Oleh Ben Senang Galus
Penulis buku Pemikiran Ekonomi Klasik;
tinggal di Yogyakarta
SEBUAH negara disebut maju, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun teknologi sudah tentu didukung oleh individu atau sumber daya manusia yang unggul, berbakat, dan memili keterampilan di atas rata-rata. Para individu tersebut biasanya menjadi incaran dari korporasi besar untuk meningkatkan sumber daya yang dimiliki sehingga produktivitas serta kualitas perusahaan dapat meningkat serta mempermudah proses ekspansi atau pengembangan instansi terkait.
Usaha yang dilakukan oleh para pemilik usaha atau tim rekrutmen perusahaan itulah yang disebut dengan talent war. Mereka tidak ragu untuk menawarkan banyak hal kepada kandidat agar bersedia bergabung dengan perusahaan yang dimiliki baik dari segi gaji pokok yang tinggi, fasilitas pendukung lengkap, hingga tunjangan maupun benefit lainnya.
Mengapa perang bakat menjadi kompetisi penting bagi sebuah perusahaan hingga instansi pemerintahan maupun swasta berlomba-lomba untuk memenangkan kontestasi tersebut? Ada beberapa alasan yang mendasari sebuah lembaga (pemerintah maupun perusahaan) tidak ragu berusaha keras dalam memenangkan talent war, yaitu, pertama, bagi lembaga dalam skala apa pun, sumber daya manusia (SDM) memiliki peranan penting. Semakin banyak orang-orang berbakat yang bergabung di bawah payung lembaga, kian tinggi pula perubahan ke arah positif. Sesuai dengan standar prinsip operasional lembaga bahwa 70 persen arah lembaga ditentukan oleh SDM dan 30 persen bergantung pada kesehatan sumber permodalan lembaga.
Sebab itulah, tidak berlebihan bila menyebutkan SDM adalah aset tidak ternilai harganya bagi kelangsungan sebuah lembaga. Sumber dana atau aset tidak bergerak dari lembaga hanya dapat terkelola dengan baik oleh para sumber daya manusia tersebut. Kurang atau bahkan tidak memiliki orang-orang berbakat dalam lembaga sama artinya dengan menunggu kebangkrutan.
Kedua, Jaminan lain yang didapatkan dari memenangkan talent war adalah peningkatan kinerja pegawai karena orang-orang berbakat tersebut cenderung lebih aktif atau bahkan gila kerja. Situasi tersebut kemudian akan berujung pada peningkatan produktivitas lembaga secara keseluruhan dengan kualitas yang turut membaik. Sebab, mereka tidak asal bekerja dan selalu memperhitungkan setiap sisi dengan teliti untuk meminimalisir kesalahan (urbanhire.com).
Terkait dengan talent war ini sebenarnya sudah lama didengungkan oleh para filsuf. Tahun 1776, pendeta Adam Smith asal Skotlandia, merilis buku Wealth of Nations. Isinya, kajian tentang asal-usul harta dan kekayaan bangsa-bangsa: “It is the great multiplication of the productions of all the different arts, in consequence of the division of labor, which occasions, in a well-governed society, that universal opulence which extends itself to the lowest ranks of the people.” Kekayaan bangsa-bangsa lahir dari keahlian-keahlian produktif; pembagian kerja-produksi berbasis spesialisasi bakat atau talenta dan pengalaman rakyat.
Adam Smith bukanlah orang pertama yang melihat asal-usul harta dan kekayaan bangsa-bangsa dari keahlian produktif rakyat dan spesialisasi bakat atau talenta setiap orang. Misalnya, ahli atom Democritus (460-370 SM) asal Yunani juga sudah menyuarakan bakat atau talenta yang melahirkan spesiasi (evolusi munculnya spesies baru) dan pembagian kerja-produktif adalah modal bagi setiap orang, masyarakat, dan Negara. Bahkan Xenophon (431-354 SM) asal Yunani menguraikan kekuatan negara-negara kota (polis) era pra-Masehi di Yunani berbasis kalkulasi pembagian lapangan-kerja, pemetaan bakat-talenta, dan keahlian-keahlian produktif rakyat.
Berikutnya, filsuf Plato, menulis dalam bukunya The Republic (360 SM) tentang kebangkitan dan perkembangan suatu kota berbasis pembagian kerja-produktif dan perdagangan (Plato 1997: 1008-1013). Ini pula yang disuarakan oleh Adam Smith abad 18 di Eropa (Rosenberg, 1976). Bahkan di zona Asia, Mencius (390-305 SM) asal Tiongkok, mengobservasi fenomena spesialisasi kerja (produksi). Hasilnya, Mencius menyarankan pembagian kerja berbasis bakat atau spesialisasi masyarakat: ‘mental labor’ dan ‘manual labor’. (Hu, 1988:65-66; 167-168).
