Oleh Dr Joseph Laba Sinuor, M. Hum
Dosen Filsafat Liberal Arts Universitas Pelita Harapan, Jakarta
BAGI sebagian besar masyarakat Papua, perdamaian merupakan hal yang paling didambakan saat ini. Betapa tidak? Sejak Januari hingga Maret 2022 saja sudah terjadi sekian kasus yang membuat masyarakat resah bahkan takut hidup di tanah sendiri. Penyerangan yang dilakukan oleh pihak yang dilabeli kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Aifat Timur (20/1), penyergapan kelompok separatis di Distrik Gome (27/1), penyerangan OTK di Distrik Awimbon (12/2), dan serangan KKB yang menewaskan delapan pegawai sipil PTT di Beoga (2/3) merupakan sejumlah contoh di antaranya.
Belum lagi bentrokan di antara warga sebagaimana terjadi di Distrik Wouma (9/1) dan bentrokan maut yang terjadi di Kota Sorong (25/1). Semuanya merupakan indikasi betapa masyarakat Papua terutama di bagian barat sungguh hidup dalam keresahan. Kapan tanah Papua menjadi tempat yang nyaman huni? Apakah masyarakat Papua tidak punya hak untuk hidup damai di tanahnya sendiri?
Hidup damai sebagai hak
Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (HAM) menegaskan, setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang patut dijabarkan. Pertama, setiap orang berhak atas kehidupan. Hal ini berarti, baik hidup maupun kehidupan merupakan hak yang melekat dalam diri manusia semenjak lahir. Hak dasar ini mengisyaratkan bahwa tak ada seorang pun di dunia ini diperkenankan secara kodratiah maupun secara hukum untuk menghilangkan nyawa orang lain.
Implikasinya, semua orang di Papua, baik sebagai masyarakat maupun sebagai individu berhak untuk hidup secara damai. Hal ini dengan sendirinya melarang setiap tindakan pencabutan nyawa di tanah Papua. Kedua, hak kebebasan. Hak ini tidak bisa dimaknai terpisah dengan tanggung jawab. Hak ini semestinya dibaca secara lengkap sebagai kebebasan yang bertanggung jawab, bukan bebas semau gue dalam istilah Betawi. Ketiga, hak atas keselamatan. Tentu saja hak ini terkait hak untuk hidup. Keselamatan dalam kehidupan manusia, khususnya masyarakat Papua merupakan hak yang tidak dapat diganggu-gugat. Implikasinya?
Beri kami damai hari ini
Mengatakan bahwa kehidupan, kebebasan dan keselamatan merupakan hak asasi bagi semua orang adalah identik dengan menegaskan bahwa anggota ABRI dan polisi yang ditugaskan di tanah Papua serta masyarakat Papua sendiri wajib menghormati ketiga hak tersebut. Semua pihak semestinya menumbuhkan rasa solidaritas di antara sesama manusia dengan mengedepankan sikap berbela rasa di antara mereka.
Hal utama yang semestinya disadari semua pihak ialah bahwa hidup, kebebasan yang bertanggungjawab, dan keselamatan merupakan anugerah Tuhan, sang Pencipta yang dilekatkan dalam diri manusia pada saat Ia memberikan mandat budaya kepada manusia. Konsekuensinya, hanya Sang Pemberi hidup yang berhak mengambil kembali hidup itu. Itu telah diatur-Nya dalam hukum kodrat yang tertulis di sanubari setiap insan, entah para penjaga keamanan atau masyarakat Papua, bahkan KKB sekalipun.
Negara, dalam hal ini pemerintah pusat semestinya menjamin hal-hal itu karena memang itulah salah satu tugasnya. Dengan melaksanakan tugas dalam aspek ini negara akan berhasil menghentikan pertumpahan darah di tanah Papua. Air mata kaum ibu dan anak-anak baik dari masyarakat Papua maupun dari keluarga para pekerja di perusahaan-perusahaan serta dari angkatan dan kepolisian bahkan dari keluarga KKB dengan sendirinya akan berhenti menetes dan jumlah anak yatim di tanah Papua bahkan Indonesia tidak bertambah kalau pemerintah pusat mengambil langkah yang tepat dan pasti untuk membela dan melindungi hidup.
Dalam alur pemikiran itu, doa-doa harian yang berisikan permohonan ketidak-berdayaan “beri kami damai pada hari ini” akan berubah menjadi ‘syukur atas damai-Mu pada hari ini’. Dari manakah hal itu dimulai? Pendekatan-pendekatan yang ditujukan untuk menciptakan perdamaian di tanah Papua selama ini belum menghentikan pertumpahan darah secara efektif di tanah Papua. Sebuah langkah maju telah ditempuh petinggi Polri dan ABRI untuk mengganti pendekatan baru dengan nama Operasi Nemangkawi yang sarat operasi perburuan dengan pendekatan baru yang lebih manusiawi yaitu Operasi Damai Cartenz.
