Pos Militer dan HAM di Tanah Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Pos Militer dan HAM di Tanah Papua

Marthen Goo, aktivis HAM dan peminat hukum Tata Negara. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Marthen Goo

Aktivis HAM dan Peminat Hukum Tata Negara

MASALAH pelanggaran HAM di tanah Papua itu dilakukan oleh negara Indonesia yang dimulai dari pidato Presiden Soekarno yang dikenal dengan Trikora. Adanya menstrea yang sangat jahat, yang dimiliki oleh Soekarno walau dalam perdebatan di sidang BPUPKI, Moh Hatta menyebutkan bahwa “Papua berbeda dengan Indonesia, biarkan bangsa Papua menentukan masa depan mereka sendiri”.

Bagi presiden, Indonesia harus merebut Papua dan Papua harus dijajah. Berbagai operasi dilakukan di Papua, bangsa Papua yang tidak pernah melakukan kesalahan kepada Indonesia harus dibantai dan dibunuh tanpa alasan. Kaum intelektual dibunuh dan kemudian Papua dibuat terisolir, dimiskinkan, dan pendidikannya dihancurkan. 

Hal itu berbeda dengan Belanda, dimana selama keberadaan Belanda, bangsa Papua maju, tidak ada pembunuhan terhadap bangsa Papua, bangsa Papua dididik dan dibangun dengan pendekatan agama, sosial dan budaya, dan kemanusiaan.

Semua yang dilakukan Soekarno di Papua adalah tindakan kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Sayangnya, belum ada lembaga di Indonesia yang berani mengumumkan bahwa pencaplokan Papua adalah kejahatan terhadap HAM dan kejahatan terhadap konstitusi Indonesia. 

Kejahatan itu juga dilakukan saat kepemimpinan presiden Soeharto hingga saat ini. Berbagai operasi ilegal dilakukan di Papua dengan tujuan meredam hak bangsa Papua untuk bersuara tentang hak mereka.

Bahkan berbagai operasi yang dilakukan turut mempercepat ancaman kepunahan terhadap bangsa Papua. Saat ini, kita bisa lihat dari berbagai kejahatan yang mengarah pada kejahatan genosida dan ekosida di Papua. 

Prabowo yang pernah berjanji akan melakukan pendekatan “dialog” dalam menyelesaikan masalah di Papua pun malah menipu publik dan melakukan pendekatan militer, operasi militer dan tindakan perampasan tanah adat. Kasus di Merauke menegaskan situasi itu.

Kali ini, terjadi juga dengan kegiatan tambang ilegal di Raja Ampat. Perizinan tersebut melanggar prinsip negara hukum dan semangat konstitusi, melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Sayangnya, ibarat kata pepatah: anjing menggonggong, khafilah berlalu. 

Kehadiran korporasi mining tetap dipaksakan beroperasi sekadar menggolkan kepentingan bisnis kaum oligarki dengan praktek kerja-kerja mafia. Di depan mata mereka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kerusakan lingkungan tapi Komnas HAM tidak bersuara. Komnas Perempuan tidak bersuara bahkan Menteri HAM pun diam seribu bahasa.

Lalu, apa manfaat lahirnya Kementerian HAM Republik Indonesia? Apakah hanya sekadar hadir untuk menutupi kejahatan yang dilakukan Presiden Prabowo? Hal di luar kewenangan Komnas HAM bisa dilakukan oleh Kementerian HAM, meskipun Kementerian HAM hanyalah kementerian yang dibuat presiden sebagai slogan tapi setidaknya ada pandangan HAM yang harus diberikan kepada Prabowo. 

Atau, semua pandangan dari Kementerian HAM diabaikan oleh Prabowo? Jika Prabowo mengabaikan pandangan HAM dari Kementerian HAM, maka Prabowo sudah melakukan kejahatan terhadap HAM. Jika ada posisi dimana Prabowo mengesampingkan HAM tersebut, sementara ada ancaman serius di Papua? 

Mengapa pula Komnas HAM tidak melakukan fungsi dan tugasnya dengan menanyakan Kementerian HAM soal tugas dan fungsi sampai pada menanyakan kepada korban pengungsian soal apakah ada pengabaian negara, dan lainnya? Jika ada dan itu instruksi Presiden, mengapa Komnas HAM tidak menetapkan Presiden sebagai penjahat kemanusiaan? Ataukah apakah Komnas HAM juga berkiblat pada kekuasaan?

Pembangunan Pos Militer

Dalam dunia HAM, dikenal dengan istilah “penjahat HAM adalah state actor, aktor negara”. Karenanya, penjahat HAM di Papua sejak Papua dicaplok hingga saat ini adalah TNI dan Polri. 

Karena TNI dan Polri adalah aktor penjahat HAM, mestinya keberadaan mereka harus jauh dari kehidupan masyarakat sipil. Semakin jauh keberadaan militer Indonesia dalam kehidupan masyarakat sipil, maka frekuensi pelanggaran HAM akan semakin menurun.

Tentu terhadap hal ini, dapat dilihat sejak Papua diduduki Belanda, di Papua tidak pernah terjadi pelanggaran HAM. Papua sangat aman, damai, tentram dan maju. Pembangunan sistem yang dilakukan Belanda dan pendekatannya turut membuat Papua makin aman dan damai. 

