TRANSISI dari kekuasaan menuju kehidupan biasa bukanlah proses yang mudah. Banyak mantan pejabat, dari tingkat daerah hingga nasional, terjebak dalam dua kondisi psikologis yang berbeda tetapi saling terkait: Post Power Syndrome dan Duck Syndrome. Kedua fenomena ini menyingkap sisi manusiawi dari mereka yang pernah berada di pusat perhatian, keputusan, dan pengaruh.
Post Power Syndrome adalah kondisi kejiwaan yang sering menyerang seseorang setelah kehilangan kekuasaan. Gejalanya bisa berupa rasa hampa, kehilangan arah hidup, keinginan untuk tetap dianggap penting, hingga munculnya depresi dan kecenderungan untuk mencampuri urusan penggantinya. Mantan pejabat yang dulunya dielu-elukan kini menghadapi kesunyian, seolah dunia bergerak tanpa mereka.
Namun, sering kali kita hanya melihat permukaan dari mereka yang tampak masih aktif, tampil percaya diri, dan terus terlibat dalam berbagai forum. Di balik wajah tenang dan aktivitas itu, bisa jadi tersembunyi Duck Syndrome — istilah yang menggambarkan seekor bebek yang tampak tenang di permukaan air, tetapi sebenarnya mengayuh panik di bawahnya. Mantan pejabat yang terserang sindrom ini terlihat seolah telah berdamai dengan kenyataan, padahal mereka terus berjuang dengan kecemasan, rasa takut tidak relevan, dan pencarian identitas baru.
Dalam konteks sosial-politik Indonesia, kedua sindrom ini sangat relevan. Tidak sedikit mantan kepala daerah, menteri, atau anggota DPR yang berupaya mempertahankan eksistensinya dengan berbagai cara: membentuk kelompok loyalis, aktif di media sosial, mengkritik pengganti, bahkan kembali mencalonkan diri meski usia dan kondisi tak lagi prima. Ironisnya, beberapa justru tersandung kasus hukum karena gagal membedakan masa lalu dan masa kini.
Mengatasi sindrom ini membutuhkan kesiapan mental dan spiritual sejak masih menjabat. Seorang pemimpin sejati menyadari bahwa jabatan adalah titipan, bukan identitas abadi. Persiapan untuk “meletakkan mahkota” harus dilakukan sejak dini — membangun hobi baru, menata kehidupan keluarga, memperkuat relasi non-politis, hingga membuka ruang pelayanan di luar struktur kekuasaan.
Masyarakat pun perlu berperan. Kita mesti menghargai mantan pejabat sebagai pribadi, bukan sekadar sebagai simbol kekuasaan yang telah lalu. Hormat tidak berarti menyanjung berlebihan, dan kritik tidak harus menjadi cemoohan. Dengan keseimbangan ini, kita membantu para mantan pejabat melewati masa transisi dengan lebih sehat dan bermartabat.
Kekuasaan datang dan pergi, tetapi integritas dan kebijaksanaan adalah warisan yang abadi. Jika seorang mantan pejabat mampu melampaui Post Power Syndrome dan Duck Syndrome, ia justru akan menjadi teladan, bukan bayang-bayang dari kejayaan yang telah berlalu. (Editor)