ADA realitas sosial hari-hari ini di era digitalisasi yaitu, manipulasi komunikasi. Manipulasi komunikasi sangat kental teristimewa dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 hingga masa perhitungan hasilnya. Manipulasi komunikasi ini terutama dilakukan oleh kekuasaan melalui alat kekuasaannya.
Dengan memanfaatkan alat-alat kekuasaannya untuk menggolkan kandidatnya atau calonnya (representasi pusat) yang begitu merasuk sehingga mewarnai para pengikut dari pasangan calon atau paslonnya yang merupakan representasi kekuasaan.
Untuk itu penulis mencoba merekonstruksi beberapa pemikiran dari pandangan dan pendapat para sosiolog (ahli sosiologi) guna mengeksplor realitas itu.
Pertama, teori Hegemoni (Gramsci) yaitu kekuasaan menggunakan alat kekuasaannya dan mengontrol ideologi bukan sekadar untuk mendominasi kekuasaan fisik. Namun, lebih dari itu mengendalikan budaya, ideologi, dan manipulasi informasi.
Sehingga digunakan untuk membuat narasi atau menjaga narasinya tetap dominan dengan tujuan melemahkan pandangan alternatif atau pandangan lawannya agar menjadi lemah bahkan menggoyahkan lawannya. Dalam kasus pilkada melemahkan paslon lainnya.
Kedua, teori konflik (Marx), manipulasi komunikasi di tengah persaingan dan konflik kepentingan Marx menyatakan konflik terjadi karena perebutan kekuasaan atau sumber daya sehingga memanas.
Taktik yang digunakan adalah propaganda, manipulasi komunikasi atau provokasi untuk pencemaran nama baik. Bahkan juga merusak nama baik lawannya menjadi senjata yang ampuh untuk melemahkan pesaingnya dan sebaliknya memperkuat posisinya.
Ketiga, teori kesadaran kolektif (Durkheim), bagaimana kekuasaan berupaya sedemikian rupa sehingga menghancurkan solidaritas sosial. Solidaritas sosial bisa rusak karena manipulasi komunikasi yang dilakukan oleh kekuasaan sehingga terjadi disinformasi atau fragmentasi.
Efeknya, kepercayaan publik menurun terhadap lawannya (paslon lain), masyarakat menjadi terpolarisasi dan kerukunan serta kerapatan maupun keakraban sosial menjadi hancur berantakan.
Keempat, teori interaksi simbolik (Mead and Goffman), manipulasi komunikasi digunakan untuk membentuk persepsi publik dengan simbol dan narasi, bahasa, tokoh kharismatik untuk mempengaruhi cara masyarakat memandang paslon yang lain atau tokoh yang lain.
Hal itu dilakukan dengan menciptakan dan membentuk framing negatif terhadap saingannya dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan selama menjadi pejabat tidak sukses. Sisi negatif atau kelemahan utama dari lawannya disoroti atau digugat.
Tujuan dari framing negatif semacam ini agar masyarakat terprovokasi dan terhipnotis dengan propaganda dan provokasi, sehingga tidak percaya dan tidak mau memilih paslon yang bersangkutan.
Kelima, teori kontrol sosial (Hirschi), manipulasi komunikasi dilakukan melalui norma dan membangun ketakutan, menciptakan rasa takut dan ketidakpercayaan agar publik muda dikendalikan dan dikuasai. Strateginya, pengalihan isu, framing negatif atau menciptakan narasi ketakutan untuk mengontrol opini publik seperti dalam merespons hasil perolehan suara.
Misalnya dalam statistik atau matematis perolehan suara 49, 65 persen maka dibulatkan menjadi 50 persen. Sementara yang mencapai 50,4 persen tetap menjadi 50 persen. Artinya, posisi keduanya masih sama kuat, belum ada yang menjadi pemenang.
Jadi, sebagai masyarakat apalagi masyarakat politik mesti perlu kritis dalam membaca, menyimak, melihat, serta memfilter setiap informasi yang berseliweran di masa-masa percaturan pilkada dan hasil perhitungan serta tabulasi suara yang resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai institusi yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap pilkada. (Frans Maniagasi, Cempaka Putih)