Oleh Thomas Ch Syufi
Advokat dan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas periode 2013-2015
SELASA, 22 Oktober 2024, dunia dikejutkan berita duka berpulangnya Pastor Profesor Gustavo Gutierrez Merino Diaz, OP (96). Gustavo Gutierrez adalah seorang teolog, cendekiawan, dan tokoh kemanusiaan global asal Amerika Latin.
Gustavo Gutierrez dijuluki nabi kaum miskin. Ia imam Katolik dari Ordo Praedicatorum (OP), Ordo Pengkhotbah atau lazim di kalangan orang awam dengan sebutan Dominikan. Gustavo Gutierrez adalah pendiri Teologi Pembebasan. Gustavo Gutierrez lahir 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, ibu kota Peru.
Gustavo Gutierrez wafat, memenuhi Tuhan, sang Sabda. Ia meninggal di tengah konfrater, sahabat, keluarga, warga masyarakat yang pernah dilayani namun tidak hanya meninggalkan nama yang harum.
Ia juga meninggalkan warisan permanen humanis dan teologis yang menjadi kekayaan terluhur yang tidak hanya berguna bagi Gereja Katolik. Karyanya menjadi legasi bagi semua manusia, terutama karya nyata dan keberpihakannya pada kaum miskin dan tertindas.
Kelahiran dan kematian merupakan peristiwa harian, sesuatu yang mengandung kebenaran absolut bagi semua kehidupan. Kebenaran absolut dimaksud adalah bahwa segala makhluk hidup pasti akan mati, termasuk manusia.
Kebahagiaan abadi
Gustavo Gutierrez pun melewati itu dan mendahui yang lain. Setiap kematian orang melalui caranya masing-masing, namun semua memiliki satu harapan untuk mencapai kebahagiaan abadi, melewati satu jalan menuju sang Pengada yang tidak diadakan.
Namun, bukan berapa lama Anda hidup itu yang penting, tetapi bagaimana Anda hidup dengan baik, quam bene vivas, non quam diu refert. Ungkapan ini mengajak kita semua memaknai kehidupan kita sejauh mana jejak ziarah di bumi, termasuk merefleksikan kepergian seorang Gustavo Gutierrez.
Ia sebagai seorang manusia telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada kebaikan bersama (bonum commune), terutama membela kepentingan kaum papa dan tertindas.
Karena di situlah gloria Dei vivens pauper, kemuliaan Allah dalam kaum miskin yang hidup. Ia mendedikasikan karyanya untuk menganalisis dan mengecam kemiskinan dan kesenjangan di Amerika Selatan. Gustavo Gutierrez mengubah refleksi keagamaan dengan menempatkan pengalaman kaum tertindas sebagai pusat praksis Kristiani.
Melalui karyanya yang paling populer dan dianggap sebagai opus magnum dalam pandangan teologi Amerika Latin pasca-Konsili Vatikan II (1962-1965) yakni Teologi Pembebasan: Sebuah Perspektif (1971). Teologi Pembebasan mengeksplorasi bagaimana menyampaikan pesan Kristiani di dunia yang ditandai ketidakadilan struktural dan membela keberpihakan bagi masyarakat miskin.
Ini merupakan semangat aggiornamento, pembaruan Gereja dalam karya pelayanan pastoral dan pewartaan iman yang lahir dari Konsili tersebut. Sebagai kelanjutan juga dari Ensiklik Rerum Novarum (Tentang Hal-hal Baru/Perubahan Revolusioner) yang diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada Mei 1891 membahas tentang hak-hak buruh (kelas pekerja), yang kini menjadi pedoman dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG) di seluruh dunia.
Termasuk pendekatan yang dilakukan oleh kaum klerus dalam karya-kaya pastoralnya, dengan memihak orang miskin dan orang-orang yang paling terbuang di masyarakat. Sebagaimana testimoni Leonardo Boff, teolog terkenal asal Brasil. Leonardo mengatakan, Gustavo Gutierrez adalah pendiri teologi pembebasan sebenarnya.
Presentasi pertamanya dilakukan di Petropolis, Brasil pada pertemuan para uskup Amerika Latin yang membahas Konsili Vatikan II (La Republica/Katolikana, 23 Oktober 2024). Kehidupan Gustavo yang berkenaan dengan kaum miskin tidak hanya secara intelektual, tapi juga dibuktikan melalui karya pelayanan pastoralnya.
Setelah kembali belajar teologi di Eropa, Gustavo kembali melayani sebagai pastor paroki di Rimac, sebuah distrik di Lima, Peru. Di sana ia tinggal bersama komunitas paling rentan, sebuah pengalaman yang mendorong refleksi dan komitmennya mengadvokasi isu-isu sosial dan hak asasi manusia (HAM), termasuk mereka yang tersingkir dan tidak beruntung secara ekonomi.