Pendidikan talenta
Kini awal abad 21, Pemerintah Rusia mengembangkan model pendidikan bakat atau talenta secara digital. Proyek ini dilabel Project 5-100. Tidak ada kampus, tidak ada skedul kuliah, dan tidak ada ijazah kelulusan. Kecuali program road-map digital edukasi bakat atau talenta para mahasiswa-mahasiswi.
Partisipan program itu antara lain ITMO University, sejak tahun 2012 menerapkan Artificial Intelligence (AI) guna memetakan profil dan jalur pendidikan bakat atau talenta para siswa-siswi. Pada akhir pendidikan, peserta mendapat profile digital. Isinya, bakat, talenta, keahlian dan informasi perihal kemampuan peserta menyelesaikan berbagai masalah di Rusia dan dunia. Peserta program ini tahun 2014 mencapai 100 orang (ITMO University, 29/12/2017). Di Negara RI, belum ada sekolah bakat yang menerapkan program berbasis digital dan industri 4.0 seperti Project 5-100 tersebut di atas.
Investasi pada SDM talent war melalui pendidikan sangat penting bahkan vital bagi suatu negara di era ekonomi dunia berbasis keahlian, pengetahuan dan teknologi dewasa ini. “The main cause of prosperity“, tulis Adam Smith (1776) “was increasing division of labor.” Smith pertama kali mencermati pengaruh keahlian SDM dan level upah. Begitu pula filsuf Inggris, John Locke (1632-1704) dan John Stuart Mill (1806-1873), bahkan ahli ekonom asal Jerman, Karl Marx (1818-1883) meyakini manfaat pelatihan dan pendidikan terhadap produksi dan level upah.
Tata ekonomi dunia dewasa ini membentuk lingkungan global sangat dinamis, cepat berubah dan lebih rumit. Organisasi, perusahaan, dan negara harus belajar bersaing dan mencapai level pembangunan berkelanjutan. Angkatan kerja dunia terus bertambah, semakin terdidik, mobile, dan berbasis talenta (Briscoe, Schuler & Claus, 2009; Friedman, 2005). Dinamika lingkungan global tidak hanya mengubah tata bisnis dunia, tetapi juga mendorong organisasi, perusahaan, dan negara mempersiapkan SDM-nya guna merespons dinamika lingkungan global. Dari sini lahir gagasan dan strategi Talent Education (TE) atau Talent Management (TM).
Fokus pendidikan talenta SDM berdaya-saing global ialah memaksimalkan edukasi talenta karyawan perusahan dan SDM negara. Edukasi dan manajemen bakat yang berdaya-saing global semakin penting tidak hanya bagi suatu perusahan dan negara, sehingga menjadi bidang riset penting akhir-akhir ini.
Roberts et al (1998) memetakan tantangan edukasi dan manajemen bakat SDM global, antara lain, mencari penyedia bakat dan pengguna bakat-bakat khusus SDM skala dunia. Misalnya, SDM asal Afrika umumnya memiliki bakat olahraga. SDM asal Filipina memiliki bakat bidang medis. Di sisi lain, perusahan manca-negara, menurut Scullion dan Collings (2006), masih sulit menarik, memperoleh, dan mengembangkan bakat manajerial SDM skala global. Tidak mudah melatih dan mengembangkan bakat seseorang yang melekat pada pribadinya. Apalagi mengkonversi bakat menjadi kapital bernilai komersial dan sosial.
Sport Nomic
Papua (baca: Pulau Papua) dapat belajar dari pendidikan bakat di sektor sport-nomic dari negara-negara yang menghasilkan atlet-atlet besar tingkat dunia. Sebab secara geografis putra-putri Papua sudah dibentuk bakat alamnya. Fisiknya sudah terbentuk oleh alam. Tinggal bagaimana membina dan mengarahkan mentalnya. Untuk menuju Papua sportnomic, memang harus direncanankan sejak dini, sejak anak itu duduk di bangku sekolah dasar.
