JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Kunjungan apostolik pemimpin umat Katolik sedunia Paus Fransiskus ke Vanimo, Papua Nugini sangat amat bersejarah bagi masyarakat Melanesia, termasuk dalam perkembangan dinamika pastoral bagi warga lokal di West Papua.
Sri Paus akan hadir pada Minggu (8/9) setelah 180 tahun lalu Takhta Suci Vatikan mengeluarkan dokumen penting untuk menentukan nasib dan masa depan gereja lokal di kawasan Melanesia dan Mikronesia. Hal ini dapat dilihat dari dokumen Ex Debbito Pastoralis 19 Juli 1844. Dokumen ini dikeluarkan Paus Gregorius XVI dari Roma untuk membentuk Vikariat Mikronesia dan Vikariat Melanesia.
Ketua Tim Kerja Dapur Harapan Papua Yan Ukago mengatakan, kedua vikariat itu memiliki wilayah dari 125 derajat bujur timur sampai 160 derajat bujur barat, meliputi Nova Guinea (Papua), Tobbia, William, Shouten Eilanden, Vesset, Timollant, Ariou, dan sejumlah wilayah lainnya.
“West Papua secara historis bagian integral dari Melanesia. Tetapi dalam administrasi pemerintahan, 60 tahun terakhir menjadi bagian dari Indonesia. Wilayah ini sekarang meliputi enam daerah otonomi baru yakni Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya,” ujar Yan Ukago melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Kamis (29/8).
Kehadiran Sri Paus di Vanimo, ujar Ukago, mengikuti kebijakan pendahulunya. Salah satu tokoh misionaris sentral adalah Cornelis Le Cocq d’Armandville. Le Cocq masuk di Kampung Sekru, Fakfak, Papua Barat pada 22 Mei 1894. Setahun kemudian, tepat 1 Mei 1895 ia membuka pos misi pertama di Pulau Bonyom, Kampung Bronkendik, Fakfak, Papua Barat.
“Misi ini kemudian dilanjutkan oleh Kongregasi Hati Kudus Yesus (MSC) setelah Pastor Le Cocq meninggal dunia 27 Mei 1896 di Kampung Kipia dan Mapar, Mimika Barat, Papua Tengah. Misionaris MSC mulai masuk di Merauke pada 14 Agustus 1905. Sekarang telah mencapai usia 119 tahun,” katanya.
Ukago menjelaskan, Kongregasi MSC tidak hanya berkarya di selatan Papua. Tetapi juga wilayah Asmat, Mimika, Babo, Kaimana, Fakfak, Manokwari dan Jayapura pernah pula menjadi bagian dari wilayah karya perintisan mereka pada masa-masa sulit.
Mengingat kebun sagu dan patatas Tuhan ini sangat luas, ujar Ukago, anggota MSC mengundang saudaranya dari komunitas Ordo Fratrum Minorum (OFM) di Belanda untuk melayani di bagian utara Nueva Guinea. Pada 1937 imam-imam Fransiskan mulai masuk di tanah misi.
Kemudian Ordo Santo Agustinus (OSA) sebelum mengambil fokus di wilayah Kepala Burung, Sorong dan sekitarnya, bekerja di Keerom pada 1950-an. Terakhir dari Ordo Salib Suci (OSA). MSC di Merauke mengundang mereka untuk fokus melayani umat di wilayah Asmat dan sekitarnya. Daerah lumpur menjadi lahan bagi komunitas ini. Sejak 1950-an, mereka berkarya hingga berakhir pada tahun 2000-an.
Mereka semua ini ibarat kakak beradik. Berasal dari satu ibu. Tinggal dalam satu rumah. Berkebun di ladang yang sama, tidur bangun, dan makan minum bahkan jatuh bangun serta merasakan suka duka bersama. Satu sama lain saling melengkapi, mendukung, menolong dan menghormati.
Dalam kerendahan hati Allah, kata Ukago, mereka menyebarkan kasih dan karya keselamatan Allah. Harus diakui secara jujur, wajah gereja hari ini merupakan buah dari perjuangan dan pengorbanan dari orang-orang di masa lalu, termasuk anak-anak perintis.
“Tidak ada yang kebetulan. Semua terjadi menurut kehendak Allah. Allah menghendaki Paus Gregorius XVI membuka lahan kebun sagu dan petatas. Allah pula menghendaki Pastor Le Cocq dan Henri Nollens bersama teman-temannya masuk di tanah misi. Allah yang sama setelah mengutus banyak orang, kini menghendaki Paus Fransiskus untuk bersentuhan dengan tanah leluhur orang Melanesia,” ujar Ukago.
Jika pada 300-an Masehi Yesus Kristus meletakkan dasar misi keselamatan Allah kepada Santo Petrus, yang menjadi Paus pertama di Roma, Pastor Le Cocq meletakkan misi Apostolik yang sama di atas pundak manusia Papua 130 tahun silam.
“Bagi orang Katolik di Papua kunjungan Sri Paus bukan sekadar kunjungan apostolik. Lebih dari itu kunjungan ini dapat menguatkan iman, harapan, dan keselamatan kepada Yesus Kristus. Umat Katolik di tanah Papua cukup lama menantikan kehadiran Sri Paus. Bahkan sangat berharap untuk melihat dan mendapat berkat dari jarak dekat. Jarak tempuhnya dari kota Jayapura ke Vanimo dengan kendaraan hanya berkisar 97,0 km dan bisa menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam,” katanya.
Sayangnya, kata Ukago, banyak umat yang kurang mendapatkan akses informasi. Bahkan ingin sekali ikut, tetapi terkendala dengan biaya pembuatan paspor dan visa. Sehingga kehadiran dan kepergian Bapa Suci hanya akan menyisakan kesedihan bagi umat yang tidak mampu dan sulit mendapatkan akses masuk.
Tidak terkecuali, semua orang ingin mendapatkan berkat khusus dari kunjungan ini. Semua umat berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan doa, kerinduan, pergumulan dan harapan umat untuk melihat Paus dari dekat.
“Semoga kehadiran Paus kali ini dapat memulihkan jejak kaki para leluhur dan nenek moyang di atas tanah ini. Juga menyegarkan benih-benih iman yang lama layu dan tidak menghasilkan buah. Semoga kesejukan dan kedamaian hati Yesus nampak di tanah Melanesia, di tengah ancaman pemanasan global. Salam Satu Papua Satu Katolik – Satu Katolik Satu Papua,” ujar Ukago. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)