Sensus hominis
Gustavo menyadari bahwa semua dedikasinya untuk kaum miskin dan tertindas itu dapat terwujud jikalau ia menjadikan dirinya layak sebagai seorang hamba yang memiliki sensus hominis, man of other (rasa kemanusiaan) yang dalam. Hamba bukanlah ungkapan kehinaan.
Ia sebuah kebesaran. Kebesaran bukan dalam pengertian sekuler yang berintikan kepemilikan segala sesuatu atau status sosial, seperti kuasa, harta, kehormatan, kedudukan, popularitas, dan pengaruh dalam suatu komunitas atau masyarakat tertentu.
Kebesaran dalam pengertian Kristiani bukan dari pernak-pernik atau atribut-atribut itu, tetapi seberapa besar pelayanan yang Anda lakukan untuk sesama dengan cinta besar, semangat yang berkobar, hati yang tulus, dan terbuka, serta penuh pengorbanan. Hal ini sama dengan pesan-pesan profetis melalui homili pada misa Minggu Misi Sedunia ke-98 pada 20 Oktober 2024 yang menekankan pentingnya bermisi dengan penuh pengorbanan.
Misi bukan sekadar berempati dan berkhotbah dari altar suci di gereja, berpidato menggebu-gebu di acara pelantikan atau orasi utopis menjelang perhelatan politik elektoral atau uraian teori-teori sosial di ruang kuliah semata. Misi bukan pula sebatas menjadi menara gading di tengah lautan persoalan ketidakadilan dan kemiskinan.
Tetapi misi berarti berani berpartisipasi sekaligus berkorban bagi sesama yang lain, ikut menanggung derita yang dialami oleh sesama yang lain tanpa membeda-bedakan, baik warna kulit, suku, agama maupun status sosial.
Mengutip Paus Fransiskus, inti dari misi adalah bersaksi tentang Kristus, yaitu hidup sengsara, wafat, dan kebangkitan sebagai hakikat mewujudkan persaudaraan dan belas kasih.
Prinsip subsidiaritas menjadi keutamaan dalam menghadapi krisis dan situasi yang tak menguntungkan bagi kaum miskin dan lemah, dengan cara membiarkan orang miskin memberitahu Anda bagaimana merekah hidup, apa yang mereka butuhkan. Biarkan semua orang berbicara (Licas.news, 24 /9 2020).
Di sinilah kebesaran seseorang itu baru teruji jika ia memberi dirinya untuk melayani, bukan dilayani atau praesis ut prosis, ne ut imperes (pemimpin untuk melayani, bukan untuk memerintah), yang memiliki makna intrinsik servus servorum Dei (hamba dari segala hamba Tuhan).
Karena spirit Kritiani ini menjadi semacam tonikum atau transfusi darah bagi Gustavo dalam menunaikan visi dan perjuangannya membela kaum miskin dan tertindas tanpa menganggap dirinya sebagai seorang imam yang suci, pembesar gereja, atau intelektual terpandang.
Gustavo, alumni Universitas Katolik Lyion, Prancis dan Universitas Katolik Leuven, Belgia, berani mengambil risiko, dengan berpihak pada orang miskin dan tertindas tanpa mengabaikan komunikasi dan menjaga keseimbangan dengan semua pihak, termasuk pemerintah yang berkuasa serta pihak hierarki gereja.
Namun, ia juga tidak kecut dan ciut nyali terhadap ancaman, kritik, hinaan, dan antipati dari para penguasa yang memerintah, termasuk kecurigaan sekelompok kardinal konservatif di Vatikan atas gerakan kemanusiaan adil dan beradab, yang tercermin dalam teologi pembebasannya yang diduga condong pada paham Marxisme-Komunisme sebagai musuh utama Gereja Katolik.
Ia juga tetap menjalin komunikasi yang konstruktif serta respek terhadap segala saran dan arahan Vatikan sekaligus berhasil merehabilitasi hubungannya yang sempat retak dengan negara mungkin di tengah Kota Roma yang menjadi pusat Gereja Katolik sedunia itu.
Karena jasa-jasanya pada kaum miskin hingga pendiri Institut Bartolome de las Casas, guru besar teologi dan ilmu sosial Universitas Notre Dame (AS) serta Universitas Kepausan Katolik Peru sekaligus penerima penghargaan Pacem in Terris tahun 2018, Paus Fransiskus, mengirimnya surat emosional untuk ulang tahunnya yang ke-90.
Sri Suci mengakui kontribusi Gustavo yang sangat besar kepada gereja dan kemanusiaan. “Terima kasih atas semua yang telah Anda sumbangkan bagi Gereja dan kemanusiaan, melalui pelayanan teologis Anda dan keberpihakan Anda terhadap orang miskin dan mereka yang terbuang dari masyarakat,” kata Sri Paus yang terkenal dengan keberpihakannya bagi masyarakat miskin di masa pontifikalnya (La Republica/Katolikana, 23 Oktober 2024).