Strategi ini salah satu cara untuk mengatasi persoalan kemiskinan di Papua. Tentunya didukung dengan sarana dan prasarana yang baik. Atlet-atlet besar dunia semuanya dibentuk oleh alam. Jangan dipaksakan bekerja tidak sesuai dengan bidangnya. Atlet-atlet dengan bayaran tinggi berasal dari keluarga-keluarga yang mengembangkan bakat-bakat di berbagai negara, semuanya dibesarkan oleh alam. Misalnya, Floyd Joy Mayweather, Jr. lahir 24 Februari 1977 dari keluarga petinju di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat.
Emmanuel “Manny” Dapidran Pacquiao lahir 17 Desember 1978 dari pasangan Rosalio Pacquiao dan Dionesia Dapidran-Pacquiao di Kibawe, Bukidnon, Filipina. Cristiano Ronaldo dos Santos Aveiro lahir 5 Februari 1985 di Santo Antonio, Portugal, dari pasangan Maria Dolores dos Santos Aveiro dan José Dinis Aveiro, tukang kebun. Pesepak bola Lionel Andrés “Leo” Messi lahir 24 Juni 1987 di Rosario, Santa Fe, Argentina, dari pasangan Jorge Messi (manajer pabrik baja) dan isterinya, Celia Cuccittini, karyawati workshop pabrik magnet.
Petenis Roger Federer lahir 8 Agustus 1981 di Basel, Swiss, dari pasangan Robert Federe dan isterinya Lynette Federer. Petenis Novak Djokovic lahir 22 Mei 1987 di Beograd, Yugoslavia, dari pasangan Srdan dan isterinya Dijana. Petenis Rafael “Rafa” Nadal Parera lahir 3 Juni 1986 di Manacor, Balearic Island, Spanyol dari pasangan Sebastián Nadal (pengusaha asuransi, kaca, jendela dan restoran) dan Ana María Parera, ibu rumah tangga. Pemain kriket Mahendra Singh Dhoni lahir 7 Juli 1981 di Ranchi, Bihar, India.
Petenis Maria Yuryevna Sharapova lahir 19 April 1987 di Nyagan, Rusia, dari pasangan Yuri dan isterinya Yelena. Pemain sepak bola Neymar da Silva Santos Júnior lahir 5 Februari 1992 di Mogis das Cruzes, Sao Paulo, Brazil, dari pasangan Neymar Santos, Sr. (mantan pemain sepak bola) dan isterinya, Nadine da Silva.
Contoh-contoh edukasi bakat di sektor sport-nomic global tersebut di atas menunjukkan adanya peluang bagi SDM atlet-atlet berbagai negara di era globalisasi. Maka tiba saatnya, Papua mengembangkan sekolah-sekolah bakat bidang olahraga, yang berbasis bakat dan keahlian sejak usia dini. Dewasa ini, persaingan perusahan-perusahan sangat ketat merebut karyawan atau SDM berbakat khusus. Literatur manajemen SDM juga banyak mengembangkan konsep dan istilah talent development (Holland et al, 2007). Perusahan sangat membutuhkan SDM berbakat khusus guna memenangkan persaingan bisnis dan juga merespons dinamika lingkungan bisnis yang cepat berubah dewasa ini.
Konsep dan istilah “talent development” atau “talent management” belum populer tahun 1990-an. McKinsey & Company (1997) pertama kali merilis isu ini dalam laporannya berjudul The War for Talent Tahun 1997. Bahwa talenta merupakan tantangan strategi bisnis dan pemacu utama kinerja dan daya saing perusahan dan negara di era globalisasi.
Kini perusahaan berdaya-saing global maupun negara-negara maju memiliki program khusus menjaring SDM berbakat dalam bidang ekonomi olahraga. Karena peran, daya-saing dan kinerja perusahan dan negara sangat ditentukan oleh SDM berbakat dalam bidang olahrga (Farndale et al, 2009). Maka tiba saatnya, Pemerintah di seluruh Papua mengembangkan program-program identifikasi dan edukasi bakat SDM dalam bidang olahraga sejak usia dini. Bukan mustahil Papua bisa menghasilkan sport-nomic bertaraf internasional.
Misalnya saja putra-putri dari setiap kabupaten di Papua bisa dikembangkan ke arah sport-nomic. Karena memang sesuai kondisi daerahnya, bertopografi gunung, dan lembah ngarai. Papua bisa melahirkan atlet-atlet tingkat dunia, karena secara fisik tubuhnya sudah dibentuk oleh alam yang keras. Hanya tinggal manajemen sport-nomic– nya saja yang harus ditata dengan baik dan profesional. Dan semuanya itu jauhkan dari model seleksi berbasis nepotisme dan sogok menyogok. Semoga!