KETIKA dunia semakin lantang menyerukan perlindungan hak asasi manusia (HAM), Tanah Papua justru terus menjadi saksi dari rentetan kekerasan yang seolah tak berujung. Sejak aneksasi pada tahun 1960-an, Papua telah menjadi medan konflik yang berdarah, di mana pelanggaran HAM terjadi berulang kali, tanpa resolusi yang jelas. Hingga hari ini, tragedi kemanusiaan masih mewarnai wilayah ini, dengan korban berjatuhan dari berbagai pihak akibat sengketa politik yang tak kunjung usai.
Konflik Papua berakar pada sejarah panjang ketidakadilan politik. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, yang dijadikan dasar Papua bergabung dengan Indonesia, masih dipersoalkan keabsahannya. Sejak saat itu, tuntutan kemerdekaan terus bergema di kalangan rakyat Papua, berhadapan dengan kebijakan negara yang menganggap Papua sebagai bagian integral Indonesia. Perseteruan ini telah melahirkan siklus kekerasan yang terus berulang: operasi militer, penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar proses hukum, serta pengungsian massal warga sipil akibat konflik bersenjata.
Organisasi hak asasi manusia, baik dalam maupun luar negeri, telah berulang kali melaporkan pelanggaran HAM di Papua. Kasus pembunuhan tokoh-tokoh aktivis, penghilangan paksa, penyiksaan, dan pembatasan kebebasan berekspresi menjadi catatan kelam yang belum terhapus. Di sisi lain, aparat keamanan Indonesia juga mengalami serangan dari kelompok bersenjata Papua, yang mengklaim sebagai pejuang kemerdekaan. Konflik ini terus menelan korban jiwa, baik dari kalangan warga sipil, aparat keamanan, maupun kelompok bersenjata.
Ironisnya, di era yang disebut sebagai “zaman HAM,” di mana norma-norma internasional menekankan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia, Papua masih menjadi ladang kekerasan. Alih-alih dialog dan penyelesaian damai, pendekatan keamanan masih menjadi strategi utama dalam merespons ketegangan di Papua. Kebijakan ini justru memperpanjang penderitaan rakyat Papua, memperdalam ketidakpercayaan terhadap pemerintah, dan menciptakan lingkaran balas dendam tanpa ujung.
Situasi ini seharusnya menjadi alarm bagi negara untuk segera mengubah pendekatan dalam menangani Papua. Penyelesaian politik yang adil, transparan, dan melibatkan semua pemangku kepentingan adalah langkah yang jauh lebih bijaksana daripada terus-menerus mengandalkan kekuatan senjata. Pemerintah Indonesia harus berani membuka ruang dialog yang jujur, mengakui kesalahan masa lalu, serta memberikan jaminan perlindungan hak-hak dasar bagi rakyat Papua.
Dunia internasional pun tidak boleh menutup mata terhadap tragedi yang terus berlangsung di Papua. Jika HAM benar-benar dijunjung tinggi sebagai prinsip universal, maka Papua seharusnya tidak lagi menjadi “zona gelap” yang dibiarkan larut dalam kekerasan tanpa perhatian serius.
Papua membutuhkan keadilan, bukan senjata. Papua membutuhkan perdamaian, bukan darah. Dan di atas segalanya, Papua membutuhkan pengakuan bahwa rakyatnya memiliki hak yang sama untuk hidup dalam martabat dan kebebasan seperti warga negara lainnya. Selama pendekatan koersif masih menjadi kebijakan utama, Papua akan tetap banjir darah di “zaman HAM.” (Editor)