan menyadari adanya keindahan dan potensi alam sebagai kekayaan yang dimiliki dan bertransformasi menuju masyarakat NTT sejahtera.
Menurutnya, penelitian yang ia lakukan tidak sekadar meraih gelar doktor. Penelitian juga diarahkan untuk membuat sebuah grand design dan peta jalan, roadmap bagi pariwisata NTT sebagai “lokomotif” pembangunan di bumi Flobamorata dengan keterlibatan semua komponen masyarakat.
“Hasil riset saya juga bertujuan agar setiap komponen masyarakat terlibat dalam pembangunan pariwisata. Bila semua itu tidak kita implementasikan, hasil riset ini sama saja tidak berguna. Karena itu setiap regulasi yang kita buat dan hasilkan harus bersifat kolaboratif dengan setiap komponen pemangku kepentingan, stakeholders, terutama semua elemen. Semua itu pasti banyak tantangan. Tapi dengan bekerja kolaboratif, grand design pariwisata yang kita hasilkan akan membawa dampak signifikan bagi pembangunan ekonomi masyarakat NTT,” jelasnya.
Dekan Fakultas Interdisiplin UKSW sekaligus penguji disertasi, Titi Susilowati Prabawa mengatakan, Laiskodat adalah lulusan ke-67. Hasil penelitian ini sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pembangunan pariwisata di NTT.
“Gelar doktor yang resmi disandang, beliau dapat memanfaatkan hasil penelitiannya sebagai landasan penentuan kebijakan pariwisata untuk wilayah NTT dan diharapkan dapat terus mengasah daya kritisnya sebagai intelektual interdisiplin sesuai dengan prinsip yang diajarkan oleh almamaternya dalam mengemban tugas-tugas selanjutnya sebagai Gubernur demi kemajuan pembangunan NTT,” kata Titi.
Sekilas Laiskodat
Siapa sosok Viktor Bungtilu Laiskodat, bisa saja tak banyak orang yang tahu. Pengalaman masa kecil dimulai dari kampungnya, Tubululin, Kecamatan Semau Barat, Pulau Semau, sebuah pulau mungil di bibir Kupang, kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dari kampung kecil di Semau, sekitar tahun 1970-an, Laiskodat hidup sebagai anak petani kecil sederhana pasangan Lazarus Laiskodat (Alm) dan Orpa Kase. Di kebun miliknya, sekitar Tubululin, pasutri Lazarus dan Orpa banting tulang guna menghidupi keenam anak mereka, termasuk Laiskodat kecil sekaligus menyiapkan masa depan pendidikan mereka. Sempat tinggal di Oenesu, tak jauh dari Kupang di Pulau Timor, Lazarus boyong isteri dan anak balik ke Tubululin.
“Setelah kami semua lahir di Oenesu, bapa dan mama memutuskan kami semua pulang kampung di Tubululin, Desa Otan, Semau. Bapa dan mama mau menjaga dan mengolah tanah dan kebun warisannya. Bapa dan mama mau kami sekolah semua agar kelak bisa berguna bagi kampung dan daerah,” kenang Penina, kakak perempuan Laiskodat.
Di Tubululin, Lazarus dan Orpa berkebun dan menghidupi keluarga. Keenam anak mereka, Welem Hendrik Laiskodat, Penina Laiskodat, Yohanis Laiskodat, Ariance Laiskodat, Viktor Laiskodat, dan (alm) Paulus Laiskodat. Sembari bekerja di kebun, Laiskodat dan saudara serta saudarinya membantu orangtua berkebun sambil sekolah di SD Negeri Otan, Semau.
“Ade Veki (Viktor Laiskodat) juga ikut pungut rumput untuk taro di pematang. Kalau bapa dan mama abis tofa rumput, kami rame-rame angkat dan taro di pematang. Setiap pulang kebun atau sekolah, kami bantu bapa dan mama ambil air dari Uitao, jauh dari pondok di Tubululin,” kata Penina saat ngobrol di Oepura, Kupang, di sela-sela mendampingi Viktor Laiskodat dan Josef Adreanus Nae Soi pada kampanye Pilgub 2018.
