Oleh Dr Joseph Laba Sinuor, M.Hum
Dosen Filsafat Liberal Arts Universitas Pelita Harapan Jakarta
“Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak pernah akan cukup untuk tujuh orang serakah”
Mahatma Gandhi
APA yang terlintas di benak ketika mendengar orang berujar tentang Papua? Kontak senjata antara KKB dan TNI/Polri? Barangkali demikian karena memang itu masih sering terjadi. Alamnya yang kaya-raya sekaligus memesona? Ini juga beralasan karena memang Freeport, Tembaga Pura, Raja Ampat, dan lain-lain ada di sana. Semua sepakat! Indikasinya? Negara, bahkan para taipan bisnis ingin memiliki dan berambisi mengekploitasi semuanya itu.
Namun, apakah itu semua merupakan yang terbaik sekaligus bernilai tinggi dari rahim Papua? Jika ada yang mengafirmasi hal itu, maka kita tidak sepakat. Mengapa? Bukankah itu hanya ada dalam keraknya bumi, bukan dalam rahimnya Papua? Jikalau isi kerak bumi Papua dianggap the best, maka cukup tujuh orang serakah untuk menghabiskan semua itu. Kata-kata bijak Gandhi di atas bisa jadi kenyataan. Lalu?
Pertanyaan Hakiki: Apa yang Terbaik dalam Rahim Papua?
Itu pertanyaan dasar yang semestinya dijawab sebelum hal-hal lain tentang Papua dikedepankan ke ranah publik. Sejauh pengamatan saya entah dalam penelitian pustaka, wawancara langsung atau pun di ruang kuliah yang ada mahasiswa, manusia muda Papua, pertanyaan tentang apa yang terbaik dalam rahim Papua belum pernah digali untuk dijawab secara serius dan tuntas. Kalau mengemuka, pertanyaannya masih dikait-hubungkan dengan isi kerak bumi Papua atau kekayaan alamnya.
Konsekuensinya? Masalah keadilan sosial, kenyamanan hidup, kearifan lokal, dan yang paling dikhawatirkan adalah resistensi masyarakat Papua sendiri akan muncul dengan sendirinya. Kelompok yang kerap dilabeli sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) merupakan contohnya. Apakah ada jaminan bahwa KKB akan berhenti beraksi dan damai sejati di tanah Papua bisa terwujud? Apakah ada jaminan bahwa dalam satu atau dua dasawarsa ke depan Papua akan menjadi surga kecil yang jatuh ke bumi sebagaimana dilantunkan Franky Sahilatua?
“Kami tidak butuh tanah untuk tempat tinggal, kami butuh orang-orang yang mau mengenal kami dan bisa hidup damai dengan kami”.
Pernyataan di atas merupakan jawaban salah satu kelompok mahasiswa asal Papua dalam kuliah etika (2018/2019) silam ketika mendiskusikan kasus penggusuran dari perspektif hedonisme dan utilitarianisme. Pada bagian akhir pembahasan semua kelompok diminta menjawab pertanyaan ini: “Jika, di akhir diskusi ini seorang hedonis mendatangi kelompok anda dan bertanya apa yang paling dibutuhkan saat ini, apa jawaban kelompok anda?”.
Dua jawaban khas muncul. Kelompok Jakarta dan kelompok Papua. Jawaban kelompok Jakarta: “Kami butuh tempat yang nyaman huni, bebas banjir dan kemacetan!”. Jawaban kelompok Papua: “Kami tidak butuh tanah untuk tempat tinggal, kami butuh orang-orang yang mau mengenal kami sesungguhnya dan bisa hidup damai dengan kami”, dan langsung melantunkan lagu Aku Papua (Franky S), yang disambut kelompok Jakarta dengan ulangan lagu Michael Jackson: “We are the world. We are the children. We are the ones who make a brighter day, so let’s start……..”. Interaksi yang sungguh menggugah sekaligus menggugat.
Mengapa? “Kulit kami memang hitam dan rambut kami memang keriting tetapi tidak seperti itu hati kami. Hati anak-anak Papua putih dan lurus”. Ini jawaban kelompok Papua ketika ditanya bagian lirik lagu Aku Papua yang paling menarik. Serentak mereka menjawab: “Bagian ulangan: Hitam kulit keriting rambut aku Papua….biar nanti langit terbelah, aku Papua”. Luar biasa!
Jawaban itu menghentak seluruh peserta diskusi, apalagi ketika salah seorang anggota kelompok menjelaskan: “Itulah kami, bapa. Kulit kami memang hitam dan rambut kami memang keriting tetapi tidak seperti itu hati kami. Hati anak-anak Papua putih dan lurus, bapa”. Lebih dari menggugah dan menggugat, pernyataan itu sungguh menggelitik nalar untuk menggeledah lebih dalam, menemukan apa yang sesungguhnya ada di balik itu.
