Oleh Marco Kasipdana
Mahasiswa Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
KABAR menyebar dari kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (10/4) pekan ini. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyebut, pihak tak lagi menggunakan label kelompok bersenjata yang mendorong Papua merdeka sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Istilah KKB mengalami perubahan, metamorfosa lalu kembali lagi dilabeli sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Selama ini, OPM dengan sayap militer Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat selain selama ini dilabeli negara dengan sebutan KKB, juga ‘dibaptis’ aparat keamanan dengan kelompok sipil bersenjata, kelompok separatis, kelompok separatis teroris, dan lain sebagainya. Tak berlebihan dari kawasan Menteng, Jakarta, Panglima TNI Jenderal Subiyanto menegaskan abai menamakan kelompok bersenjata sebagai KKB tetapi kembali ke ‘laptop’ yaitu OPM.
Subiyanto menyebut OPM sudah melakukan teror dan pembunuhan terhadap masyarakat serta anggota TNI-Polri. Bahkan ia menuding OPM memerkosa guru dan tenaga kesehatan di tanah Papua. Karena itu pihaknya menegaskan akan menindak tegas apa yang dilakukan OPM. Tidak ada negara dalam suatu negara. Pihak TNI yang bertugas di Papua tidak hanya bekerja untuk mengamankan wilayah dan masyarakat. Namun juga bertugas memberikan pendidikan ke anak-anak, termasuk pelayanan kesehatan.
Akar persoalan
Hemat penulis, konflik di tanah Papua berakar dari empat masalah yang telah berkelindan sejak awal 1960-an. Pertama, sejarah integrasi dan status politik. Kedua, kekerasan negara dan hak asasi manusia (HAM). Ketiga, migrasi dan posisi tawar. Keempat, terbatasnya akses bagi wartawan asing dan pemantau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke Papua oleh Pemerintah Indonesia.
Muridan Widjojo, dkk dan tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008) membeberkan sejumlah akar masalah dan solusi untuk Papua. Dalam uraiannya, Muridan dkk mengerucut pada empat akar masalah utama yang membelit masyarakat dan tanah Papua saban waktu.
Pertama, marginalisasi dan diskriminasi masyarakat adat di Papua. Kedua, kegagalan pembangunan. Ketiga, kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Keempat, sejarah dan status politik antara Jakarta dengan Papua. Hingga kini, keempat masalah masih terus terjadi di sekujur lekuk tanah Papua.
Kita tahu, Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB tahun 1969. Meski demikian, sebagian besar warga Papua dan pegiat HAM menilai Pepera tidak sah karena hanya melibatkan sekitar seribu penduduk. Pada 2003, Papua dibagi menjadi dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat karena kesulitan dalam pengelolaan kekerasan dan hak asasi manusia.
Kekerasan di Papua dan Papua Barat mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Buntutnya, korban berjatuhan bukan hanya dari pihak aparat keamanan namun juga warga sipil. Kondisi ini kian gelap mencuat ke publik menyusul pembatasan wartawan asing, perwakilan LSM internasional, dan pemantau PBB ke Papua oleh Pemerintah Indonesia.
Perspektif Historis
Asal mula nama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap bersenjata OPM didirikan pada 26 Maret 1973 sebagai hasil dari Proklamasi Republik West Papua tahun 1971. Proklamasi dipimpin pemimpin OPM Seth Yafet Rumkorem (kala itu) dan Jacob Hendrik Prai.
Tahun 1985 atau sembilan tahun setelah Seth dan Parai melarikan diri ke pengasingan, Mathias Wenda mengubah nama OPM menjadi Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM). Kata TPN menunjukkan bahwa kelompok tersebut adalah sayap militer OPM, organisasi politik untuk melayani bangsa West Papua.
Seiring berjalannya waktu, sekitar 2015 sebagian besar komando TPNPB baru, yang merupakan generasi muda pejuang West Papua mendirikan Komando Nasional TNPB yang sekarang melanjutkan perjuangan dengan mengangkat senjata dan berhasil mendirikan 35 Komando Daerah Pertahanan (Kodap) di seluruh wilayah tanah Papua. Hal ini bukan rahasia lagi bahkan mereka yang angkat senjata adalah generasi muda yang terlatih, termasuk bekas anggota TNI-Polri orang asli Papua.
Hemat penulis, gerakan Papua merdeka terbagi menjadi tiga jalur. Pertama, jalur diplomasi yang menjadi bagian dari kelompok TPNPB OPM, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Aliansi Mahasiswa Papua Luar dan Dalam Negeri), dan Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Kedua, jalur hak asasi manusia (HAM), dimana kelompok ini merupakan bagian dari pembela HAM, termasuk kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli membela nilai-nilai kemanusiaan universal. Ketiga, dewan adat, di mana kelompok ini juga sering muncul di berbagai forum resmi maupun tidak resmi untuk ikut menyuarakan kesetaraan ekonomi, pembangunan, dan penghargaan atas hak-hak masyarakat adat.
Pelabelan OPM
OPM pertama kali disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Kejaksaan pada tahun 1965 dan kemudian berganti nama menjadi Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Penamaan terhadap kelompok bersenjata di Papua (TPNPB OPM) terus mengalami perubahan sejak tahun 1965 hingga 2024.
Misalnya, selain GPK era Orde Lama dan Orde Baru lalu berubah menjadi KKB sejak 2012 hingga 2014. Kemudian, era Tito Karnavian menjabat Kapolda Papua dilabeli dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) era Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia Jenderal TNI (Purn) Wiranto.
Sedangkan tahun 2021 saat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD, pemerintah memandang bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris. Karena itu, setelah KKSB naik level tertinggi bagi organisasi gerakan kemerdekaan Papua lalu dilabeli lagi dengan KST.
Di tengah ‘ketidakjelasan’ ini, Juru Bicara Komisi Nasional TPNPB-OPM Sebby Sambom menegaskan, apapun dampak keputusan itu terhadap tindakan TNI di lapangan, mereka tetap siap bertempur. Pertanyaan retoris segera lahir: akankah damai segera lahir di antara semua pihak di atas potongan surga yang jatuh ke bumi meski aneka label atas kelompok kelompok kekerasan terus bermetamorfosa? Hanya Tuhan yang tahu. Perjuangan menggapai Papua tanah damai bukan lagi pekerjaan satu pihak namun semua stakeholder yang berkehendak baik.