NABIRE, ODIYAIWUU.com — Tim kuasa hukum keluarga korban Yeremias Magai mengadukan kasus kematian kliennya ke Kepolisian Daerah (Polda) Papua. Yeremias Magai, diduga dianiaya dan disiksa oleh anggota Kepolisian Resor (Polres) Nabire saat kunjungan apostolik pemimpin umat Katolik sedunia Fransiskus di Indonesia pada 3 September 2024.
Para kuasa hukum masing-masing Yustinus Butu, SH, MH, Thomas Ch Syufi, SH, dan Drs Aloysius Renwarin, SH, MH meminta Polda Papua segera menyikapi kasus kematian kliennya. Degei adalah katekis (pewarta) di Komunitas Basis (Kombas) Santo Agustinus Wagia Siriwo, Stasi Kristus Raja Damai, Paroki Santo Antonius Bumi Wonorejo, Nabire, Keuskupan Timika.
“Korban Yeremias Magai dituduh anggota Polres Nabire membunuh Supriyono (32), anggota Satuan Polisi Pamong Praja Pemda Nabire di Pos Jaga CV Kurnia Jasa Mandiri, Jalan Poros Samabusa, Kelurahan Sanoba, Distrik Nabire, Kabupaten Nabire pada tanggal 23 Agustus 2024,” ujar Thomas Ch Syufi, SH kepada Odiyaiwuu.com dari Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Selasa (8/10).
Padahal, menurut Thomas, hasil investigasi tim kuasa hukum keluarga korban mengindikasikan bahwa tuduhan aparat Polres Nabire terhadap Yeremias Magai janggal dan tidak benar. Keluarga korban mengaku ada ketidakadilan dalam penegakan hukum. Korban diduga mengalami tindakan penganiayaan dan penyiksaan di Polres Nabire yang berujung kematian.
“Tuduhan sekaligus tindakan penganiayaan dan penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota Polres Nabire yang berakibat kematian Yeremias Magai tidak memiliki bukti kuat. Kami menilai kasus ini penuh intrik dan rekayasa yang dilakukan oleh aparat Polres Nabire,” kata Thomas lebih lanjut.
Thomas menegaskan, tindak kekerasan maupun extra judicial killing (pembunuhan di luar hukum/belum atas putusan pengadilan) tidak dapat dibenarkan dari aspek apa pun, terutama dari optik hak asasi manusia maupun hukum positif. Tindakan tersebut, ujarnya, merupakan penyimpangan serius dan sistematis dalam dunia hukum yang dilakukan aparat Polres.
“Tindakan tak terpuji itu merendahkan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan sekaligus melanggar hak asasi manusia. Keluarga korban merasa kehilangan seorang anggota keluarga yang adalah seorang katekis dan pegawai rendahan di Pemda Nabire. Mirisnya, dugaan penganiayaan yang berujung kematian bertepatan dengan hari pertama kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Indonesia,” ujar Thomas.
Pihak keluarga korban, kata Thomas, menyesalkan peristiwa tragis yang dialami Yeremias bertepatan di mana umat Katolik di Asia-Pasifik, termasuk umat Katolik Indonesia tengah bergembira menyambut kehadiran Sri Paus, Kepala Negara Tahta Suci Vatikan di Indonesia.
Peristiwa tragis itu mengoyak hati umat Katolik di tanah Papua khususnya umat Katolik Keuskupan Timika atas kematian Yeremias, katekis (pewarta) atas tuduhan yang tidak mendasar. Apa pun jenis tuduhannya, setiap tersangka atau terdakwa tidak dipandang sebagai orang yang bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
“Tudingan Polres Nabire terhadap Yeremias Magai, Ken Boga, dan Agus Tagi sebagai pihak yang diduga membunuh Supriyono, yang dibunuh oleh orang tak dikenal adalah sesuatu yang direkayasa. Kepolisian tidak memiliki cukup bukti, yaitu cacat formil di mana kepolisian tidak mengantongi dua alat bukti permulaan yang cukup,” kata Thomas.
Thomas menegaskan, atas bukti permulaan yang tidak cukup, perintah penangkapan (penahanan) terhadap Yeremias Magai maupun Ken Boga tidak sah. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 17 KUHAP yang menyatakan, perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Atas tuduhan yang disematkan kepada Yeremias Magai, Ken Boga, dan Agus Tagi oleh Polres Nabire, pihak keluarga juga tidak pernah diundang atau dipanggil untuk melakukan klarifikasi atau keterangan awal sebagai saksi guna membuktikan ketiganya, Magai, Biga, dan Tagi terduga pembunuhan Supriyono.
Penangkapan atau penahanan terhadap Yeremias Magai oleh Polres Nabire tanpa alat bukti yang cukup, prosedur penangkapan yang salah hingga kekerasan fisik, psikis maupun siksaan yang berujung tewasnya korban merupakan bentuk pelanggaran hukum dan kejahatan terhadap HAM.
Menurut Didimus Uwiya, hasil investigasi keluarga yang dibuat pada 30 September 2024 menunjukkan, tuduhan dan sekaligus dugaan penganiayaan terhadap Yeremias Magai melakukan penganiayaan terhadap Supriyono tidak benar dan merupakan rekayasa belaka.
“Tindakan yang diambil Polres Nabire di luar akal sehat dan mengabaikan asas dan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara universal maupun nasional. Keterangan para saksi dan bukti menunjukkan bahwa selama sebulan atau sekitar tanggal 14-31 Agustus 2024 Yeremias Magai, Ken Boga, dan Agus Tagi berada di Kilometer 100, 93 dan 82 Nabire,” kata Didimus Uwiya.
Oleh karena itu, ujar Didimus, unsur tempat terjadinya peristiwa pidana (locus delicti), tempus delicti (waktu terjadinya peristiwa pidana), dan corpus delicti (alat bukti yang digunakan dilakukan tindak pidana) tidak relevan dengan waktu, tempat, dan alat bukti dalam pembunuhan Supriyono.
“Kami berharap agar Komnas HAM Republik Indonesia melalui Komnas HAM RI Papua segera mengambil langkah-langkah hukum dan investigasi demi tegaknya keadilan dan hak asasi manusia. Kami juga meminta Polda Papua memberikan sanksi tegas kepada Kapolres Nabire beserta jajarannya melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia yang independen dan merdeka,” kata Didimus. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)