HUKUM adalah pilar utama dalam menjaga ketertiban dan keadilan di sebuah negara. Ia ibarat fondasi yang menopang demokrasi, memastikan hak-hak warga negara terlindungi, serta memberikan kepastian bagi setiap individu. Namun, bagaimana jadinya jika para penegak hukum justru menjadi aktor utama dalam meruntuhkan hukum itu sendiri?
Di Indonesia, praktik mempermainkan, memperdagangkan, hingga menghancurkan hukum oleh aparat penegak hukum bukan lagi sekadar isu, melainkan sebuah realitas yang terus berulang. Suap di lingkungan peradilan, rekayasa kasus, serta penyalahgunaan wewenang oleh kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan mencerminkan hukum yang semakin kehilangan marwahnya.
Tidak sulit menemukan kasus di mana hukum diperjualbelikan layaknya komoditas. Putusan hukum bisa dinegosiasikan asalkan ada ‘mahar’ yang cukup. Dari jual beli perkara di kejaksaan, hakim yang bisa disuap, hingga aparat kepolisian yang melindungi bandar narkoba dan pelaku kejahatan berat, semuanya menegaskan bahwa hukum di Indonesia kerap tunduk pada kepentingan uang dan kekuasaan.
Kasus suap yang menyeret hakim dan aparat penegak hukum lainnya menegaskan bahwa keadilan bukan lagi hasil dari proses hukum yang objektif, melainkan transaksi di bawah meja. Mafia peradilan yang melibatkan advokat, jaksa, dan hakim terus mencederai kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Banyak masyarakat kecil menjadi korban rekayasa kasus karena ketidakmampuan mereka membeli keadilan. Sementara itu, pelaku kejahatan kelas kakap justru melenggang bebas karena memiliki jaringan dan kekuatan modal. Kasus salah tangkap yang berujung pada penderitaan orang-orang tak bersalah menunjukkan betapa hukum dapat dengan mudah diputarbalikkan oleh mereka yang berkuasa. Tidak sedikit kasus di mana tersangka dibuat seolah-olah bersalah hanya karena ada kepentingan politik atau ekonomi di balik layar. Sementara itu, ketika kasus yang melibatkan pejabat atau elite politik muncul, penyelesaiannya kerap dilakukan dengan cara manipulatif—entah dengan pemangkasan hukuman, vonis bebas, atau sekadar hukuman ringan yang jauh dari rasa keadilan.
Institusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga supremasi hukum. Namun, kenyataannya, tidak sedikit aparat yang justru menjadi bagian dari masalah. Tindakan represif yang berlebihan, penyalahgunaan kekuasaan, hingga keterlibatan dalam praktik ilegal semakin mengikis kepercayaan publik terhadap penegak hukum.
Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap hukum, tatanan sosial menjadi rapuh. Rasa ketidakadilan yang terus-menerus dipupuk oleh praktik penegak hukum yang menyimpang dapat melahirkan sikap apatis dan keputusasaan. Akibatnya, masyarakat cenderung mencari keadilan dengan cara mereka sendiri, yang pada akhirnya dapat mengarah pada anarki.
Praktik buruk dalam penegakan hukum ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Reformasi sistem peradilan harus menjadi prioritas. Pengawasan terhadap aparat hukum harus diperketat, hukuman bagi mereka yang melanggar kode etik harus diperberat, dan transparansi dalam setiap proses hukum harus dijamin.
Selain itu, perlu adanya komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk menindak tegas siapa pun yang merusak tatanan hukum. Tanpa langkah konkret, hukum akan terus dipermainkan oleh mereka yang memiliki kuasa dan uang, sementara rakyat kecil hanya bisa pasrah menghadapi ketidakadilan yang semakin menjadi-jadi.
Hukum harus kembali menjadi panglima, bukan sekadar alat bagi mereka yang berkuasa. Jika para penegak hukum terus meruntuhkan hukum, maka kehancuran sistem peradilan hanya tinggal menunggu waktu. Dan ketika hukum kehilangan wibawanya, negara ini akan berada di ambang kehancuran yang lebih besar. (Yakobus Dumupa/Editor)