Oleh Albertus Muda
Guru Honorer SMA Negeri 2 Nubatukan, Lembata
PAX melior est quam iustissimum bellum. Kata bahasa Latin itu berarti perdamaian itu lebih baik daripada perang yang paling adil sekalipun. Dalam konteks Pemilu, adagium ini mengajak seluruh masyarakat Indonesia di berbagai segmen untuk mengawal Pemilu yang akan datang agar berlangsung damai.
Di tahun politik ini, pemerintah, elit partai politik, anggota partai politik, para simpatisan dan terutama yang paham esensi politik, hendaknya meletakkan perdamaian sebagai landasan menyambut pesta demokrasi tahun 2024.
Adagium di atas sesungguhnya merupakan sebuah awasan sekaligus gerakan moral untuk menjaga bangunan damai agar menjadi naungan seluruh warga dalam menyambut pesta demokrasi lima tahunan yang tak lama lagi akan digelar. Kita mesti jujur mengakui bahwa tensi politik saat ini tidak hanya menghangat tetapi cenderung memanas.
Mengapa? Karena proses Pemilu kerap diwarnai kampanye hitam, berita bohong, saling menjatuhkan, saling menjelekkan figur dan partai politik dan aksi provokatif lainnya. Hal ini tidak saja terjadi menjelang pilpres, tetapi cenderung terbawa pascapilpres. Apalagi saat ini, masing-masing kubu saling mengklaim kemenangan kandidatnya. Padahal, hasilnya kita mesti menunggu postulat Mahkamah Konstitusi.
Berhadapan dengan dinamika politik saat ini, masyarakat yang awam politik sangat mendambakan pendidikan politik yang cerdas, santun dan beretika. Publik tidak lagi mudah dibodohi dengan gaya politik oportunis bahkan transaksional.
Masyarakat semakin kritis sehingga tidak mudah diperalat sebagai obyek politik. Sebab sejatinya rakyat adalah subyek dan pemilik kedaulatan yang terus belajar dari setiap proses Pemilu. Oleh karenanya, para kontestan Pemilu hendaknya menjaga marwah Pemilu agar berlangsung damai dan bermartabat. Pemilu mesti benar-benar menjadi ajang memilih pemimpin yang membawa damai dan bermartabat pula.
Secara esensial, politik berarti seni menata atau mengatur yang mendahulukan kepentingan umum atau kesejahteraan bersama. Bukan sebaliknya, memanipulasinya untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dan kelompok.
Maka tepat menurut Pit Go (2004) dibutuhkan mentalitas politisi yang benar dan sungguh mengintegrasikan perhatian dan solidaritasnya secara efektif untuk mewujudkan kesejahteraan bersama melalui semangat gotong-royong. Dengan demikian, pemimpin atau calon pemimpin tahu, mau, mampu dan sanggup mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan diri sendiri atau golongan.
Jika tidak demikian, maka esensi politik yang sesungguhnya untuk menata atau mengatur kota atau negara justru akan melahirkan apa yang disebut Wiliam Chang (2004) sebagai fragmentasi sosial di tengah masyarakat majemuk.
Menurutnya, fragmentasi sosial akan berdampak pada sikap diskriminatif yang menganggap diri lebih tinggi dari yang lain, merasa diri lebih berharga dari yang lain. Ini malah melanggengkan sikap perendahan harkat dan martabat sesama yang sesungguhnya setara di hadapan Sang Pencipta.
Namun, kita tidak dapat menafikan bahwa sikap-sikap yang mendegradasi harkat dan martabat sesama merupakan warisan dari kaum kolonial yang terus berkembang pesat di masyarakat saat ini.
Peran media
Media massa baik cetak maupun elektronik serta online dan media sosial memiliki peran yang sangat penting dan strategis yakni menjadi medium atau perantara untuk mewartakan kebenaran. Para jurnalis maupun pemilik media sosial diharapkan menjadi filter atau penyaring sebelum memberitakan.
Para jurnalis dan pemilik media sosial mesti berani dan konsisten memberitakan atau mengabarkan pesan kebenaran kepada publik pembaca maupun pemirsa atau pendengar agar tidak menimbulkan ambiguitas pemahaman.
Oleh karenanya, warga masyarakat diharapkan memiliki sikap kritis terhadap seluruh pemberitaan di media massa terlebih media online dan media sosial sehingga mampu membedakan mana informasi yang mendidik dan kurang mendidik, mana informasi yang asli dan mana yang palsu, mana informasi yang benar dan mana yang salah.
Pelaku media massa juga media sosial mesti menghadirkan pencerahan bagi warga. Bukan mengusung pesan penguasa atau sponsor untuk mempengaruhi keputusan politik dan melayani kepentingan ekonomi.
Menurut Paus Fransiskus (2018), keakuratan sumber informasi menjadi sarana real untuk memajukan kebaikan, membangkitkan kepercayaan dan membuka jalan menuju persekutuan dan perdamaian. Maka, Paus mengajak semua pihak untuk memajukan jurnalisme perdamaian.
Menurutnya, jurnalisme perdamaian merupakan jurnalisme yang jujur dan menentang kepalsuan dan topik berita yang sensasional. Jurnalisme perdamaian konsisten mengkaji, menelaah sebab musabab yang memicu konflik agar memperdalam pemahaman sekaligus memberi solusi. Ia berkomitmen menunjukkan beragam alternatif berkenaan dengan meningkatnya keributan dan kekerasan verbal di media massa dan media sosial.
Keributan dan kekerasan verbal tersebut di media online dan media sosial jelas sangat berdampak bagi kemanusiaan. Werner dan Tankrad dalam Lukas Batmomolin dan Fransiska Hermawan (2003) mengatakan, satu informasi yang diubah berkali-kali dan diteruskan sesuai kebutuhan yang berbeda-beda berdasarkan asas manfaat dan kepuasan akan berdampak pada perubahan sikap dan tingkah laku masyarakat melalui kemampuannya menciptakan norma-norma baru.
Prinsip ini seperti dalam iklan dimana informasi yang sama digunakan oleh setiap orang dengan tujuan berbeda-beda. Dengan kata lain, produk yang sama ditampilkan dalam kemasan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Akibatnya, para pembaca atau pemirsa merasa bahwa informasi seolah-olah ditujukan hanya kepada mereka dan tidak kepada setiap orang.
Dengan demikian menurut Paus Fransiskus (2018), berita palsu mampu meyakinkan, cerdik serta mampu menarik perhatian karena mengeksploitasi perasaan sesaat seperti rasa cemas, rasa terhina, marah dan frustrasi.
Akibatnya, cerita-cerita yang tidak benar menyebar dengan begitu cepat sehingga bantahan-bantahan dari pihak berwenang sekalipun gagal membendung dampak negatif yang ditimbulkannya. Maka, di tahun politik ini, damai mesti terus dijaga dan tetap dikawal seluruh elemen masyarakat di negeri ini. Salah satu cara yang dilakukan untuk menjaga damai adalah mengabarkan informasi yang benar.
Oleh karena itu setiap orang dan koalisi partai politik mesti saling mendengarkan dan berikhtiar membangun dialog untuk mengungkap kebenaran. Misalnya, penemuan uang miliaran rupiah oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) pada rekening bendahara salah satu partai politik mesti segera disikapi secara serius oleh KPU, Bawaslu, dan KPK.
Sikap tanggap yang cepat dengan penanganan yang tepat. Sebaliknya, jika temuan ini diabaikan atau didiamkan, akan menimbulkan kegaduhan karena tidak mendapat respon balik yang tepat dan tegas dari pihak-pihak yang berwenang.
Deklarasi Pemilu Damai bukannya sebatas ritus seremonial demi melengkapi proses dan tahapan Pemilu. Semua pihak terutama tim koalisi beserta massa pendukung dan simpatisan mesti konsisten mewujudkan komitmen bersama untuk menjaga dan mengawal Pemilu agar berlangsung damai.
Masing-masing koalisi serta massa pendukung hendaknya mengedukasi warga secara santun dan etis demi membuka wawasan dan meningkatkan pemahaman warga pemilih agar menjatuhkan pilihan politik secara tepat tanpa ada tekanan atau intimidasi serta kecenderungan politik uang.
Anggota DPR RI Yohanes Fransiskus Lema alias Ansy Lema dalam sebuah kesempatan mengatakan, setiap warga pemilih mesti mengantongi dua hal sebelum menjatuhkan pilihan. Pertama, mengetahui isi kepala para calon lewat visi dan misi serta pertanggungjawaban atas visi dan misinya. Kedua, warga pemilih mesti memiliki akses yang cukup tentang rekam jejak (track record) dari para calon baik capres dan cawapres juga para calon wakil rakyat.
Sementara itu, pengamat politik Boni Hargens dalam seminar yang bertajuk Pancasila, Agama dan Politik yang diselenggarakan Vox Ledalero baru-baru ini mengatakan, semua orang mesti berpikir kritis dan mengolah hati nuraninya.
Menurut Boni, kita tidak boleh melupakan sejarah, maka kita mesti berpikir dan melihat secara keseluruhan dan jangan hanya melihat secara parsial hari ini. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa rakyat bukan penyambung suara tetapi pemilik kedaulatan yang berhak menilai dan menghakimi.
Selain itu, Yudi Latif juga mengatakan, Pemilu di Indonesia termasuk salah satu Pemilu termahal di dunia. Oleh karenanya, masyarakat mesti memiliki komitmen yang kuat, moralitas dan etos juang yang tinggi untuk memilih pemimpin bangsa ini. Ketika masyarakat berada dalam teror dan tekanan, maka tidak akan memilih pemimpin dengan baik.
Menurutnya, Pemilu sesungguhnya bukan untuk memilih orang, melainkan memilih kebijakan yang diusung calon-calon pemimpin untuk menata negara dan mensejahterakan warga. Maka, tepatlah yang dikatakan filsuf Frans Magniz Suseno bahwa Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, melainkan untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Mari pertajam kesadaran dan nurani kita untuk Indonesia yang lebih maju dan damai.