DALAM beberapa tahun terakhir, intoleransi terhadap umat Kristiani di Indonesia kian mengkhawatirkan. Berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, pembubaran ibadah, hingga penolakan pembangunan gereja terus terjadi secara berulang di berbagai daerah. Fenomena ini mencerminkan gejala yang lebih luas dan dalam: meningkatnya Kristenphobia atau ketakutan dan kebencian sistemik terhadap umat Kristiani.
Kristenphobia tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari akar intoleransi yang dibiarkan menguat, dari tafsir sempit keagamaan yang tidak ditantang, serta dari ketidaktegasan negara dalam melindungi hak setiap warga negara, apa pun agamanya. Dari Jawa Barat, Banten, hingga Sumatera dan Sulawesi, berbagai peristiwa menunjukkan pola yang sama: tekanan massa berbasis agama terhadap kelompok minoritas Kristen, yang kerap dibiarkan oleh aparat dan otoritas lokal.
Kasus-kasus mutakhir membuktikan hal ini. Di Sukabumi, ibadah pemuda Kristen dibubarkan paksa oleh sekelompok warga. Di Tangerang dan Bekasi, ibadah mingguan dihentikan karena dianggap tak memiliki izin resmi, walaupun sebenarnya banyak rumah ibadah Kristen kesulitan mendapat izin akibat penolakan warga yang sistemik. Bahkan di Jombang, seorang pendeta dipaksa menghentikan kegiatan gereja karena tekanan massa, bukan karena pelanggaran hukum apa pun.
Laporan dari lembaga seperti Setara Institute, Wahid Foundation, hingga Open Doors International secara konsisten menempatkan Indonesia dalam daftar negara dengan tingkat tekanan tinggi terhadap umat Kristen. Bahkan menurut World Watch List 2025, Indonesia termasuk 50 besar negara di dunia yang paling tidak ramah terhadap Kristiani. Persekusi terhadap mualaf Kristen, penolakan terhadap pembangunan gereja, serta kekerasan verbal dan fisik menjadi gejala yang terus berulang.
Yang lebih mengkhawatirkan, intoleransi ini juga menjangkiti generasi muda. Laporan investigatif menunjukkan adanya praktik diskriminasi di sekolah terhadap siswa Kristen, baik dalam bentuk perundungan maupun tekanan sosial. Media sosial pun menjadi ruang baru penyebaran ujaran kebencian dan teori konspirasi terhadap komunitas Kristiani, yang tidak jarang diabaikan oleh aparat penegak hukum.
Sementara itu, regulasi seperti SKB Dua Menteri tentang rumah ibadah justru menjadi alat legitimasi untuk membatasi kebebasan beragama. Izin mendirikan gereja bisa memakan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, karena memerlukan persetujuan mayoritas warga sekitar—yang dalam banyak kasus justru menjadi hambatan utama.
Fakta-fakta ini mengarah pada satu kesimpulan yang pahit: pemerintah terbukti tidak berdaya menghentikan meningkatnya Kristenphobia di Indonesia. Baik pemerintah pusat maupun daerah sering kali bersikap pasif, kompromistis, atau bahkan abai terhadap aksi-aksi intoleransi yang terang-terangan melanggar konstitusi dan hak asasi manusia.
Indonesia dibangun di atas dasar kebhinekaan dan kebebasan beragama. Namun jika negara tak lagi mampu melindungi minoritas, maka nilai-nilai itu tidak lebih dari sekadar slogan kosong. Kristenphobia bukan hanya persoalan umat Kristen—ini adalah ujian bagi keberadaban bangsa. (Editor)