Memandang Kekerasan di Tanah Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Memandang Kekerasan di Tanah Papua

Methodius Kossay, kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti

Loading

Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti

SEJAK 59 tahun integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah pusat dan sebagia warga negara Indonesia telah melakukan stigmanisasi terhadap setiap gerak gerik orang asli Papua di tanah bumi Cenderawasih.

Stigma meminjam pandangan Scheid TL dan Brown TN dalam A Handbook For Study Of Mental Health Social Contexts terbitan Cambridge University Press, New York (2010) dalam kajianpustaka.com, memiliki rumusan yang hemat penulis mirip sebagaimana menerpa dan dialami pemerintah dan masyarakat Papua saban waktu.

Stigma dijelaskan sebagai pikiran, pandangan dan kepercayaan negatif yang diperoleh seseorang dari masyarakat atau lingkungannya berupa labeling, stereotip, separation dan mengalami diskriminasi sehingga mempengaruhi diri individu secara keseluruhan. Stigma diciptakan oleh suatu masyarakat ketika melihat sesuatu yang dianggap menyimpang atau aneh karena tidak seperti yang lainnya.

Stigma diberikan pada sesuatu hal yang memalukan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, sehingga menyebabkan penurunan percaya diri, kehilangan motivasi, penarikan diri dari kehidupan sosial, menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan perencanaan masa depan.

Stigma tersebut diberikan oleh pemerintah kepada kelompok atau oknum tertentu yang secara represif melakukan tindakan kekerasan dan perlawanan melalui aksi kontak senjata dengan TNI-Polri di tanah Papua. Stigma tersebut berdampak negatif dalam kehidupan sosial budaya orang Papua sejak inregrasi ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi 59 tahun silam.

Stigma orang Papua

Ruang gerak orang Papua secara tidak langsung dikerdilkan dengan stigma tersebut lalu seolah menjadi keyakinan dan kepercayaan kolektif warga bangsa. Stigma tersebut juga menghambat kehidupan dalam perkembangannya di manapun orang Papua berada. Termasuk dalam memperjuangkan harkat dan martabat orang Papua di tanah leluhurnya sendiri.

Aneka stigma kerap dituduhkan oleh pemerintah pusat terhadap orang Papua. Misalnya, kelompok separatis, pelaku makar, orang tak dikenal (OTK) atau gerakan pengacau keamanan (GPK). “Baptisan” lain paling muthakir tahun 2021 ialah kelompok kriminal bersenjata (KKB) plus teroris. Label KKB dengan embel-embel teroris memberikan dampak negatif bagi orang Papua dalam relasi kehidupan sosial dan kenegaraan.

Dalam setiap kegiatan orasi atau demo damai yang dilakukan oleh orang Papua di setiap kota besar di Indonesia, aneka sematan di atas, termasuk kelompok separatis atau pelaku dan makar segera hadir. Hal ini sering terjadi pada mahasiswa Papua yang sedang menyenyam pendidikan di luar Papua. Saat mereka melakukan orasi atau demo damai dalam menyuarakan aspirasinya untuk dan menuntut keadilan dan kebenaran, stigma kaum separatis atau pelaku makar segera hadir lalu dikenakan kepada mereka. Lalu alamatnya jelasL diangkut menggunakan mobil atau truk aparat ke kantor polisi. Dinamika seperti ini sering sekali terjadi.

Stigma kekerasan

Belum lagi stigma terhadap orang Papua bahwa orang Papua indentik dengan kekerasan. Stigma seperti ini merupakan salah satu bagian dari pembunuhan karakter (character assassination) orang Papua. Dampak stigma ini membuat mahasiswa Papua yang tinggal di perantauan pun kerap sulit untuk mendapatkan pemondokan, tempat tinggal selama kuliah.

Belum lagi stigma bahwa orang Papua suka mengkonsumsi miras dan membuat gaduh atau anarkis. Sehingga pemilik kos.rumah enggan untuk menyewakan kepada orang asli Papua, walaupun tidak semuanya.

Kasus teranyar, publik dihebohkan dengan insiden kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang disebut sebagai anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) melalui aksinya menyebabkan delapan orang pekerja dari PT Palapa Timur Telematika (PTT) yang sedang memperbaiki tower base transceiver station (BTS) 3 Telkomsel meninggal dunia di Kampung Kago, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua.

Tentu aksi yang dilakukan oleh KKB memiliki motif tertentu, walauapun dengan cara kekerasan yang dilakukannya. Aksi kekerasan yang dilakukan ini tidak hanya sekali namun juga beberapa kali di wilayah pegunungan. Sebelumnya, aksi kekerasan juga terjadi melalui aksi kontak senjata terjadi antara KKB dan TNI-Polri di tanah Papua.

Kekerasan KKB dan TNI harus dihentikan karena hal tersebut menyebabkan ketakutan dan banyak korban jiwa yang akan berjatuhan. Belum lagi para pengungsi di Nduga, Intan Jaya, dan beberapa kabupten lain, yang saat ini masih tinggal di hutan.

Jika menengok ke belakang, operasi militer di tanah Papua terjadi sejak 1969 hinggga 1998 dimaksudkan untuk mengakhiri gerakan bersenjata OPM yang beroperasi di hutan dan daerah pedalaman Papua. Namun, apa yang terjadi jika beakangan ini ada pengiriman aparat penegak hukum secara berkesinambungan ke tanah Papua. Apakah ini bagian dari strategi dan kembali kepada rezim Orde Baru?

Perlu diketahui, semakin banyak pengiriman aparat ke tanah Papua malah berpotensi memperkeruh suasana. Kekerasan akan akan terus meningkat dan beranak pinak. Masyarakat sipil akan berada di bawah bayang-mayang konflik senjata antara kelompok kekerasan berhadapan aparat keamanan. Karena itu, seharusnya negara berhenti mengirim aparat ke tanah Papua. Cukup berdayakan aparat yang ada di sana. Papua saat ini memerlukan sebuah solusi konkrit. Solusi yang benar-benar menyelesaikan masalah provinsi kaya raya paling timur Indonesia itu.

Tinggalkan Komentar Anda :