Gustavo benar-benar membawa gereja menjadi tiang api moral yang tidak hanya mewartakan tentang kabar sukacita keselamatan akhir (eskatologis), tetapi juga kritis terhadap situasi nyata kehidupan masyarakat (umat).
Dalam situasi penindasan, ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang masif, gereja harus berani mengambil sikap, dengan berpihak, bukan gereja menunjukkan sikap netral.
Apalagi menjadi sekutu atau berkolaborasi dengan penguasa, mendukung segala kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak menguntungkan masyarakat, seperti program transmigrasi, akulturasi, investasi, dan eksploitasi yang dapat mengancam manusia dan budaya asli, termasuk merusak lingkungan dengan segala ekosistemnya. Itu tidak dapat dibenarkan.
Tokoh kemanusiaan dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian (1984) Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Mpilo Tutu (Alm) mengatakan, jika kamu bersikap netral di situasi ketidakadilan, maka kamu telah memilih berada di pihak penindas.
Atau meminjam kata-kata mantan Uskup Dioses Dili dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian (1996) Mgr Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, dalam realita kalau sudah menyangkut martabat pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional (1997: 127).
Karena itu, Gustavo tetap teguh dan konsisten dalam perjuangannya untuk menegakkan keadilan dan HAM tanpa syarat bagi semua orang, terutama untuk orang-orang yang tersingkir dan terabaikan. Hal itu dilakukan dengan satu tumpuan dan keyakinan bahwa keadilan dan kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.
Nilai-nilai itu akan memenangkan semua pertarungan, termasuk mengalahkan arus kekuasaan yang kian deras dengan berbagai gelombang kepentingan yang zig-zag dan tak menentu arah. Persis, seperti pepatah palma non sine pulvere (pohon palem bukannya tanpanya debu), yang berarti tak ada kemenangan (kesuksesan) tanpa jerih payah.
Gustavo benar-benar menghayati Injil dalam kehidupan nyata, dengan mengimani bahwa wajah Tuhan itu tercermin dalam diri sesama yang lain. Sebagaimana kata Santo Boethius (480-524), Tuhan itu tidak lain selain berbuat baik itu sendiri. Tuhan berada dalam diri orang-orang miskin dan tertindas, karena itu melaksanakan kasih kepada mereka adalah merealisasikan perintah Allah karena Allah adalah kasih.
Gustava juga telah membuktikan semua itu dengan cinta dan kasihnya kepada kaum papa di jagat, dimulai dari Amerika Latin yang dianggap sebagai benua paling miskin dan paling religius.
Rasanya benar juga kata Bunda Teresa dari Kalkuta, India, We ourselves feel that what we are doing is just a drop in the ocean. But the ocean would be less because of that missing drop; (kita merasa bahwa perbuatan kita hanyalah setetes air di samudra. Namun samudra akan berkurang jika setetes air tersebut tidak ada).
Tidak hanya di lapangan pelayanan pastoral melalui karya dan seruan-seruan kenabian (profetis) tetapi sebagai seorang filsuf, pemikir, dan cendekiawan populis paling berpengaruh di Amerika Latin satu abad terakhir.
Gustavo juga menggunakan berbagai panggung ilmiah, baik di ruang kuliah, penelitian, seminar, dan diskusi untuk menularkan pemikiran kritisnya tentang teologi pembebasan. Gustavo telah menunaikan fungsi intelektualnya dengan baik bagi perubahan dan kemanusiaan.
Persis dikatakan filsuf Albertus Magnus (1206-1280), biarawan dominikan dan cendekiawan Katolik abad ke-XII: cum amore et scientia serviamus homines (dengan cinta dan ilmu pengetahuan kita dapat melayani sesama).
Gustavo Gutierrez sebagai salah satu intelektual cemerlang abad ini juga sukses menjawab keraguan Antonio Gramsci (1891-1937), pemikir Marxis Italia: semua orang mempunyai fungsi intelektual tetapi tidak semua mau memanfaatkannya.
Semoga warisan humanis dan teologis yang ditinggalkan Gustavo Gutierrez menjadi mozaik terindah dalam atlas kemanusiaan yang terus menginspirasi dan menerangi jiwa dan jalan pikiran generasi orang beriman dan tidak beriman yang masih berziarah di jagat ini untuk terus melanjutkan tugas dan karya humanis dan teologis Gustavo sebagai nabi kaum miskin.
Tepat yang ditulis Gustavo —imam bertubuh kecil— selalu kontras dengan patung intelektualnya yang berukuran lebih besar. Gustavo adalah salah satu dari segelintir intelektual Katolik Abad ke-20 yang benar-benar mewariskan jejak permanen pada Gereja. Que descansa em Paz, Padre Gustavo Gutierrez! Liberte.