Dari Noken ke Kotak Suara: Menata Ulang Demokrasi di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Dari Noken ke Kotak Suara: Menata Ulang Demokrasi di Papua

Elias Petege, S,HI, Ketua KPU Kabupaten Dogiyai, Pemerhati Masalah Politik dan Pemilu. Sumber foto: cenderawasihpos.jawapos.com, 26 Agustus 2024

Loading

Oleh Elias Petege, S,HI

Ketua KPU Kabupaten Dogiyai, Pemerhati Masalah Politik dan Pemilu

SISTEM demokrasi Indonesia dibangun di atas prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Prinsip-prinsip ini tidak sekadar administratif, tetapi merupakan fondasi legitimasi politik. 

Namun, di Papua Pegunungan dan Papua Tengah, praktik demokrasi masih menyisakan tantangan serius, khususnya dengan keberlangsungan sistem noken (ikat) di wilayah seperti Kabupaten Yahukimo, Nduga, Lanny Jaya, Tolikara, Yalimo, Intan Jaya, Puncak Jaya, Puncak, Paniai, Deiyai, dan Dogiyai.

Sistem noken, yang mengandalkan kepala suku atau tokoh adat sebagai wakil kolektif pemilih, sejak lama dianggap sebagai bentuk demokrasi lokal khas Papua. Ia lahir dari kebutuhan pragmatis di tengah keterbatasan infrastruktur dan nilai-nilai musyawarah dalam masyarakat adat. 

Tetapi dalam kenyataannya, sistem ini semakin menjauh dari esensi demokrasi karena melemahkan hak politik individu dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Hak politik individu pemegang otoritas suara atas calon bergeser total ke pihak lain.

Kini, desakan untuk menghapus sistem noken tidak hanya datang dari luar Papua, tetapi juga dari elite politik lokal, tokoh masyarakat, dan bahkan pimpinan partai politik. Banyak yang menilai bahwa noken tidak lagi mencerminkan kearifan lokal, melainkan justru menjadi alat konflik, manipulasi suara, dan perebutan otoritas sosial yang rawan kekerasan.

Ketegangan nilai

Pendukung sistem noken sering membingkai mekanisme ini sebagai bagian dari demokrasi Pancasila yang menekankan musyawarah mufakat, gotong royong, dan konsensus. Dalam masyarakat yang masih kental dengan struktur sosial adat, demokrasi berbasis kolektif dianggap lebih sesuai daripada demokrasi liberal yang menekankan hak individu.

Namun, dalam konteks demokrasi elektoral modern, hak suara individu tidak bisa dilimpahkan begitu saja. Demokrasi liberal menuntut jaminan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan pilihan politiknya secara langsung. Ketika suara individu didelegasikan atau bahkan diambil alih tanpa persetujuan eksplisit, maka prinsip kebebasan dan kesetaraan telah dilanggar.

Realitas di lapangan memperlihatkan, sistem noken kian dipenuhi persoalan serius, baik secara teknis maupun sosial. Pertama, verifikasi individu tidak terjadi. Pemilih tidak memberikan suara secara langsung, dan dalam banyak kasus tidak ada musyawarah yang terbuka dan adil.

Kedua, klaim suara menjadi liar. Tidak hanya kepala suku yang menjadi penentu, tetapi juga tokoh pemuda, masyarakat, bahkan individu biasa yang mengklaim “menguasai” tempat pemungutan suara (TPS) tertentu.

Ketiga, kelompok rentan terpinggirkan. Perempuan, orang muda, dan penyandang disabilitas tidak mendapatkan ruang partisipasi setara karena proses musyawarah didominasi elite adat laki-laki.

Keempat, manipulasi dan kekerasan meningkat. Proses rekapitulasi suara rawan rekayasa, dan dalam beberapa pemilu dan pilkada terakhir, sistem noken memicu konflik yang menyebabkan korban jiwa.

Desakan penghapusan

Salah satu aspek menarik, seruan untuk menghapus sistem noken kini datang dari dalam Papua sendiri. Banyak politisi daerah dan pimpinan partai lokal merasa sistem ini tidak adil, tidak kompetitif, dan tidak demokratis. 

Mereka mengeluhkan, sistem noken sering dipakai untuk memonopoli suara demi memenangkan kandidat tertentu, bahkan tanpa sepengetahuan masyarakat.

Di sejumlah forum resmi, mereka mendesak pemerintah pusat dan penyelenggara pemilu untuk mengakhiri sistem ini secara bertahap dan terukur. Aspirasi ini bukan sekadar cerminan keinginan reformasi politik, tetapi juga panggilan moral untuk menghentikan praktik pemilu yang menimbulkan ketegangan sosial dan mengancam kohesi sosial komunitas masyarakat.

Mengingat Papua telah menjadi bagian dari sistem demokrasi nasional yang berbasis hak individu, maka transisi dari sistem noken menuju pemilu langsung adalah langkah logis dan etis. Transisi ini bukan berarti menafikan budaya lokal, tetapi menggeser peran elite adat dari “pemilik suara” menjadi mitra demokrasi yang turut mendorong partisipasi politik warganya.

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan negara dan KPU. Pertama, menghapus sistem noken secara bertahap, dimulai dari daerah dengan infrastruktur yang sudah memungkinkan pemilu langsung. 

Kedua, meningkatkan literasi politik masyarakat Papua, termasuk melalui tokoh agama dan adat yang progresif. Ketiga, membangun sistem logistik dan distribusi suara yang efisien, agar tidak ada alasan teknis untuk mempertahankan sistem kolektif. 

Keempat, melibatkan pemuda dan perempuan dalam proses demokrasi, baik sebagai penyelenggara, saksi, maupun pemilih aktif. Kelima, memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum, agar manipulasi dan intimidasi politik dapat ditekan secara maksimal.

Demokrasi adalah tentang partisipasi, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak setiap warga negara. Ketika sistem pemilu tidak lagi mencerminkan prinsip itu, maka sudah saatnya kita mengevaluasi ulang dan berani mengambil langkah korektif.

Papua berhak atas demokrasi yang lebih manusiawi dan lebih setara, tidak dikendalikan oleh elite tetapi memberikan ruang kepada setiap warga untuk menyuarakan kehendaknya secara bebas.

Dari noken ke kotak suara bukan sekadar perubahan teknis, tetapi lebih dari itu adalah pergeseran nilai menuju demokrasi yang lebih adil dan inklusif. 

Tinggalkan Komentar Anda :