SALATIGA, ODIYAIWUU.com — Dua guru besar yakni peneliti Bidang Sosiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Dr Cahyo Pamungkas dan Guru Besar Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Prof Dr Paschalis Maria Laksono, MA, Rabu (9/8) tampil di Auditorium F114 Kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah.
Saat sesi pertama, Prof Cahyo Pamungkas menyajikan materi tentang pola-pola hubungan kekuasaan dalam masyarakat Indonesia. Ia secara khusus membahas konsep dan kasus tentang nationalism, nation state, dan nation di Asia Tenggara khususnya di Indonesia.
“Ada tiga sumber utama disintegrasi bangsa,” ujar Cahyo dalam sesi pertama hari ketiga kegiatan Kuliah Umum dan Pelatihan Menulis Bagi Mahasiswa Papua sebagaimana keterangan tertulis yang diterima dari Salatiga, Jawa Tengah, Jumat (11/8).
Menurut Cahyo, sumber utama disintegrasi bangsa sebagai berikut. Pertama, corak Bhinneka Tunggal Ika yang fokus pada keanekaragaman suku-bangsa dan bukan kebudayaan yang jadi fokus keanekaragaman.
Kedua, sistem nasional yang otoriter, militeristik, koruptif, penuh sentimen suku, agama, ras dan golongan (SARA), dan sebagainya memunculkan ketidakadilan yang akhirnya menghasilkan konflik primordial.
“Ketiga, corak tidak demokratis di mana Soeharto hanya memberi lip service seputar negara demokratis meskipun terhadap Pancasila yang akhirnya obsolut,” katanya lebih jauh.
Sedangkan Prof PM Laksono menyajikan materi tentang komplikasi kebijakan manajemen wilayah pantai dan pulau-pulai kecil. Secara khusus ia menyoroti arti penting, masalah, dan komplikasi peraturan sumberdaya pantai dan pulau kecil.
“Berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah mengundang perubahan kewenangan pengelolaan pesisir pantai dan laut. Selain soal pembagian batas-batas teritorial antara kewenangan kabupaten dan provinsi, otonomi khusus juga mengakibatkan perubahan struktural,” ujar Prof PM Laksono.
Sedangkan dalam hal praktek komersial pengelolaan sumberdaya pantai dan pulau-pulai kecil, katanya, memangkas mata rantai yang menghambat peningkatan inefisiensi. Hal tersebut merupakan sebuah perjuangan reformasi yang tidak mudah untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan dan memperbaiki mutu lingkungan.
“Desentralisasi dan otonomi tanpa diikuti sistem monitoring untuk mencegah disinformasi, penggelembungan dan segala macam tindakan korup yang tidak tanggung gugat hanya akan merumitkan dan menambah beban biaya bagi pengelolaan pantai dan laut yang lestari terutama pada kawasan tepi laut empat mil dari garis pantai,” ujarnya.
Kegiatan kuliah umum dan pelatihan menulis berlangsung selama lima hari. Sebelumnya, acara tersebut menghadirkan Ketua Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur Universitas Atma Jaya Yogyakarta Dr Y Argo Twikromo, MA, pengamat sosial dan politik Papua asal Australia Prof Greg Poulgrain. Sedangkan pelatihan pembuatan komik didampingi oleh Aji Prasetyo, komikus Indonesia asal Malang. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)