Oleh Hironimus Kia Ruma, ST, SH
Pemerhati Kebijakan Publik; Ketua Divisi Hukum KPU Kabupaten Mimika, Papua Tengah
UNDANG-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) secara resmi akan mulai berlaku pada awal tahun, tepatnya 2 Januari 2026. KUHP Nasional ini menggantikan Wetboek van Strafrecht (KUHP WvS) yang berlaku sejak jaman Hindia Belanda.
KUHP WvS yang selama ini berlaku mengikuti aliran klasik yang berpegang teguh pada asas legalitas formil yang kaku dan berorientasi pada perbuatan (daad strafrecht), sehingga sanksi pidana yg diberikan dan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana merupakan bagian dari pembalasan atas perbuatan pelaku.
Sedangkan KUHP Nasional mengikuti aliran neo klasik yang berorientasi pada orang, baik pelaku maupun korban tindak pidana dan sistem pemidanaannya menekankan kepada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.
Ada beberapa perubahan mendasar yang membuat KUHP Nasional jauh lebih mencerminkan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia.
Perluasan atas Asas Legalitas
Asas legalitas merupakan asas yang paling utama dalam hukum pidana. Asas ini berangkat dari formula yang ditulis oleh Anselm von Feuerbach, sarjana hukum Jerman (1755-1833) yaitu, pertama, ialah nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa ketentuan pidana menurut Undang-Undang). Kedua, nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana) dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut Undang-Undang).
Postulat ini kemudian dikenal dengan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana sebelumnya). Asas ini kemudian secara luas dikenal sebagai asas legalitas.
Asas legalitas dalam KUHP WvS diterapkan secara kaku dimana sumber legalitas hukum pidana tiada lain dan tiada bukan adalah undang-undang (sumber hukum formil). Sedangkan dalam KUHP Nasional, asas legalitas mengalami perluasan dengan mengakomodir hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagai salah satu sumber legalitas hukum (sumber hukum materiil).
Perluasan asas legalitas ini dengan sendirinya mengubah paradigma nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang) menjadi nulla poena sine ius (tiada pidana tanpa ketentuan pidana menurut hukum). Ius (hukum) dalam hal ini bermakna lebih luas melingkupi hukum tertulis (undang-undang) dan hukum tidak tertulis (hukum yang hidup).
Perluasan asas legalitas ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.”
Dalam doktrin sifat melawan hukum materiil, konsep yang dianut KUHP Nasional ini dikenal sebagai sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) dikatakan: “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.”
Pemberlakuan hukum yang hidup sebagai sumber legalitas hukum pidana dibatasi oleh kriteria-kriteria dan rambu-rambu antara lain: tidak diatur dalam KUHP Nasional, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui secara universal.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana dan hukum tersebut adalah hukum tidak tertulis yang masih berlaku, serta untuk memperkuat keberlakuannya, diatur dalam perda.
Beberapa Asas Penting yang Relevan Dalam Penyusunan Perda Tentang Hukum Adat Pidana
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu kriteria atau rambu dalam menetapkan hukum materiil sebagai sumber legalitas formal adalah hukum materiil tersebut tidak bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang diakui secara universal.
Ada beberapa asas hukum yang sudah diterapkan dalam KUHP Nasional yang relevan dengan Perda yang nantinya akan dibentuk. Pertama, asas teritorial (asas wilayah). Asas ini menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam KUHP Nasional, asas ini diatur dalam Pasal 4.
Dalam konteks perda, subyek norma (norm addressat) dari ketentuan ini adalah setiap orang yang ada di wilayah hukum dimana perda tersebut berlaku. Sedangkan obyek normanya (norm object) adalah perbuatan yang dilarang dalam perda.
Kedua, asas perlindungan (asas nasional pasif). Asas ini menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana terhadap kepentingan tertentu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur secara limitatif. Asas ini bertujuan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu yang hendak dilindungi.
Dalam KUHP Nasional, asas ini diatur dalam Pasal 5, dengan penentuan kepentingan nasional tertentu yang ingin dilindungi menggunakan perumusan limitatif dan terbuka. Artinya, ruang lingkup kepentingan nasional yang akan dilindungi ditentukan secara limitatif, tetapi jenis tindak pidananya tidak ditentukan secara pasti.
Dalam konteks perda, subyek norma (norm addressat) dari ketentuan ini adalah setiap orang yang ada di luar daerah dimana perda itu berlaku, sedangkan obyek normanya (norm object) adalah perbuatan yang menyerang kepentingan hukum tertentu yang telah ditetapkan dalam perda.
Ketiga, asas personal (asas nasional aktif). Asas ini menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam KUHP Nasional, asas ini diatur dalam Pasal 8 dengan pengaturan tambahan bahwa ketentuan ini berlaku jika tindak pidana yang dilakukan tersebut juga merupakan tindak pidana di negara tempat pidana dilakukan.
Dalam konteks perda, subyek norma (norm addressat) dari ketentuan ini adalah setiap orang yang tercatat sebagai penduduk di daerah dimana perda itu berlaku. Sedangkan obyek normanya (norm object) adalah perbuatan yang dilarang dalam perda yang juga merupakan perbuatan yang dilarang di daerah tempat perbuatan itu dilakukan.
Pidana Terhadap Pelanggaran Atas Hukum Yang Hidup (Living Law)
Pidana terhadap pelanggaran atas hukum yang hidup diatur dalam Pasal 597, yakni pemenuhan kewajiban adat sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f. Menariknya, pidana pemenuhan kewajiban adat ini dijatuhkan sebagai pidana yang berdiri sendiri (tanpa pidana pokok) meskipun di Pasal 66 diatur sebagai pidana tambahan. Hal ini merupakan salah satu cerminan dari ide keseimbangan monodualistik yang dianut dalam penyusunan KUHP Nasional.
KUHP Nasional mendelegasikan wewenang pengkodifikasian hukum yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk perda. Pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pedoman bagi pemerintah daerah bersama dengan DPRD dalam membentuk perda dimaksud.
Saat ini, penting bagi pemerintah daerah menginisiasi dilakukannya kajian-kajian empiris atas hukum adat yang masih berlaku di daerahnya masing-masing untuk menjamin kesiapan daerah dalam menyongsong pemberlakuan KUHP Nasional.