Hal itu berbeda dengan Indonesia. Sekali lagi, keberadaan Indonesia turut membunuh banyak rakyat tidak berdosa dan kemudian membangun sistem yang menindas dan penuh rekayasa kriminal.

Karena itulah, semakin banyak aparat militer di Papua, pelanggaran HAM semakin tinggi. Jika pos militer semakin banyak hadir atau dibangun akan menyuburkan kejahatan terhadap kemanusiaan di tanah Papua. 

Militer Indonesia di Papua diidentikan dengan penjahat kemanusiaan. Apalagi, fungsi militer tidak pernah dilaksanakan tetapi lebih pada praktek rasisme dan apartheid serta premanisme.

Mencermati realitas seperti itu, pernyataan Menteri HAM sangat mengagetkan publik. Tempo edisi 7 Juni 2025 menulis, “Pemerintah akan bangun pos militer di Papua Tengah agar TNI-Polri tidak pakai gereja”. Kemudian lebih menyoroti masalah kasus sosial. Masalah sosial yang di jaman Belanda tidak pernah ada. 

Padahal, masalah konflik sosial karena kepentingan pilkada adalah wewenang penegak hukum untuk memeriksa kaum intelektual, bahkan jika itu kejahatan karena manipulasi suara, masalah itu yang harus dibongkar. Masalah yang berbeda tapi kemudian hendak dilakukan kebijakan yang justru akan melahirkan masalah baru, yakni pelanggaran terhadap HAM. 

Apalagi, dengan militer menguasai gereja dan sekolah selama ini karena operasi militer, hal tersebut merupakan kejahatan yang harus dikritisi, bukan masalah sosial. Pertanyaannya, mengapa soal kejahatan HAM di Papua tidak disoroti? Mengapa pula hanya masalah sosial yang bisa dilakukan proses penegakan hukum tetapi dialihkan ke pembangunan pos militer?

Apesnya lagi, pembangunan pos militer justru akan menghabiskan anggaran daerah, sementara militer itu vertikal yang sistem penganggaran harus dari pusat. Namun, di sisi lain berbagai kejahatan dan pelanggaran HAM yang terjadi di daerah, gubernur, bupati dan menteri tidak pernah merespon? 

Minimal memenuhi kewajiban pemerintah dengan menampung para pengungsian dan memastikan para pengungsi selamat. Tindakan pengabaian sendiri adalah pelanggaran terhadap HAM, bukan?

Sehingga, jika diketahui bahwa penjahat kemanusiaan di Papua adalah militer Indonesia, maka, pos militer yang diwacanakan oleh Menteri HAM dan para pejabat lokal merupakan upaya memelihara pelanggaran HAM di Papua. 

Upaya ini juga masuk dalam tindakan melakukan pelanggaran terhadap kemanusiaan. Fungsi kelembagaan tidak dilaksanakan semestinya untuk melindungi rakyat, dan ini justru akan berbahaya dalam keberlangsungan hidup rakyat. Mestinya dipikirkan solusi penyelesaian masalah di Papua; bukan membangun pos militer yang makin menyuburkan masalah.

Membangun pos militer adalah upaya meneror warga sipil dan upaya memuluskan praktek pelanggaran HAM tumbuh subur di tanah Papua. Apalagi kejahatan negara dianggap sebagai bisnis petinggi negara untuk memperkaya kepentingan kaum oligarki dan kaum yang menjadi alat kaum oligarki. Semengatar cara-cara damai dalam penyelesaian masalah tidak pernah dilakukan atau selalu dihindari.

Mendiang Pastor Dr Neles Tebai, Pr dan Almarhum Dr Muridan S sebagai Koordinator Jaringan Damai Papua di Papua dan Jaringan Damai Papua di Jakarta selalu menyampaikan pentingnya penyelesaian masalah di Papua melalui dialog. 

Istilah yang selalu disampaikan adalah “dialog itu tidak membunuh. Dialog sebagai sarana penyelesaian masalah secara bermartabat”. Gagasan yang penting sekali yang mestinya juga didorong oleh Kementerian HAM.

Jika Kementerian HAM masih mendorong pembangunan pos militer, memberikan gambaran bahwa Kementerian tersebut keluar dari fungsi Hamnya. Mestinya untuk mendorong upaya damai, harus dipikirkan cara-cara bermartabat dalam menyelesaikan masalah di Papua, baik melalui dialog maupun perundingan. 

Soal siapa yang akan terlibat langsung dalam perundingan, para pihak akan merumuskan berdasarkan mekanisme internal. Di Papua terlalu banyak sekali kejahatan pelanggaran HAM, mestinya Kementerian  HAM bersama Komnas HAM intens menyampaikan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, selain di daerah-daerah lain. 

Kemudian, memberikan rekomendasi kepada presiden agar berhenti mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melanggar HAM di Papua dan mendesak presiden mewujudkan janji dialog. Mengabaikan dialog merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Apalagi kebijakan merampas tanah adat dan menggandakan intensitas operasi militer.

Tinggalkan Komentar Anda :