Secara hakiki Operasi Damai Cartenz memang merupakan yang sedikit melunak (soft approach) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tindakan-tindakan yang lebih persuasif dan preventif tentu akan diutamakan ketimbang memburu musuh. Optimalisasi fungsi bimas, humas serta inteligen tentu akan menjadi kendaraan utama. Sayangnya, semua pendekatan, apapun bentuknya masih berjarak dengan pihak kelompok kriminal bersenjata. kelompok kriminal bersenjata seolah virus yang harus dimatikan. Persoalan klasik belum tersentuh tuntas. Operasi Damai Cartenz masih berupa janji masa depan.
Sanata in radice
Penyebab keresahan hidup masyarakat di tanah Papua bukan hanya satu. Bencana alam, tawuran antar warga, perang antar suku, dan kontak senjata antara aparat keamanan dengan kelompok kriminal bersenjata. Semuanya merupakan petaka hidup bagi masyarakat Papua. Pendekatan dan penyelesaian persoalan yang bersifat holistis-transformatif menjadi niscaya. Hanya dengan cara seperti itulah penyelesaian yang mengakar atau sanata in radice bisa terjadi demi terciptanya kedamaian di tanah Papua.
Alam merupakan satu-satunya lingkungan hidup bagi masyarakat Papua. Alam memiliki hukumnya sendiri yang jika diabaikan akan memaksa manusia untuk tunduk. Itulah yang disebut meknisme pertahanan alami. Bencana alam merupakan wujudnya. Alam semestinya diesplorasi dan dirawat, bukan dieksploitasi sehabis-habisnya. Sikap stewardship terhadap alam semestinya dikedepankan. Prinsip moral, ‘membangun tetapi tidak menghancurkan, menggali tetapi tidak merusak dan menebang tetapi tidak mematikan’ sudah saatnya dijadikan acuan utama dalam pembangunan di tanah Papua.
Perihal tawuran di antara kelompok-kelompok masyarakat, para aparat keamanan lebih fasih dalam hal itu. Lain halnya perang antar suku. Penyelesaiannya yang lebih mengedepankan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi masyarakat suku lebih berdaya guna. Implikasinya? Pemerintah Daerah mulai dari Gubernur Provinsi Papua, Bupati dan Walikota, Kepala Distrik (Camat) hingga Kepala Kampung (Kakam) atau Kepala Desa, juga para kepala suku (ondoafi), tokoh agama, masyarakat, pemuda, perempuan, mahasiswa serta para pemangku kepentingan lainnya, stakeholders termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Majelis Rakyat Papua maupun DPRD Kabupaten/Kota semestinya berperan aktif. Tidak perlu berpidato tentang kesenasiban dalam rasa tetapi perlu menunjukkan itu dalam sikap berbelarasa berlandaskan ketulusan. Sensitivitas masyarakat Papua dalam hal ini ada bahkan sangat tinggi.
Pemberontakan kelompok bersenjata adalah persoalan yang sangat serius saat ini. Pendekatan dan penyelesaian selama ini belum mengakar bahkan menyenytuh akar persoalan fundamental. Menyebut kelompok bersenjata sebagai KKB atau teroris merupakan indikasinya. Sebutan kriminal atau teroris itu disematkan kepada pemberontak, bagaimana dari pihak para pemberontak? Saya ragu kalau mereka tidak menyebut aparat kepolisian dan ABRI dengan sebutan yang sama. Mengapa? Menyelesaikan konflik bersenjata bukan dengan mengangkat senjata.
Mendeklarasikan diri sebagai penjaga keamanan adalah ironi jika keamanan belum tercipta. Mempertahankan nyawa dengan menghilangkan nyawa bukan solusi in radice tetapi pelanggaran HAM! Permasalahannya persis menyentuh motif dasar separatisme. Itulah yang semestinya diselesaikan! Penyelesaian secara bijak atas motif dasar munculnya separatisme dengan sendirinya akan menjawab harapan masyarakat Papua, “Kami mau hidup damai di tanah sendiri, di dalam honai yang penuh kesederhanaan sambil menikmati ubi kayu atau petatas rebus dikawal daging hasil buruan yang disediakan alam Papua, potongan surga yang luruh di bumi Cenderawasih”. Lalu?