Tujuh Hal Terbaik dalam Diri Manusia Muda Papua
Hasil geledah dan olah nalar yang diperoleh baik melalui tilikan pustaka, maupun lewat perjumpaan pribadi dengan saudara-saudari dari Papua mengindikasikan paling kurang ada tujuh hal dimiliki masyarakat Papua, khususnya manusia mudanya sebagai the best. Tujuh hal itu ialah (i) akal cerdas, fisik kuat dan jiwa/semangat juang tinggi; (ii) kreatif; (iii) jujur; (iv) toleran; (v) berbelarasa; (vi) sopan dalam laku dan santun dalam tutur; dan (vii) hati yang tulus-lurus dan bersih.
Itulah sesungguhnya isi kepribadian anak-anak, manusia muda Papua. Itulah yang terbaik sekaligus yang paling bernilai. Isi kerak bumi Papua boleh digali habis, kandungan tanah Papua boleh dieksploitasi tuntas, tetapi pasti bukan ketujuh hal yang terbaik itu. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar hal-hal itu dapat mengubah wajah Papua menjadi tempat huni yang tertata aman dan sejahtera? “Jika ingin mencapai kedamaian sejati di dunia ini, mulailah dengan mendidik manusia mudanya” (Mahatma Gandhi).
Drawing out the best merupakan istilah khas pendidikan. Ketika Johann H. Pestalozzi (1746-1821) membidik pendidikan sebagai sense impression yang bersumber dari kejenihan pikiran manusia atau Friederick W. Froebel (1782-1852) yang memaknai pendidikan sebagai penuntun kepada kepandaian berpikir (kognisi) yang mengantar manusia kepada kesadaran yang mendalam menuju sesuatu yang murni dan tak tercela (afeksi), atau Maria Montessori yang lebih menyibukkan diri dengan Casa Dei Bambini, Gandhi (1869-1948) yang diberi julukan oleh bangsanya sebagai ‘Jiwa Agung’ (Mahatma) itu memaknai pendidikan sebagai ‘drawing out the best’ dari rahim. Searah dengan itu metodenya tentu ‘maeyutike’ (metode kebidanan) yang diadopsi dari pemikir Yunani Kuno, Socrates (470-399 SM).
Jauh dari bias jender, konsepsi seperti itu lebih didasarkan Gandhi pada budaya bangsanya. Sentuhan-sentuhan kasih seorang ibu dan para guru akan mampu mengeluarkan yang terbaik dari dalam diri manusia muda. Hanya yang memiliki ‘mpu’ yang sanggup mendidik manusia muda menjadi utuh dan seimbang sehingga cakap mengubah wajah dunia menjadi hunian damai. Perempuan itulah sosok pendidik sejati.
Karena itulah sang Mahatma menorehkan kata-kata indah untuk mereka. “Menyebut perempuan sebagai manusia lemah adalah ketidak-adilan laki-laki terhadap perempuan. Perhiasan sesungguhnya dari mereka adalah karakter dan kesucian”, bahkan mengutip pesan bermakna Brigham Young (1801-1877), ia berujar, “Jika kamu mendidik seorang pria, maka seorang pria akan terdidik. Tetapi jika kamu mendidik seorang perempuan maka sebuah generasi akan terdidik”.
Pertanyaannya, dari manakah drawing out the best itu dimulai? Kata Mahatma Gandhi, “Tidak ada sekolah yang setara dengan keluarga yang harmonis dan tidak ada guru yang setara dengan orangtua yang berbudi luhur”. Mengatakan bahwa keluarga harmonis mengatasi sekolah dan orangtua menduduki posisi mendahului para guru adalah identik dengan menegaskan bahwa drawing out the best itu bermula dari rumah.
Pendidikan yang dimulai dari rumah itulah pendidikan karakter yang sejatinya merupakan proses di dalamnya para orangtua menuntun dan membiasakan manusia muda untuk knowing the good, loving the good dan acting the good dalam kehidupan bersama di dalam dan di luar rumah. Dalam pendidikan karakter aspek kognitif mulai diasah, emosi mulai dikembangkan dan fisik mulai diperkuat sehingga akhlak yang luhur mulai diarahkan untuk menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Ketiga hal itu searah dengan pesan Unesco tentang unsur-unsur pokok pendidikan: learn to know, learn to do, dan learn to live together bahkan selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa. Itu semua wajib di mulai dari rumah, bukan di sekolah.
Sekolah adalah tempat manusia muda pertama kali mendapatkan pengajaran, bukan pendidikan. Fokus para guru adalah kurikulum dan Satuan Pembelajaran Semester, bukan pribadi anak didik. Tetapi, bukankah itu formalisme dalam sistem pendidikan? Yang bukan formalisme tentu drawing out the best from Papua dan tuntunan untuk mempersembahkan the best for Papua di dalam home, bukan house atau school!
Hanya karena home manusia muda Papua yang melanjutkan studi atau bekerja di luar Papua akan selalu rindu untuk kembali karena di dalam home dia atau mereka dimampukan untuk melihat diri sendiri di dalam diri-diri yang lain. Persis di situlah perdamaian sejati di Papua akan terwujud. Tidak ada musuh dan tidak ada lawan, yang ada hanyalah kembaranku! Atau….?