DPD RI Sebut Kontrak LNG Tangguh Teluk Bintuni Harus Tunduk pada UU Otsus Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

DPD RI Sebut Kontrak LNG Tangguh Teluk Bintuni Harus Tunduk pada UU Otsus Papua

Kilang Liquefied Petrolium Gas (LNG) Tangguh, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. Sumber foto: indoplaces.com, Minggu, 28 Juni 2015

Loading

JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Perusahaan Badan Pengelola (BP) Kontrak Liquefied Petrolium Gas (LNG) Tangguh, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat dikabarkan telah meminta perpanjangan kontrak kerja sama berupa Production Sharing Contract/PSC minyak dan gas bumi (migas) kepada pemerintah Indonesia.

Permintaan perpanjangan kontrak itu diajukan lebih awal mengingat perusahaan tersebut hendak mempertahankan produksi tiga train kilang LNG Tangguh melalui eksplorasi yang dipercepat. Padahal, kontrak tersebut baru akan berakhir pada 2035.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia asal Papua Barat Dr Filep Wamafma, SH, M.Hum, CLA, meminta agar pemerintah tidak secara langsung menerima permohonan tersebut. Pemerintah, kata Filep, perlu mengkaji lebih dalam sebelum mengambil keputusan.

“Kita tahu bahwa pasca Undang-Undang Cipta Kerja, ruang lingkup kewenangan daerah di bidang investasi menjadi pertanyaan. Apalagi jika itu sudah berkaitan dengan kebijakan strategis nasional. Tetapi sebagai wakil rakyat, saya meminta agar permohonan BP Tangguh tersebut harus memperhatikan aspek-aspek krusial dalam investasi,” kata Filep kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Sabtu (19/11).

Senator putra asli Papua ini menegaskan, salah satu aspek krusial dalam rangka investasi di daerah otonomi khusus (otsus) ialah partisipasi masyarakat terdampak. Perlu diingat, sebagai salah satu proyek strategis nasional, pengembangan LNG Tangguh harus ditempatkan dalam kerangka tata ruang daerah.

“Meskipun pemerintah pusat menetapkannya dalam kawasan strategis nasional berdasarkan UU Cipta Kerja, namun pemerintah daerah harus dilibatkan, karena hal ini berkaitan dengan visi-misi daerah,” tegas Filep lebih jauh.

“Apalagi kalau kita bicara tata ruang pertanahan, Pasal 4 ayat 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menegaskan bahwa gubernur berkoordinasi dengan pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi,” ujar Filep.

Begitu juga dalam Pasal 38 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tersebut juga disebutkan, usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.

“Artinya, dalam melakukan usaha-usaha perekonomian tersebut, wajib hukumnya memperhatikan sumber daya manusia setempat dengan mengutamakan Orang Asli Papua. Inilah yang saya maksud dengan titik krusial, yakni pelibatan masyarakat adat,” tambah Filep.

“Pelibatan pemerintah daerah, sama juga dengan pelibatan masyarakat adat. Bahkan pelibatan masyarakat adat harus dilakukan, mulai dari pertimbangan penerimaan atau penolakan permohonan perpanjangan kontrak, hingga pelibatan dalam hal tenaga kerja di sana. Ada tujuh suku asli yang harus dilibatkan. Merekalah pemegang hak ulayat, yang kepada mereka pihak BP Tangguh dan pemerintah pusat meminta izin,” kata Filep menegaskan.

Anggota Komite I DPD RI ini menambahkan bahwa perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu sebelum memberikan keputusan terkait permohonan perpanjangan kontrak tersebut. Evaluasi ini harus menyentuh aspek-aspek substansial yang sudah seharusnya dipertimbangkan secara seksama.

“Dalam konsep tata kelola investasi semacam ini, perlu ada evaluasi menyeluruh dulu. Evaluasi itu mencakup dampak terhadap masyarakat adat, lingkungan, partisipasi masyarakat, prosentasi realisasi tanggungjawab sosial atau corporate social responsibility, dan dampak terhadap pendidikan dan kesehatan orang asli. Semua hal itu harus menjadi pertimbangan dan masyarakat adat harus dilibatkan dalam persetujuan terhadap permohonan tersebut,” tegas Filep lagi.

“Merujuk pada Pasal 4 ayat 2 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021, kewenangan khusus Pemerintah Provinsi dalam rangka otsus yaitu pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Hal ini termasuk juga kewenangan di bidang penanaman modal dan pemberdayaan masyarakat/kampung adat,” ujar Filep.

Ia menekankan, kewenangan tersebut tidak boleh diabaikan yang dalam pelaksanaannya dan tetap melibatkan masyarakat adat setempat.

“Jadi, saya minta pemerintah ousat untuk mendengarkan suara tujuh suku di Papua Barat. Merekalah yang bisa menentukan perpanjangan kontrak dari BP Tangguh ini. Bukankah OAP harus jadi tuan di negerinya sendiri? Hargai dan hormati eksistensi itu! Jadi, singkatnya, kontrak BP Tangguh harus tunduk pada Undang-Undang terkait otonomi khusus dan peraturan turunannya,” ujar Filep, doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Hasanuddin Makasar. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :