Meaningfull Participation dan Pemekaran Provinsi di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Meaningfull Participation dan Pemekaran Provinsi di Papua

Hyero Ladoangin, Pemerhati Kebijakan Publik. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Hyero Ladoangin
Pemerhati Kebijakan Publik

DAERAH Otonomi Baru, dalam bentuk formalnya merupakan sebuah Undang-Undang (UU) yang dihasilkan melalui proses legislasi yang melibatkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sebuah Undang-Undang yang baik harus memenuhi standar pembentukan, baik formil maupun materil yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan, rawan dibatalkan ketika dilakukan uji materiil, judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia.

Menurut John Hart Ely dalam Democracy and Distrust (1981), judicial review bertujuan untuk memastikan terpenuhinya asas-asas pembentukan undang-undang. Hakim Mahkamah Konstitusi hanya mengafirmasi prosedur pembentukan undang-undang. Ketika secara prosedur sudah benar dan asas-asas pembentukan Undang-Undang sudah terpenuhi, maka pengujian materil tidak lagi relevan. John Hart Ely, pakar hukum Amerika Serikat, hendak menyatakan betapa pentingnya aspek formil dalam proses pembentukan Undang-Undang. Jika prosedur sudah terpenuhi dengan “bermakna”, tidak sekadar formalitas maka sudah barang tentu secara materil Undang-Undang tersebut baik adanya.

Salah satu aspek formil penting dalam proses pembentukan Undang-Undang adalah partisipasi publik. Meskipun diletakkan di Pasal 96, bagian terakhir dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, partisipasi publik menjadi bagian penting dalam prosedur pembentukan Undang-Undang. Hal ini kemudian diafirmasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan 91/2020. Putusan atas pengujian terhadap Undang-Undang Cipta Kerja tersebut menjadi sangat monumental karena Mahkamah Konstitusi untuk pertama kalinya mengabulkan uji formil terhadap sebuah Undang-Undang.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningfull participation) yang mensyaratkan tiga hal yakni hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas dan dilakukan dalam setiap tahapan pembentukan Undang-Undang. Partisipasi publik dalam pembentukan UU dapat berupa konsultasi, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholders), hearing, dan lain-lain yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

Pelibatan masyarakat

Dalam konteks rencana pembentukan daerah otonom baru di Papua, masyarakat dan stakeholders yang harus dilibatkan sebagai bagian dari partisipasi publik adalah antara lain Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Majelis Rakyat Papua (MRP), Lembaga-lembaga Adat Papua, kelompok mahasiswa, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh perempuan.

Sejauh ini, pelibatan masyarakat masih sekadar formalitas. Indikasinya adalah banyak kelompok masyarakat dan stakeholders menyampaikan penolakan. Ada kelompok mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi di Jayapura dan di Jakarta, Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang menyampaikan penolakannya, dan Ketua Majelis Rakyat Papua yang secara tegas menyampaikan penolakannya secara terbuka beberapa waktu lalu di media.

Adapun upaya pemerintah dengan mengajak bupati-bupati di daerah Pegunungan Tengah dan di daerah selatan Papua belum cukup berhasil meredam resistensi di masyarakat. Kondisi-kondisi ini, jika tidak segera dibenahi akan berakibat pada tidak terpenuhinya syarat partisipasi bermakna, meaningfull participation dan dapat dikategorikan sebagai cacat formil.

Persoalan lainnya, jika penolakan oleh Ketua MRP dan Komisi A DPRP dimaknai sebagai sikap lembaga maka akan berdampak serius terhadap keabsahan UU DOB. Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Otonomi Khusus Papua berbunyi, “Pemekaran Provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.”

Secara a contrario, klausal di atas dapat ditafsirkan “pemekaran tidak dapat dilakukan jika tidak ada persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua.” Meskipun Pasal 76 ayat (2) memberikan wewenang kepada pemerintah dan DPR RI untuk dapat melakukan pemekaran demi kepentingan strategis nasional, tetap saja klausal ayat (1) tidak berlaku karena tidak ada frasa di ayat (2) atau di bagian lain dalam Pasal 76 yang menegasikannya. Pemerintah harusnya belajar dari “kekalahan” dalam judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 45 tahun 1999, di mana Mahkamah Konstitusi mengafirmasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua dalam pemekaran provinsi di Papua.

Mahkamah Konstitusi pada saat itu mengabulkan permohonan John Ibo, yang ketika itu menjabat Ketua DPRD Papua, dengan menyatakan batal Undang-Undang Nomor 45 tahun 1999 karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa UU 45/1999 bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945. Negara melalui konstitusi Pasal 18B mengakui dan menghormati eksistensi kelompok masyarakat adat yang bersifat khusus. Wujud dari penghormatan negara terhadap orang asli Papua adalah dibentuknya MRP dan DPRP yang sebagian anggotanya diangkat dari unsur-unsur masyarakat adat melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Meskipun pada akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat) dan beberapa kabupaten yang dibentuk atas dasar UU 45/1999 tetap sah karena UU 21/2001 dibentuk kemudian, namun peran MRP dan DPRP diafirmasi oleh MK, terutama dalam hal pemekaran. Jika pemekaran adalah jalan terbaik menuju kesejahteraan masyarakat Papua, terutama orang asli Papua, maka Undang-Undang DOB harus berdayaguna, akomodatif, minim resistensi, dan futuristik serta dibentuk secara transparan dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan tanpa kecuali.

Tinggalkan Komentar Anda :