Oleh Paskalis Kosay
Tokoh Masyarakat Papua;
Mantan Anggota DPR RI
MENTERI Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud Md bicara hal menarik. Perihal dana otonomi khusus (otsus) Papua sejak kebijakan otsus melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mulai berlaku tahun 2001 di bumi Cendrawasih.
Kata Mahfud, sejak adanya Undang-Undang Otsus sudah Rp 1000,7 triliun digelontorkan Pemerintah Pusat untuk pembangunan Papua. Sayangnya, pembangunan Papua masih jalan ditempat karena dana otsus dikorupsi (detikcom, 23/9/2022).
Pernyataan Mahfud MD kemudian didukung Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, yang menyebut, Kementerian Keuangan Republik Indonesia mencatat, total dana otsus yang digelontorkan pemerintah pusat untuk Papua sudah menyentuh angka Rp 1.092 triliun.
Menurut Yustinus Prastowo, perincian gelontoran dana otsus ke Papua sebagai berikut. Dana otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) 2002 hingga 2021 Rp 138,65 triliun, dana tranfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dan desa dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan yang telah diserahkan kepada daerah dan desa sebesar Rp 702,30 triliun, dan dana belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 251,29 triliun. Total dana otsus yang digelontorkan pemerintah pusat ke Papua sebesar Rp 1.092 triliun.
Akal sehat
Coba kita cermati dengan akal sehat. Apakah total dana Rp 1.902 triliun itu seluruhnya dana otonomi khusus? Tidak demikian. Dana otsus hanya sebesar Rp 138,65 triliun dari 2002 hingga 2021. Selebihnya dana kementerian/lembaga sebesar Rp 251,29 triliun, dana TKDD Rp 702,30 triliun. Siapa siapa sebagai pengguna anggaran bersumber dari dana-dana ini, ini pertanyaan penting.
Soal penggunaan anggaran ini perlu diluruskan. Peruntukan dana otsus Papua sebesar Rp 138,65 triliun itu jelas digunakan pemerintah daerah selama 2002 hingga 2021. Sedangkan Rp 251, 29 triliun jelas dipakai pemerintah pusat. Sekarang dana transfer untuk desa (TKDD) yang totalnya Rp 702,30 triliun ini harus jelas. Pertanyaan lanjutanya: apakah dana desa ini khusus Papua atau seluruh Indonesia. Sebab logikanya, transfer dana desa ini diberlakukan sejak 2015 setelah UU Desa berlaku tahun 2014.
Masa selama 6 tahun atau 2015-2021, transfer dana desa ke Papua yang disebut mencapai Rp 702,30 triliun adalah bentuk penghinaan paling keji yang dilakukan oleh seorang Menteri Koordinator Polhukam era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Klarifikasi
Perlu dipahami, gelontoran dana sebesar itu pun dilakukan karena perintah undang-undang. Pemerintah wajib menjalankan perintah itu sesuai amanat undang-undang. Orang Papua tidak pernah mendesak meminta dana sebesar itu.
Tuduhan Menteri Polhukam Mahfud Md ini perlu diluruskan. Membiarkan statemen ini nihil klarifikasi merupakan bentuk opini yang menyesatkan bukan hanya kepada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin tetapi juga rakyat Indonesia terkhusus yang tinggal di tanah Papua. Tanpa klarifikasi, seolah Papua adalah provinsi di Indonesia yang kebanjiran uang negara. Padahal, realitasnya kondisi realnya sama seperti daerah di berbagai wilayah Indonesia.
Karena itu melalui tulisan ini, penulis mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRPB) agar segera menyurat kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk mengklarifikasi perincian data rill gelontoran dana otsus ke tanah Papua. Sekaligus meminta pertanggungjawaban pemerintah pusat atas kontribusi PT Freeport Indonesia (PT FI), raksasa tambang dunia yang berbasis di tanah Papua dan perusahaan BP Migas, ke kas negara.
Di era keterbukaan saat ini pemerintah pusat juga harus membuka secara transparan sumber dana APBN yang diterima dari Papua khususnya dari PT Freeport Indonesia dan BP Migas. Berapa prosentase keuntungan dari kontribusi dua perusahaan raksasa itu dikembalikan ke Papua.
Jika memang kontribusi Papua ke negara kecil, maka kita juga jujur meminta maaf kepada negara. Namun, sebaliknya, jika kontribusi Papua besar untuk negara maka negara juga wajib menggelontorkan dana besar untuk pemerintah dan masyarakat tanah Papua. Karena itu keterbukaan untuk klarifikasi posisi kebijakan pemerintah dalam penggelontoran dana ke Papua penting dilakukan. Maksudnya jelas, tak ada dusta di antara kita.