Menurut Penina, di pondok kecil yang mereka tempati di Tubululin, tak ada tempat tidur. Mereka semua tidur di tanah beralaskan tikar. Sang bunda, Orpa, memiliki ketrampilan menganyam tikar dari daun lontar yang dipotong suaminya.
“Jagung, kacang tanah, sayur-mayur dari kebun ditaro semua di dalam pondok. Kalau malam, binatang piaraan kami seperti anjing dan ayam juga kami kasi masuk di pondok. Pagi-pagi sebelum kami pigi sekolah, kami juga bantu bapa dan mama kasih makan piaraan kami. Pekerjaan seperti ini bikin kami sangat senang sebagai anak kampung,” kata Penina.
“Bapa dan mama potong buliran padi kemudian bawa ke pondok. Kami semua, termasuk ade Veki punya tugas injak untuk mendapatkan buliran padi. Setelah kami pisahkan, padi ini kami isi di wadah khusus dari daun lontar kemudian taro di atas tempat khusus agar kena asap api,” kata Penina.
Menyatukan doa dan kerja
Kesadaran hidup sebagai umat beriman mewarnai pergumulan hidup keluarga Lazarus dan Orpa bersama anak-anak mereka. Doa menjadi satu tarikan nafas dalam hidup. Kata Penina, kedua orangtua selalu mengingatkan agar doa menjadi keutamaan. Ramah kepada siapa saja, bergaul tanpa memilah orang.
“Urusan pendidikan, bapa dan mama ingin kami semua sekolah agar ikut memajukan kampung dan daerah di mana saja kami berada. Mereka ingatkan kami mesti sekolah biar besok-besok jadi orang. Kami semua diajarkan selalu bersyukur kepada Tuhan dalam segala situasi dan pekerjaan, giat bekerja serta bergaul dengan orang tanpa melihat sekat apapun,” lanjut Penina.
Menyadari diri orangtua tani, semangat juang anak-anak petani Lazarus dan Orpa untuk sekolah guna meraih cita-cita tak pernah padam. Usai tamat di SD Negeri Otan, Yakomina dan kakak sulungnya, Hendrik Laiskodat naik sampan menuju Kupang dan masuk SMP Negeri 1 Kupang.
Begitu juga sang adik, Veki Laiskodat. Setamat SD Negeri Otan tahun 1977, ia segera menyusul dua kakaknya melanjutkan pendidikannya di Kupang. Mereka tinggal di gang buntu, Oeba, di rumah Dr Hendrik Ataupah. Ny Ataupah, istri antropolog kelahiran Oekabiti, Timor, itu masih kerabat dekat ibu Orpa Kase.
“Kami tinggal di rumah Pak Ataupah di gang buntu. Istri Pak Ataupah masih kerabat dengan mama kami. Selama kami tinggal di gang buntu, ade Veki jalan kaki sekolah di SMP Negeri 1 sampai tamat. Kami sangat senang karena dari sini kami belajar disiplin dan kerja keras seperti pesan bapa dan mama di Tubululin,” kenang Penina.
Cornalia Wila Here, sahabat Laiskodat saat masih di SMP di Kupang, menceritakan bahwa Laiskodat tak pernah mengenakan sepatu. Seragam sekolah Laiskodat disisip di belakang kaos. Sedangkan bukunya dimasukkan di saku belakang celana seragamnya.
“Satu waktu Veki masuk sekolah. Dia hanya pake kaos yang kusut-kusut. Baju seragam disimpan dalam kaos dan ditaro di punggung.`Ada guru yang marah dengan penampilan Veki. Dia bilang, ‘Lu pu baju kaos itu jelek sekali. Beta punya serbet di rumah mangkali lebih bagus dari lu pu kaos itu’. Tapi, Veki cuek saja mendengar kata-kata itu. Peristiwa ini buat beta sonde lupa. Tapi, kita kan sonde tau nasib orang. Hanya Tuhan saja yang tahu,” kata Kuji sambil menangis. Hari ini, Laiskodat, pemilik baju mirip serbet itu meraih gelar akademik membanggakan. Ilmu pariwisata itu tentu menjadi modal memajukan rakyat dan tanah Flobamora. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)